Minggu, 30 November 2014

Ilalang

Cerpen ini dimuat di majalah Guneman. Majalah Guru di Jawa Barat. Semoga bermanfaat bagi yang membaca.







Ilalang depan Rumah
Oleh: Nina Rahayu Nadea
            Aku menyesali keputusan Ayah, memindahkanku ke rumah eyang yang berada jauh dari rumah ini. Keputusan Ayah berarti penyiksaan untukku, menghapuskan kenangan yang telah lama bersemayam dalam hatiku. Tapi ternyata Ayah tak bergeming dengan keputusannya. Ia kokoh dengan pendiriannya, walau air mata ini berurai dan menghiba di hadapannya. Jawaban ayah tetap, ‘aku harus dipindahkan’.
            Ini adalah malam terakhir aku berada di rumah, di kamarku yang selama ini memberi ketenangan, memberi kedamaian untukku dan menyembuhkan rasa rindu pada suamiku. Harapan terindah dan ketenangan bersama suamiku terusik dengan tindakan Ayah yang memisahkan kedekatan kami.
            Kulihat jam dinding di kamarku. Jam dua malam. Tapi  mataku tak juga mau terpejam, semakin aku memikirkan perpisahan ini, semakin terbayang jelas wajah suamiku yang sangat kurindu. Hingga rasa kantukku semakin jauh kurasa. Kuturuni ranjang tempat tidurku, kuambil sandal dan bergegas menuju kamar mandi. Air dingin menusuk kulitku. Ah, terasa air wudhu menyejukkan wajahku yang sembab karena air mataku. Malam ini aku akan mencurahkan segala kemelut dan gundah gulana yang bersarang di hatiku. Aku ingin Sang Kholik mendengar semua keluh kesahku. Tak terasa sajadahku menjadi basah karena bulir air mataku yang terus jatuh. Ya Tuhan, kenapa kau biarkan Ayah memisahkan aku dengan seorang yang senantiasa aku rindu. Padahal kedekatannya begitu menyejukan hatiku, hanya dia yang mengerti keberadaanku, hanya dia yang mampu menghapus duka laraku. Tapi ternyata rasa rindu yang kucurahkan pada seorang kekasihku membuat marah ayahku. Ayah tak mau melihatku bahagia.
            “Cepatlah tidur Nak, sudah malam.” Ibuku membuka gorden kamarku.
            Aku hanya mengangguk. Segera kubereskan perlengkapan sholatku dan kusembunyikan wajahku di balik selimut tebal. Aku tak mau Ibu kasihan melihat keberadaanku yang begitu larut dalam duka. Aku tau, tangisan Ibu akan keluar setiap menatapku. Dan aku tak mau itu terjadi. Aku sayang Ibu. Aku tak mau Ibu  bersedih. Maka aku berpura-pura tidur.     
            Lama sekali waktu berlalu, setiap dentang jam yang kudengar semakin membuatku terbang dalam lamunan. Suara jam yang berdentang membawaku dalam suasana kebahagiaan karena kedatangan mas Bambang yang kurindu.
            “Ini adalah jam istimewa untukmu.”
            “Makasih ya Mas, kau selalu saja ingat hari istimewaku,” aku terharu.
            “Ya ingat dong, masa ulang tahun istrinya sendiri ngak ingat.” Ia merengkuh aku.
            Rengkuhannya begitu membuaiku, melepas rasa rindu yang selama ini tertahan dan menggunung dalam gelora jiwaku.
            “Rin, cepatlah bangun sudah shubuh.”
            “Ya, Bu.” Kukedipkan mataku pada suamiku terkasih. “Pokoknya kita harus tetap menyatu,” aku mendekatkan bibirku ke telinganya. Kulihat senyum tersungging dari bibirnya. Segera aku ke air dan berkemas dengan cepat. Aku tak mau Ayah marah.  Aku sudah tau sifat ayahku yang begitu otoriter, hingga tak seorang pun dapat membantah keinginannya, begitu pun Ibu.
            Kulihat ayah sudah duduk di meja makan. Diambilnya telor dan nasi goreng di piringnya. Dipinggir Ayah kulihat mas Bambang menyuapkan nasi ke mulutnya ia tetap tersenyum ke arahku. Senyum yang penuh arti. Aku balas tersenyum.
            “Cepatlah makan jangan senyum saja,” ayah menghardikku.
            Kepalaku langsung menunduk karena bentakan Ayah. Tapi tetap saja dari sudut mataku, kulihat mas Bambang yang senantiasa kurindu.
*
            Perjalanan menuju rumah eyang begitu melelahkan. Kulihat ayahku yang sedang menyetir dengan serius, di pinggirnya Ibu yang raut mukanya mendung, kulirik adikku yang tertidur pulas.
            “Coba kalau mas Bambang ikut ya, Bu.”
            Ibu tak menjawab. Hanya guratan duka yang kian terpampang jelas dari wajahnya. Ibu begitu bersedih.
            “Diamlah Rini,” bentak Ayah. Aku diam, sepertinya semua orang tak mau diganggu. Kulihat pepohonan di kiri kanan yang begitu lebat, melambai-lambai terkena angin. Kulihat gundukan pasir tempatku berjumpa dengan mas Bambang dulu, segera aku lewati. Masih ingat waktu itu ketika mas Bambang baru mendapatkan gaji bulanan. Dengan bangganya ia mengajakku ke tempat ini. Tempatnya begitu sejuk melenakan hatiku. Riuh angin dan suara cericit burung menjadi temanku saat itu. Mas Bambang tak henti-hentinya memuji kecantikanku.
            “Kau begitu cantik Rini.”
            “Ya, iyalah kan aku istrimu.”
            “Tak salah aku memilihmu menjadi istri. Kau cantik, pintar dan menarik.” Ia diam memandang ke arah kejauhan yang hanya gundukan tanah terjal, sesekali kulihat burung lewat dan menertawakan mas Bambang. “Maaf aku belum bisa membahagiakanmu.” Suaranya parau.
            Kusandarkan kepalaku di dadanya.  “Aku justru bahagia bersamamu, Mas.”
            “Walau hidup menderita?”
            “Menderita bagaimana? aku sangat bahagia bisa mempunyai seorang suami yang sangat menyayangiku.”
            “Semoga kau selamanya untukku dan tak kan berpaling.” Ia memelukku.
            Ah, bahagia sekali berada di dekat seseorang yang selamanya aku rindu. Rasa rinduku begitu membuncah dan tak pernah tergantikan oleh apa pun, walau Ayah senantiasa marah, bila memergokiku tengah berduaan dengan mas Bambang. Tapi tetap kulakukan, karena hanya mas Bambang yang dapat mengerti keadaanku.
            “Bu, lihat mas Bambang menyusul dari belakang.” Badanku berbalik 180 derajat. Kulihat mas Bambang dengan motor vespanya mengikuti mobil yang kami tumpangi.
            “Yah, pelan-pelan dong jalannya, Kasihan mas Bambang.” Ujarku pada Ayah.
            “Sudahlah Rin, lebih baik kau istirahat saja.” Kulihat Ibu mengusap air mata dengan punggung tangannya.
            Ibu, kenapa kau tak membela anakmu? ternyata Ibu begitu takut dengan Ayah. Sehingga setiap kali aku membicarakan mas Bambang tak pernah sekali pun Ibu membelaku. Ibu lebih mencintai Ayah dari padaku. Ibu begitu takut dengan Ayah. Segala pertanyaan memenuhi kepalaku.
            “Baiklah, Bu. Tapi  Ibu jangan menangis saja. Rini tak tahan melihat air mata Ibu.”
            Ibu tersenyum ke arahku. Senyum yang mendamaikan hatiku. Tapi kulihat isak tertahan  berada di sana. Di lubuk hati yang terdalam. Demi sayangku pada Ibu. Demi cintaku pada Ibu. Akhirnya aku terdiam. Kini mataku lurus ke depan. Kubiarkan mas Bambang menyusul mobil yang kami tumpangi, tanpa perlu aku membalikan badanku. Aku tahu, pasti mas Bambang akan menyusulku. Karena aku tahu ia begitu mencintaiku. Bukankah semalam kami telah berjanji untuk senantiasa mempertautkan rindu, menyatukan cinta yang tak kan pernah pupus di makan waktu. Yang takan pernah reda dimakan usia. Aku milikmu, ia milikku. Cinta kami begitu utuh. Tak pernah bercerai berai. Tetap kan kulakukan apa pun, walau ayah begitu membenci. 
*
            Pertama kali berada di rumah eyang, kesunyian menderaku. Betapa tidak, seolah aku dibuang oleh ayah- ibuku, jauh dengan adikku. Rasa rinduku dipisahkan oleh keadaan, oleh waktu, oleh tabiat Ayah yang begitu mencerca. Ayah- ibuku hanya sebentar berada di rumah eyang, karena besok mereka harus masuk kerja, kembali beraktifitas. Kudengar Ayah  menitipkanku pada eyang. Aku hanya tersenyum kecil, Aku mau dititipkan sama eyang? Hehe apa tidak terbalik, eyang yang sudah sepuh malah bisa dibilang agak pikun harus merawatku? Ah, Ayah tega-teganya kau, membebani ibumu sendiri dengan anakmu.
            Sepeninggal Ibu, aku berdiri di pekarangan rumah. Kutunggu mas Bambang datang ke rumah eyang. Tapi yang kutunggu tak jua datang. Mungkinkah ia tersesat, gumanku. Tapi aku tak bisa lama berada di pekarangan. Karena tiba-tiba eyang datang. Dengan jalan tertatih-tatih dan badan yang bungkuk ia memegang tanganku.
            “Ayo, Rin masuk ke rumah, tak baik di luar saja.”
            “Baik eyang.” Aku menuntun tangan eyang masuk ke rumah. Tapi sesekali mataku mengerling ke arah jalan berharap mas Bambang segera datang.
            Kuperhatikan setiap sudut di rumah eyang. Begitu asri dan bersih. Aku kagum pada eyang di usianya yang sangat sepuh, eyang begitu mandiri dan mampu mengerjakan semuanya degan rapi. Kuikuiti kegiatan eyang. Sedari Shubuh telah bangun menyalakan tungku di dapur, membawa suluh yang berada di luar kemudian menyimpannya dekat dengan perapian, memasak alakadarnya, menyiram bunga di halaman, memberesken rumah, memberi makan ternak di belakang rumah. Sesekali eyang melihatku yang tiduran di kamar. Tak segan ia masuk ke kamar tempatku tidur, memberi air putih atau makanan kecil lainnya.
            “Ayo makan, biar kamu sehat. Atau mau eyang suapin?” Rasa sayang terpancar dari wajah eyang yang begitu keriput.
            “Ngak ah, aku ambil sendiri.”
            Aku beranjak ke luar kamarku dan mengikuti perintah eyang.
            Kini aku mulai terbiasa di rumah eyang, dan aku menikmatinya. Kugantikan tugas eyang menyiram bunga. Dan inilah yang membawa pertemuan dengan mas Bambang. Di setiap pagi dan sore ketika tugasku menyiram dan merawat bunga kini menjadi sesuatu yang sangat membahagiakanku. Karena dengan begitu aku dapat bertemu dengan mas Bambang hingga dapat mencurahkan rindu yang bersemayan di lubuk hatiku.
            Bermula ketika aku menyaksikan hamparan ilalang yang berada persis di depan rumah eyang. Hamparannya begitu luas, ilalang melambai-lambai begitu indahnya dan sangat menyenangkan hatiku. Lambaiannya mengingatkanku akan kepergian mas Bambang waktu itu.
            “Rin, besok mas Bambang ada tugas ke luar kota. Tepatnya Yogyakarta.”
            “Berapa lama?”
            “Sebentar hanya satu minggu.”
            Aku terdiam. Belum puas rasanya bersama dengan mas Bambang. Sebulan lalu baru saja kami menikah, dan kini rasanya tak rela aku melepasnya pergi. Walau hanya satu minggu.
            “Koq diam Rin...?” Ia menghela nafas “Itu semua kan demi pekerjaan, semua kulakukan untukmu juga.” Ia berkata lirih seperti tau apa yang ada dalam hatikku.
            “Aku takut.”
            “Takut apa sayang?”
            “Kecantol cewek Jogja.”
            “Haha. Rin...Rin, boro-boro bisa menggaet cewek. Nih lihat jadwalnya saja sangat padat.” Mas  Bambang mengeluarkan secarik kertas dari tasnya dan menyodorkannya padaku.
            “Iya...aku percaya koq!” aku memberi senyum terindah untuk mas Bambang.
            Seiring itu tiba-tiba munculah bayangan yang sangat ku rindu, sosok mas Bambang muncul dari rindangnya ilalang, muncul dari jalan setapak yang berada di pinggir ilalang. Dengan gagahnya ia berjalan menuju ke arahku, dengan senyum tersungging tak lepas dari bibirnya ia berjalan ke arahku. Dari kejauhan tak lupa tangannya melambai-lambai ke arahku sama seperti lambaian ilalang yang bergemuruh, bersemangat dan mengucapkan selamat padaku atas pertemuanku dengan seseorang yang kurindu.
            Kulirik mataku ke kiri dan ke kanan takut eyang mengetahui kegiatanku, bertemu dengan mas Bambang dan melaporkannya pada Ayah. Tapi tadi eyang sedang asyik memberi makan ayam jadi ia tak mungkin mengetahui pertemuanku, batinku. Kulayangkan pandanganku menuju ilalang. Seperti biasa ia akan melambai-lambai sama dengan lambaian tangan mas Bambang setiap kali bertemu denganku. Aku membalas  lambaiannya. “Mas Bambang cepatlah,” suaraku tertahan memanggilnya, takut kedengaran oleh eyang.
            Tak berapa lama yang kurindu telah berada di dekatku. Gagah sekali, dengan jaket kulit kegemarannya dan satu yang tak pernah ia lupa, memberikanku seikat mawar kesukaanku. “Spesial untukmu,” ia berkata sambil menyerahkan seikat mawar merah padaku.
            “Makasih sayang,” aku mencium mawar pemberiannya.
            Entah berapa lama kami asyik bercerita, melepas rindu, mencurahkan beban yang berkecamuk dalam hatiku juga perihal Ayah yang semakin lama membenci kedatangan mas Bambang.
            “Rin, cepat ke rumah sudah Magrib.” Eyang memegang tanganku. Aku terkejut tak menyangka eyang telah berada di dekatku. Seketika wajahku pucat pasi, takut eyang mengetahui segala kegiatan yang telah aku lakukan. Aku menurut pada eyang, aku masuk ke rumah. Kulirik mas Bambang yang berada di dekatku dan memberi senyum serta memberiku semangat yang tinggi, itu ku ketahui dari tangannya yang mengepal. “Jangan takut, ayo bersemangatlah.” Mungkin itu kalau aku tafsirkan.
            Yang aku takutkan ternyata menjadi kenyataan. Besoknya Ayah dan Ibu datang ke rumah. Tanpa basa-basi ia langsung memarahiku.
            “Rini, apa maumu sebenarnya? Ayah malu kamu senantiasa membuat malu. Tadinya ayah sengaja menitipkanmu di rumah eyang supaya kamu tenang dan menjadi berubah tapi ternyata sama saja.” Ayah memakiku.
            “Ayah cukup. Jangan kau marahi Rini seperti itu.” Ibu memelukku dan berurai air mata.”Seharusnya tak perlu kau jauhkan Rini dari kita, justru kita harus mendampingi dan memberinya semangat.”
            “Beginilah  kalau kau selalu memanjakan Rini, ia menjadi pribadi yang lemah.”
            “Sudahlah Ibu jangan menangis, aku sudah kuat, aku sudah terbiasa dengan marah Ayah. Aku akan menerimanya karena ada seseorang yang senantiasa menyemangatiku.” Aku tersenyum.
            “Siapa dia Rini?”
            “Tuh di luar sedang menungguku.” Aku menunjuk ke arah luar. Tepat di mana mas Bambang berdiri tersenyum ke arahku.
            “Siapa?” Ibu ke luar rumah celingukan ke sana ke mari mencari seseorang yang aku tunjukan.
            “Mana Rin? Koq ngak ada siapa-siapa?”
            “Ada Bu, tuh mas Bambang!” aku berteriak kesal.
            “Rini, sadarlah, Nak! Mas Bambangmu telah tiada. Iklaskan dia.” Ibuku seketika pingsan. Tergeletak di hadapanku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar