Sabtu, 06 Desember 2014

Sertifikasi Guru

Dimuat di Majalah Suara Daerah No 507, November 2014



Dilema Sertifikasi
Oleh: Nina Rahayu Nadea


                Keberadaan dapodik kini marak diperbincangkan. Ia  seolah menjadi primadona yang menjadi pembicaraan  penting di berbagai kalangan. Khususnya para guru yang telah mandapatkan sertifikat sebagai tenaga pendidik. Betapa tidak, karena dapodik merupakan data sentral yang menentukan cair atau tidaknya tunjangan profesi. Segala data-data yang berhubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pencairan tunjangan semuanya ada di sini. Proses dapodik itu sendiri dimulai dari pengisian data oleh operator yang berada di sekolah masing-masing. Data dari operator sekolah akan masuk ke P2tk dikdas, P2tk dikdas akan mengirim ke dapodik pusat.
                Keberadaan dapodik yang asalnya diabaikan dan diacuhkan kini terbukti nyata. Ketika ribuan guru tidak bisa menikmati tunjangan profesi seperti biasanya karena ternyata data di dapodik tidak valid atau tertulis belum menerima syarat menerima tunjangan prtofesi.
Tanggal 9-16 April yang seharusnya menjadi hari yang bahagia karena hari itu mereka akan mendapatkan tunjangan atas profesinya. Ternyata menjadi dilema yang besar.  Hak mereka sebagai seorang guru yang telah lulus mengikuti penggodokan lewat PLPG, tidak mereka dapatkan. Dibalik kegembiraan banyak guru yang begitu gembira karena menikmati haknya mendapat tunjangan profesi, terdapat ribuan orang yang akhirnya berkeluh kesah karena data dapodiknya tidak valid hingga berujung tidak dapat cairnya tunjangan profesi.
Padahal perjuangan panjang telah mereka lalui. Mulai dari Ujian Kompetesi Awal (UKA), PLPG sampai menunggu pengumunam kelulusan PLPG adalah waktu yang sangat lama. Dan memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan waktu, tenaga, materi, mereka lakukan dengan semangat hanya mengikuti sebuah proses, untuk mencapai suatu tujuan. Dan tatkala mereka dinyatakan lulus hingga akhirnya mendapatkan sertifikat pendidik sungguh semua itu merupakan bukti bahwa mereka benar-benar telah berhasil melewati masa-masa yang sulit, dan berhak  mendapat julukan sebagai guru profesional. Dan tentulah mereka berhak mendapatkan tunjangan profesi sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Tunjangan profesi itu sendiri adalah tunjangan yang diberikan kepada guru  dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya. Guru yang dimaksud adalah  guru PNS dan guru bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Tapi ternyata tidak mudah untuk mendapatkan hak tersebut, masih banyak guru-guru yang tidak bisa menikmati tunjangan sertifikasi karena beberapa masalah. Dan tentulah ini menimbulkan berbagai pemikiran yang negatif yang kadang akan membuat orang malas untuk berfikir jernih, hingga akhirnya mengajar dengan tidak baik. Karena ternyata, kini ada aturan baru yang mengharuskan setiap peserta sertifikasi datanya telah terupdate di dapodik dan itu harus dinyatakan valid. Beruntung bagi mereka yang telah valid dan kemudian meiliki SK.
Aturan pemerintah kini diperketat. Semua data dibuat online. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi data fiktif seperti yang selama ini terjadi. Dan data ini langsung terhubung ke pusat, sehingga mengurangi resiko terhadap tindakan data palsu. Tapi yang menjadi permasalahan  di lapangan adalah banyak sekali kendala karena data yang bersifat online tersebut susah diakses atau terjadi error. Selain masih banyaknya tenaga yang kurang ahli dalam menggarap tekhnologi juga adalah adanya kerugian pada guru itu sendiri apabila terjadi kesalahan dalam menginput data. Dalam membetulkan data akibat kelalaian ternyata tidak semudah yang dikira, karena ternyata menunggu waktu yang lama.
Ketidak validan guru dalam data tersebut kebanyakan adalah jumlah jamnya kurang dari 24 jam. Dan ini masalah yang sangat komplek dan perlu mendapatkan pemikiran berbagai pihak. Karena disadari atau tidak masih banyak sekolah yang berskala kecil sehingga tidak memungkinkan seorang guru mendapatkan jam 24. Kalau lah dulu mereka bisa bernafas lega karena jam tatap mukanya bisa ditambah dengan pelajaran lain yang sekiranya serumpun. Tapi kini? Jangan diharapkan. Ternyata  pelajaran yang sama pun jika satuan pendidikan berbeda tetap tidak bisa diakumulatifkan.  
Dengan adanya program sertifikasi. Seolah, pemerintah telah membuat jurang yang luas antara sekolah yang berombel banyak dengan sekolah yang berombel sedikit. Hal ini membuat para guru yang mengajar di sekolah  berombel kecil terasingkan karena mereka tidak bisa mengikuti program sertifikasi. Kalaupun jika pada akhirnya mereka terpanggil untuk mengikuti program sertifikasi. Kembali lagi pada permasalahan yang utama sanggupkah mereka mendapatkan jam mengajar sebanyak 24 jam pelajaran di sekolah yang lingkupnya kecil?
Terlebih lagi dengan gantinya kurikulum. Otomatis ini membawa pada peraturan baru. Kalaulah tidak merugikan bagi si pemegang sertifikat pendidik hingga tetap menerima tunjangan profesinya tidak masalah. Tapi jikalau merugikan, apa yang harus diperbuat. Semua seolah menjadi dilema. Contoh saja guru TIK di SD, dulu mereka bisa menikmati tunjangan profesi. Tapi kini ternyata tidak bisa. Karena ternyata berdasarkan kurikulum baru pelajaran TIK di SD tidak ada. Dan ini otomatis membuat data mereka tidak valid. Kalaulah pemerintah memberikan solusi misalnya menempatkan mereka ke sekolah-sekolah tertentu, itu yang diharapkan. Kenyataan kini mereka ibarat kehilangan induk semang, bertanya ke sana ke mari, tentang kepindahan mereka ke sekolah berTIk, tapi apakah itu mudah? Tentu tidak, karena guru di sekolah tersebut pasti menginginkan jamnya tak pernah mau terkurangi, apalagi diambil oleh orang lain. Jikalau ada yang berhasil mutasi juga membutuhkan proses yang lama. Entah sampai kapan mereka menunggu dan menunggu  sebuah pengharapan yang selama ini mereka idamkan.
Kini, entah berapa ribuan orang yang menunggu kepastian dari pemerintah.  Tentang nasib mereka. Dan sebaiknya pemerintah bersikap bijak tentang keadaan terjadi di lapangan. Jangan salah kalau pada akhirnya dengan sertifikasi terjadi bentrokan atau guru yang gontok-gontokan karena ingin mendapatkan jam ngajarnya min 24 jam karena menginginkan hak dari sebuah proses.
Kita juga perlu membuka mata lebar. Entah berapa puluh korban guru honor yang belum disertifikasi terpaksa dikeluarkan atau dibacklist dari sekolah tempatnya mengajar hanya karena sebuah sistem adanya guru yang telah tersertifikasi di sekolah tersebut. Sungguh ironi. Di tengah pengabdiannya sebagai guru, tanpa pernah membedakan anak didiknya, mereka terpaksa mengalah karena pemerintah membedakan guru bersertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi.
Sungguh disayangkan jika pada akhirnya program nasional yang menghabiskan anggaran besar yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dari berbagai aspek pada akhirnya menimbulkan masalah yang begitu komplek. Yang perlu dipertanyakan kembali  apakah kualitas guru benar-benar dapat terjadi dengan mengajar 24 jam penuh? Tanpa pernah tau bagaimana sebenarnya proses mereka dalam mengajar. Apakah seorang guru disebut mempunyai kulitas yang baik jika pada akhirnya terjadi perpecahan dengan sesama guru karena memperebutkan jam pelajaran. Demi memenuhi hak dalam mendapatkan tunjangan profesi.
Semoga saja semua permasalahan negatif itu bisa terkendali dengan baik. Dan harapan yang betu-betul harus kita sadari. Tetaplah menjadi seorang yang berkualitas dengan meningkatkan pembelajaran kita terhadap anak didik. Jadilah sebagai panutan yang dapat menjadi figur teladan yang dicintai anak didik. Satu lagi semoga keiklahasan guru dalam mengajar tidak dinodai dengan memburu tunjangan profesi. Ada ataupun tidak ada, marilah kita tetap berjalan, mendidik anak bangsa menuju ke arah yang lebih baik.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar