Senin, 31 Maret 2014

Cerpen Suara Karya, 29 Maret 2014


Tangisan Hujan
Oleh: Nina Rahayu Nadea

                “Dorokdokna Pak, dorokna, Bu. Sapuluh rebu tilu,” dengan cekatan laki-laki tua itu membawa karung berisi dorokdok. Menjajakan kepada seluruh mobil yang lewat. Yang lalu lalang di depannya.
                “Mangga, Neng. Mirah!” laki-laki itu mendekati sebuah mobil Avanza ketika dilihatnya seorang anak kecil memanggilnya.
                Tapi langkahnya langsung terhenti ketika dengan serta merta ibu muda di sampingnya. Menarik lengan anaknya, menutup kaca mobil dengan tergesa.
                “Aku pengen dorokdok, Mah,” suara lengkingan tangis terdengar.
                “Jangan! kamu tidak lihat apa di TV?”
                Byuuur. Cipratan air mengena di bajunya. Cipratan karena mobil yang dilajukan kencang oleh sang pengemudi. Laki-laki itu terdiam kaku, menghapus wajahnya yang basah.
Genangan air bekas hujan tadi  masih membayang di wajah langit, di tanah bahkan di jalanan aspal yang berlubang. Membuat jalanan macet.
                Mobil yang panjang antri. Macet. Itulah yang senantiasa membuat para pedagang asongan bersemangat. Bersemangat untuk kembali menjajakan dagangannya. Dagangan yang beraneka rupa. Dari kehidupan inilah mereka hidup. Menafkahi anak istrinya yang menunggu di rumah. Pun dengan Pak Mamat. Lelaki tua itu dengan semangat menjajakan dorokdoknya kepada setiap penumpang yang berada dalam mobil. Tapi akhir-akhir ini dagangannya tak pernah terjual. Ratusan dorokdok dalam karungnya senantiasa utuh. Kalau pun laku, hanya terjual beberapa. Tak pernah cukup untuk menafkahi keluarganya di rumah.
                Pak Mamat hanya mampu menghela nafas. Mengusap cipratan air dengan tangan tuanya. Air mata mengenang di pelupuk  matanya. Membayang jelas di pipi keriputnya.
                Gontai laki-laki penjual dorokdok itu menjauh. Ia tak ingin hanya karena dagangannya menyebabkan pertengkaran antara ibu dan anak. Walau hanya dari dorokdok hidupnya berharap, tapi ia tak mau cerca kembali menimpanya. Makian yang membuat hatinya begitu terluka. Cerca ketika ia membujuk anak kecil untuk membeli dorokdoknya.
                “Hey, Mang! awas jangan rayu anak saya lah. Teu nyadar kitu maneh jualan naon. Paling oge kulit urut mulungan ti jalan. Dorokdok urut jeket kulit nya?” ujar si ibu gemas.
                Nga, Bu dorokdok saya mah asli.”
                Ah asli...asli tujuh mulud. Hayang neangan untung tapi ngaruksak batur. Eureun geura Mang ngajual dorokdok teh. Tibatan jadi panyakit ka balarea,” caci ibu itu. Tangannya dengan paksa menarik lengan anaknya.
                Yah, semenjak kejadian itu. Ketika sebuah stasiun televisi menyiarkan tentang penjual dorokdok palsu. Mengambil sisa-sisa jaket kulit dan diolah kembali menjadi makanan. Begitu menyedihkan. Pemberitaan yang kemudian membalikan hidupnya. Yang semula senantiasa gembira. Gembira karena dorokdok-makanan khas Garut itu senantiasa amrin. Laris manis.
                Tapi kini semua musnah. Penderitaannya menumpuk sudah. Siaran di salah satu di televisi, telah menyebabkan hidupnya terpuruk. Begitu didera dengan masalah. Terbayang istrinya yang terbaring lemas di rumah tuanya. Entah sakit apa yang dideritanya. Seminggu ini badannya panas. Jangankan untuk membawanya ke rumah sakit. Untuk makanan sehari-hari saja sangat sulit dicukupi. Jamsostek yang dipunyainya ternyata tak mampu menuntaskan masalah. Ternyata ia tetap saja harus mengeluarkan uang untuk memeriksa keadaan istrinya lebih jauh.
                Puskesmas tempatnya pertama kali berobat memberi rujukan agar istrinya dibawa ke rumah sakit. Tapi apa daya hidupnya begitu tak mampu.
***
                Dulu Pak Mamat tak pernah menjajakan dorokdoknya di jalan. Cukup menunggu di kiosnya. Kios yang dipenuhi makanan khas Garut. Coba tengok saja kiosnya yang dulu. Aneka kudapan tersedia: dodol, ranginang, dorokdok, chocodot. Semua tumplek di sana, ramai dan laku. Tempat yang strategis. Banyak para pengendara yang sengaja mampir untuk sekedar membeli oleh-oleh khas Garut. Dan para pemilik kios tak pernah berebut. Meski kiosnya berjejer puluhan, tapi mereka tak pernah kehabisan rejeki, mereka percaya rejeki ada di tangan Tuhan. Tak pernah sekali pun keributan atau pertengkaran terjadi karena masalah pembeli. Semua begitu menikmat hidup sebagai pedagang. Rejeki datang kapan saja. Tak heran banyak kios yang buka sampai 24 jam. Mereka tak mau melewatkan pembeli yang mampir ke kiosnya.
                Tapi kini, semenjak kios tak ada. Pertengkaran kerap terjadi. Pertengkaran karena lahan. Karena berebutan penumpang yang mau membeli. Mereka begitu takut anak-istrinya di rumah kelaparan. Hingga seringkali pertengkaran terjadi. Tak peduli siapa mereka. Sikut sana sikut sini, yang penting mereka dapat menikmati untung. Begitu juga keuntungan yang sesaat yang diperoleh dengan seketika, banyak dilakukan oleh penjual nakal. Penjual yang ingin mengeruk keuntungan sesaat dari cara yang tidak jujur. Himpitan ekonomi telah membutakan mata. Menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan yang meruah.
                Janji yang diucapkan pemerintah hanyalah janji. Mereka berjanji untuk memindahkan dan memberi lahan yang baik untuk mereka berjualan. Tapi mana buktinya? Semua omong kosong. Semua hanyalah angin  belaka. Tanpa pernah ada penyelesaiannya
                Sementara tubuh tuanya sudah tak bisa bersaing lagi. Berebutan lahan serta berlari ke sana sini mengejar penumpang terlalu lemah untuknya. Di usia yang begitu tua, harusnya ia istirahat menikmati masa tuanya. Tapi apa dikata. Semua berkehendak lain.
                Dihimpit ekonomi, biaya sehari-hari yang semakin merangkak naik membuat beberapa oknum penjual nakal melakukan aksinya. Begitu pun sang penjual dorokdok yang kini tengah gencar. Menjual dorokdok dari sisa-sisa jaket kulit.  Betapa, tingkat kebutuhan  manusia memang tak sebanding dengan  ekonomi yang didapat. Semua begitu menyesakan dada. Kemana pun kaki melangkah selalu dihantui oleh masalah ekonomi yang semakin menguntit diri.
                Matanya memandang nanar ke jalan besar. Jalan dimana kios-kois dulu berjejer rapi. Jalan yang dulu ramai karena banyak pengunjung mampir. Kini, senyap. Kiosnya tak lagi berpenghuni semenjak jalan baru seputar Nagreg dibuat. Nasib mereka menjadi terlunta-lunta. Nasib tak lagi banyak berpihak pada mereka. Pupus sudah harapan yang dulu menggebu. Dan beginilah akhirnya sebuah kehidupan. Mengais rejeki degan cara menjadi penjual asongan.
                Tubuh tuanya tak lagi bisa bersaing dengan mereka yang muda. Senantiasa kalah. Hujan  basah menemaninya. Rintikan air mengena di wajah dan kulit yang keriput. Tetesannya menyadarkannya, bahwasannya ia harus terus berjuang. Terbayang wajah istri yang terbaring lemah di kasur tua.
                “Dorokdokna Pak, dorokdokna, Bu,” suara tuanya kembali terdengar, diiringi gemuruh hujan yang ikut menangis.***

Keterangan:
1.       Dorokdokna Pak, dorokna, Bu. Sapuluh rebu tilu= Kerupuk kulitnya, Pak. Kerupuk kulitnya, Bu. Sepuluh ribu tiga.
2.       Mangga, Neng. Mirah= Iya, Neng. Murah.
3.       Teu nyadar kitu maneh jualan naon. Paling oge kulit urut mulungan ti jalan. Dorokdok urut jeket kulit nya= Kamu tidak sadar jualan apa. Paling memungut dari kulit bekas. Kerupuk bekas jaket kulit, ya?
4.       Nga, Bu dorokdok saya mah asli=Tidak, Bu. Kerupuk kulit saya asli.
5.       Ah asli...asli tujuh mulud. Hayang neangan untung tapi ngaruksak batur. Eureun geura Mang ngajual dorokdok teh. Tibatan jadi panyakit ka balarea= Ah, asili. Bohong. Kalau mau mencari keuntungan jangan merusak orang lain. Berhenti saja jualan kerupuknya. Daripada menjadi penyakit mayarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar