![]() |
Dimuat di Majalah Suara Daerah No 507, November 2014 |
Dilema Sertifikasi
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Keberadaan
dapodik kini marak diperbincangkan. Ia seolah
menjadi primadona yang menjadi pembicaraan
penting di berbagai kalangan. Khususnya para guru yang telah mandapatkan
sertifikat sebagai tenaga pendidik. Betapa tidak, karena dapodik merupakan data
sentral yang menentukan cair atau tidaknya tunjangan profesi. Segala data-data
yang berhubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pencairan tunjangan
semuanya ada di sini. Proses dapodik itu sendiri dimulai dari pengisian data
oleh operator yang berada di sekolah masing-masing. Data dari operator sekolah
akan masuk ke P2tk dikdas, P2tk dikdas akan mengirim ke dapodik pusat.
Keberadaan
dapodik yang asalnya diabaikan dan diacuhkan kini terbukti nyata. Ketika ribuan
guru tidak bisa menikmati tunjangan profesi seperti biasanya karena ternyata
data di dapodik tidak valid atau tertulis belum menerima syarat menerima
tunjangan prtofesi.
Tanggal 9-16 April yang seharusnya
menjadi hari yang bahagia karena hari itu mereka akan mendapatkan tunjangan
atas profesinya. Ternyata menjadi dilema yang besar. Hak mereka sebagai seorang guru yang telah
lulus mengikuti penggodokan lewat PLPG, tidak mereka dapatkan. Dibalik
kegembiraan banyak guru yang begitu gembira karena menikmati haknya mendapat
tunjangan profesi, terdapat ribuan orang yang akhirnya berkeluh kesah karena
data dapodiknya tidak valid hingga berujung tidak dapat cairnya tunjangan
profesi.
Padahal perjuangan panjang telah
mereka lalui. Mulai dari Ujian Kompetesi Awal (UKA), PLPG sampai menunggu
pengumunam kelulusan PLPG adalah waktu yang sangat lama. Dan memerlukan pengorbanan
yang tidak sedikit. Pengorbanan waktu, tenaga, materi, mereka lakukan dengan
semangat hanya mengikuti sebuah proses, untuk mencapai suatu tujuan. Dan
tatkala mereka dinyatakan lulus hingga akhirnya mendapatkan sertifikat pendidik
sungguh semua itu merupakan bukti bahwa mereka benar-benar telah berhasil melewati
masa-masa yang sulit, dan berhak mendapat julukan sebagai guru profesional. Dan
tentulah mereka berhak mendapatkan tunjangan profesi sesuai dengan yang telah
ditetapkan.
Tunjangan profesi itu sendiri
adalah tunjangan yang diberikan kepada guru
dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang telah memiliki
sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya. Guru yang dimaksud
adalah guru PNS dan guru bukan PNS yang
diangkat oleh pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat penyelenggara
pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Tapi ternyata tidak mudah untuk
mendapatkan hak tersebut, masih banyak guru-guru yang tidak bisa menikmati
tunjangan sertifikasi karena beberapa masalah. Dan tentulah ini menimbulkan
berbagai pemikiran yang negatif yang kadang akan membuat orang malas untuk
berfikir jernih, hingga akhirnya mengajar dengan tidak baik. Karena ternyata,
kini ada aturan baru yang mengharuskan setiap peserta sertifikasi datanya telah
terupdate di dapodik dan itu harus dinyatakan valid. Beruntung bagi mereka yang
telah valid dan kemudian meiliki SK.
Aturan pemerintah kini diperketat.
Semua data dibuat online. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi data fiktif
seperti yang selama ini terjadi. Dan data ini langsung terhubung ke pusat,
sehingga mengurangi resiko terhadap tindakan data palsu. Tapi yang menjadi
permasalahan di lapangan adalah banyak
sekali kendala karena data yang bersifat online tersebut susah diakses atau
terjadi error. Selain masih banyaknya tenaga yang kurang ahli dalam menggarap
tekhnologi juga adalah adanya kerugian pada guru itu sendiri apabila terjadi
kesalahan dalam menginput data. Dalam membetulkan data akibat kelalaian
ternyata tidak semudah yang dikira, karena ternyata menunggu waktu yang lama.
Ketidak validan guru dalam data
tersebut kebanyakan adalah jumlah jamnya kurang dari 24 jam. Dan ini masalah
yang sangat komplek dan perlu mendapatkan pemikiran berbagai pihak. Karena disadari
atau tidak masih banyak sekolah yang berskala kecil sehingga tidak memungkinkan
seorang guru mendapatkan jam 24. Kalau lah dulu mereka bisa bernafas lega
karena jam tatap mukanya bisa ditambah dengan pelajaran lain yang sekiranya
serumpun. Tapi kini? Jangan diharapkan. Ternyata pelajaran yang sama pun jika satuan
pendidikan berbeda tetap tidak bisa diakumulatifkan.
Dengan adanya program sertifikasi.
Seolah, pemerintah telah membuat jurang yang luas antara sekolah yang berombel
banyak dengan sekolah yang berombel sedikit. Hal ini membuat para guru yang mengajar
di sekolah berombel kecil terasingkan
karena mereka tidak bisa mengikuti program sertifikasi. Kalaupun jika pada
akhirnya mereka terpanggil untuk mengikuti program sertifikasi. Kembali lagi
pada permasalahan yang utama sanggupkah mereka mendapatkan jam mengajar
sebanyak 24 jam pelajaran di sekolah yang lingkupnya kecil?
Terlebih lagi dengan gantinya
kurikulum. Otomatis ini membawa pada peraturan baru. Kalaulah tidak merugikan
bagi si pemegang sertifikat pendidik hingga tetap menerima tunjangan profesinya
tidak masalah. Tapi jikalau merugikan, apa yang harus diperbuat. Semua seolah
menjadi dilema. Contoh saja guru TIK di SD, dulu mereka bisa menikmati tunjangan
profesi. Tapi kini ternyata tidak bisa. Karena ternyata berdasarkan kurikulum
baru pelajaran TIK di SD tidak ada. Dan ini otomatis membuat data mereka tidak
valid. Kalaulah pemerintah memberikan solusi misalnya menempatkan mereka ke
sekolah-sekolah tertentu, itu yang diharapkan. Kenyataan kini mereka ibarat kehilangan
induk semang, bertanya ke sana ke mari, tentang kepindahan mereka ke sekolah
berTIk, tapi apakah itu mudah? Tentu tidak, karena guru di sekolah tersebut
pasti menginginkan jamnya tak pernah mau terkurangi, apalagi diambil oleh orang
lain. Jikalau ada yang berhasil mutasi juga membutuhkan proses yang lama. Entah
sampai kapan mereka menunggu dan menunggu
sebuah pengharapan yang selama ini mereka idamkan.
Kini, entah berapa ribuan orang
yang menunggu kepastian dari pemerintah. Tentang nasib mereka. Dan sebaiknya pemerintah
bersikap bijak tentang keadaan terjadi di lapangan. Jangan salah kalau pada
akhirnya dengan sertifikasi terjadi bentrokan atau guru yang gontok-gontokan
karena ingin mendapatkan jam ngajarnya min 24 jam karena menginginkan hak dari
sebuah proses.
Kita juga perlu membuka mata
lebar. Entah berapa puluh korban guru honor yang belum disertifikasi terpaksa
dikeluarkan atau dibacklist dari
sekolah tempatnya mengajar hanya karena sebuah sistem adanya guru yang telah
tersertifikasi di sekolah tersebut. Sungguh ironi. Di tengah pengabdiannya
sebagai guru, tanpa pernah membedakan anak didiknya, mereka terpaksa mengalah
karena pemerintah membedakan guru bersertifikasi dengan guru yang belum
disertifikasi.
Sungguh disayangkan jika pada
akhirnya program nasional yang menghabiskan anggaran besar yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas guru dari berbagai aspek pada akhirnya menimbulkan
masalah yang begitu komplek. Yang perlu dipertanyakan kembali apakah kualitas guru benar-benar dapat
terjadi dengan mengajar 24 jam penuh? Tanpa pernah tau bagaimana sebenarnya proses
mereka dalam mengajar. Apakah seorang guru disebut mempunyai kulitas yang baik
jika pada akhirnya terjadi perpecahan dengan sesama guru karena memperebutkan
jam pelajaran. Demi memenuhi hak dalam mendapatkan tunjangan profesi.
Semoga saja semua permasalahan negatif itu bisa
terkendali dengan baik. Dan harapan yang betu-betul harus kita sadari. Tetaplah
menjadi seorang yang berkualitas dengan meningkatkan pembelajaran kita terhadap
anak didik. Jadilah sebagai panutan yang dapat menjadi figur teladan yang
dicintai anak didik. Satu lagi semoga keiklahasan guru dalam mengajar tidak
dinodai dengan memburu tunjangan profesi. Ada ataupun tidak ada, marilah kita
tetap berjalan, mendidik anak bangsa menuju ke arah yang lebih baik.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar