Dimuat di Jabar Ekspres, 11 November 2019 |
Dugul
Oleh Nina Rahayu Nadea
“Kamu harus
menjadi pemimpin Kota Dugul. Ingat kamu lahir di sana, darah Kakek mengalir di
tubuhmu. Maka kamu harus bisa meneruskanya. Jangan sampai keturunan kita, tanah
kelahiran kita hilang tak berbekas karena tak ada penerusnya,” itu selalu kata
Kakek, ketika kami sedang bercakap. Bercerita tetang politik. Tentang pemimpin-pemimpin
yang memimpin negeri. Tentang Pilkada yang sebentar lagi di depan mata.
*
Mari
berkunjung ke kota Dugul. Tempat di mana banyak orang meraup untung. Memutar
lingkaran uang dari sekecil dan membesar, mengais rejeki meruah. Kota
apik, Kota memukau. Aneka taman,
gedung tinggi menjulang. Para elit
politik berlomba, untuk menjadi pemimpin, menelisik kota, menumpah ide yang ada di kepala dan kemudian betah tinggal di
sana. Berlian menjadi incaran. Dugul kota berlian,
slogan yang mendunia. Kota - kota gemilang
dengan harta dan kejayaan. kemudian para pemimpin enggan berlalu. Tetap
menetap. Menerus, meski tak terpilih
kembali. Itu sebab banyak yang semakin penasaran dan kemudian berkunjung ke
Dugul.
Dan
aku tentu saja begitu bangga. Betapa tidak aku adalah penerus. Kata Kakek. Aku
lahir di sana. Sejak kecil. Namun karena sesuatu hal, aku terpaksa harus
pindah. Ikut orang tua yang berkelana pindah tugas. Pun kakekku, Danuwijaya. Aku kecil hanya tahu dan mendengar Dugul lewat
cerita dari Kakek. Dari orang tua.
Tinggal
di Dugul itu menyenangkan. Loh jinawi.
Kaya sandang pangan papan. Semua penduduk tak kekurangan. Sumber daya melimpah ruah. “Kalau
saja ayahmu tak pindah ke sini mungkin Kakek akan tetap di sana. Menjaga ladang
dan sawah. “ Suara Kakek parau mengingat masa lalunya. “Kalau Kakek tak sayang
kamu, mungkin akan tinggal di sana saja.
Namun Kakek begitu menyayangimu. Kau jagoan
yang begitu diharap. Penerus keluarga Danuwijaya.”
Semua
anak Kakek memang perempuan. Begitu
mengharap laki laki. Maka ketika aku lahir. Kakek seperti mendapat anugrah tak
terhingga. Aku begitu dimanja, itu kata keluargaku. Maka ketika ayahku pindah ke kota ini, Kakek
pun ikut. Karena mengkhawatirkanku. Ibuku merupakan anak bungsu. Semua saudara
telah pergi merantau jauh. Sedari awal Ibu berniat untuk menjaga Kakek. Sayang, Ayah pindah dinas ke luar pulau untuk waktu tahunan. Beruntung Kakek
mau diajak serta. Menjual semua tanah kemudian pindah ke kota asing.
Dugul
dipimpin oleh orang berpendidikan tinggi. Sederet gelar disandang. Menjadikan Dugul
ternama di mata dunia karena keahlian yang dimiliki sang pemimpin. Itu yang kuketahui dari media. Ada keinginan
dari hati untuk sekedar mengetahui dan ingin beranjak. Menginjakan kaki ke
Dugul adalah harapanku sejak lama. Berita tentang Dugul selalu terkemas dengan
baik. Glamour dan aduhai, menambah rasa penasaranku. Para pemimpin yang senantiasa
juara dalam beragam hal. Karena berani mengucurkan dana jutaan, milyaran bahkan
trilyunan. Itu sebab pula mengapa Dugul dua kali dipimpin oleh orang yang sama.
Menurut berita, di tangan orang ini Dugul mengalami maju pesat. Pembangunan
yang gencar.
“Kota
Dugul menanti pemimpin sepertimu, kau pasti akan betah di sana. Ingat, darahmu,
keringatmu berawal di sana,” begitu
menerus kata Kakek.
“Aku sudah kerasan
di sini, Kek. Masa aku harus kembali ke sana. Aku hanya numpang lahir di Dugul
saja, Kakek ingin aku beradaptasi lagi? Aku susah bersosialisasi, Kek. Lagian
aku tak suka politik.” Begitu ucapku suatu hari karena omongan Kakek yang menerus
menginginkanku untuk segera ke sana.
“Gus...
Sini, mendekatlah.” Kakek menatapku. Dan aku terpekur beberapa saat. Panggilan
Agus. Panggilan yang lama tak kudengar. Ya, Kakek kerap memanggilku seperti
itu, jika ia akan berbicara serius. Pertanda ada hal penting yang tak boleh kuanggap
guyon. Dan aku harus memerhatikannya. Seperti yang Kakek inginkan.
“Gus,
setiap orang memang berhak memilih. Namun ada baiknya mecoba dahulu. Berhari
hari Kakek memimpikan hal yang sama. Dan
Kakek tau bahwa seseorang harus ke sana.”
“Mimpi
apa, Kek?”
“Tubuh
Nenekmu dipenuhi oleh lahar panas, seluruh tubuhnya, Gus. Dan Kakek lihat
tangannya meronta ronta meminta pertolongan. Kakek ingin menolongnya bersegera datang, namun
susah, Gus. Seperti ada sekat. Dan tubuh Nenekmu semakin lama semakin hilang.
Lesap ditelan bumi.”
“Itu
kan Cuma mimpi, Kek. Tidak ada hubungannya
mimpi dengan kenyataan. Itu hanya bunga tidur saja.”
“Kamu
mungkin tak memercayainya, Gus. Karena tidak mengalaminya. Mimpi sekali mungkin
Kakek juga takan memercayai. Tapi mimpi itu berulang. Mimpi yang sama. Aku
ingat Nenekmu, Gus.”
“Kakek
ingat, Nenek?” selidikku.
“Ya.”
“Nanti
aku bantu mendoakan Nenek. Lebih khusyu. Atau bagaimana kalau kita mengadakan
pengajian rutin seperti dulu?” usulku. “Nanti aku bilang ke Ibu.”
*
Bukan ingin menjadi seorang pemimpin. Jauh. Tidak
ada sedetik pun pikirku ke arah sana.
Aku hanya ingin tahu Dugul sekarang, seperti yang diceritakan media. Juga ingin
sekedar berziarah ke makan Nenek. Semoga
dengan begitu Kakek bisa tenang. Tidak sakit seperti sekarang.
Kembali
kubaca literatur tentang Dugul. Mencari tepat tanah kelahiranku. Desa Baja.
Namun tak pernah ada yang memberitakannya. Mbah google pun tak memberi
petunjuk. Dugul hanya bercerita tentang pembangunan kota, tentang kemajuan
pesat di sana. Tanpa pernah mengespos Desa Baja. Untuk ke sana. Tentu aku mengorek
keterangan dari Kakek, perihal angkutan dan lain sebagainya. Agar aku tidak
tersesat, dapat dengan mudah menemukan makan Nenek. Makam keluarga.
Beberapa alat
transportasi yang akan mengantarku pergi. Taksi, pesawat terbang. Bis, Angkutan
umum, delman. Dan kemudian jalan kaki.
Itu semua sudah kuperkirakan. Semua memakan waktu sekitar 3 hari. Ah, pasti
melelahkan. Namun rasa lelah akan terganti ketika aku datang di kota nanti.
Kota yang senantiasa terbayang indah di pelupuk mata
Sebuah
bis mengantarku. Membuat jarak semakin berdekat. Pandangku tak luput dari seisi
alam yang membuat mata semakin lama semakin lelah. Terbangun ketika suara penjual
asongan.
“Di
mana ini?” gumanku pelan.
“Kota
Berlian, Pak, sebentar lagi kita sampai ke kota tujuan.” Jawab ibu di pinggir
yang mendengar gumanku .
“Ah,
kota yang kuimpikan.” Hatiku berkata. Melihat ke luar jendela. Sesaat sebelum
bis berhenti di sebuah terminal.
“Ke
pusat Kota Dugul, Den? Mari Abang antar. Pengemudi mobil mendekat ke arahku.
Ketika aku turun dari bis.
“Iya...
aku mengangguk. Namun aku ingin diantar ke sini.” Aku memberikan alamat padanya.
Ia
membaca pelan alamat yang tertera. “Sebentar,” kulihat ia pergi meninggalkanku.
Mungkin bertanya pada temannya. Karena kulihat mereka bercakap.
“Mengapa
Aden tidak ke kota saja.” Ia menyalakan mobil. Ketika kesepakatan telah dibuat,
adu tawar harga yang alot, yang berujung pada sebuah kesepakatan.
“Mungkin
besok, setelah ziarah ke makam Nenek.”
“Aden,
asli dari sini?”
“Lahir
saja. Abang sendiri?”
“Saya
perantau, Den. Jauh. Biar cepat kaya. Hehe.”
Mobil
semakin jauh melesat, meninggalkan hiruk pikuk kota. Aku mengagumi. Benar benar
arsitik yang keren. Acap kali kugelengkan kepala, melihat bangunan tinggi
menjulang, taman taman yang cantik. Hotel yang megah. Pantaslah banyak
wisatawan berkunjung. Aku ingin segera besok, menikmati lekuk kota Dugul.
Setelah misi terselesaikan.
“Maaf,
Den. Mungkin Abang hanya bisa mengatar sampai di sini. Jalan ke sana sempit,
dan kalau tidak salah sudah tertutup untuk umum.”
“Lho
kenapa, tak bilang dari tadi? Sudah ditutup.” Ada kekesalan dalam hati. “Ok,
makasih Bang.” Segera kuucapkan terima kasih sebelum si Abang merasa bersalah.
“Maaf,
ya, Den. Kalau Aden mau dijemput nanti. Hubungi saja nomor ini.” Ia
mengeluarkan kartu nama.
. “Nah,
mulai lagi...” kagetku kembali ketika mendengar suara dentuman keras.
Suara-suara yang entah sudah berapa kali kudengar menemani langkah, namun
membantuku. Sebagai penunjuk jalan ke tempat tujuan.
Segera
berjalan kembali, setelah beberapa lama hilangkan kaget. Semakin lama, semakin mendekat ke sumber suara. Nyaris
membuat badanku terpelanting. Sehingga aku harus bertiarap di tanah untuk
menahan keseimbanganku. Semakin jauh. Tanah
yang kupijak semakin meninggi. Guncangan semakin hebat. Tepat di atas bukit.
Terlihat pemandangan. Pemandangan yang tidak kubayangkan. Bukit bukit di
depanku gundul. Tebing ditatah. Hutan Gundul. Kudengar tawa yang mengerikan
dari bawah sana.
Laki
laki dugul dengan badan bertato tertawa.
Berpesta dengan laki laki berdasi namun
juga berkepala dugul. Mobil beko meraung
raung bersiap melantahkan bukit. Kota Dugul dan para lelaki dugul. Satu paket yang nyata.***
Ket:
Dugul = gundul, botak
Nina
Rahayu Nadéa.
Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan,
Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh,
Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah
Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid
Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka
Tasikmalaya, Majalah Guneman, Sastra
Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo
Semar, Radar Banyuwangi, Haluan Padang, Harian Cianjur, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar