Mendongkrak Nilai dari Sebuah Kejujuran
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Ujian
Nasional adalah salah satu upaya pemerintah dalam melakukan pemetaan terhadap
nilai atau tingkat kualitas pendidikan yang akan diperoleh. Dan hasil yang
diperoleh dijadikan acuan untuk pembinaan ke arah selanjutnya agar terjadi perbaikan.
Untuk itu pemerintah telah mewanti-wanti kepada semua kalangan agar berlaku
jujur. UN dijadikan sebagai wahana atau mediasi agar semua orang berlaku jujur.
Wajarlah
jika kemudian pemerintah mengakali atau melakukan perbaikan dalam perlakuan UN. Keseriusan itu terlihat
dari adanya perbedaan paket. Kalau biasanya Paket soal terdiri dari 5 paket,
kini berubah menjadi 20 paket. Hal ini
diharapkan dapat meminimalkan tindakan yang dapat membuat terjadinya
kecurangan. Dengan 20 paket, setiap anak mempunyai soal yang berbeda satu sama
lainnya.
Untuk tahun ini, selain tidak ada
kode jawaban, soal dan LJK dibuat satu paket, sehingga sangat kecil kemungkinan
terjadi kebocoran. Berbeda dengan tahun
sebelumnya yang mana di tiap lembaran anak mempunyai kode soal. Kini
tidak lagi, karena semua memakai sistem barcode. Barcode itu sendiri diartikan
sebagai kumpulan kode yang berbentuk garis, dimana masing-masing ketebalan
setiap garis berbeda sesuai dengan isi kodenya. Sekumpulan kode khusus yang
hanya bisa dibaca oleh mesin pada lembar jawaban itu akan berbeda satu sama
lainnya.
Jelas
sekali keseriusan pemerintah dalam hal ini untuk menghindarkan
kecurangan-kecurangan yang seringkali terjadi selama UN. Banyak lembaga yang mendukung agar pelaksanaan
UN berlangsung jujur. Ikrar dan penandatangan kejujuran pun dilakukan di beberapa
sekolah. Hal ini merupakan komitmen dan wujud sebagai kepedulian bersama
terhadap pelaksanaan UN. Dan diharapkan UN
sebagai salah satu bentuk pembinaan karakter kejujuran dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan bersama.
Pun
dalam LJK yang diberikan kepada anak. Tak lupa pemerintah mengingatkan anak
untuk berlaku jujur. Di lembaran LJK tertulis:
Salinlah
kalimat berikut: ‘Saya mengerjakan ujian ini dengan Jujur’.
Wajarlah
kalau kemudian mengatakan bahwa dalam UN telah berlaku jujur. Telah melakukan
hal-hal yang benar-benar sesuai dengan aturan. Kejujuran yang menasional,
memang. Ya, karena pada kenyataannya anak dituntut untuk menulis kata jujur
dalam LJKnya. Sehingga apapun yang telah mereka lakukan seolah tetap telah
berlaku jujur. Walaupun yang harus diperhatikan, sanggupkan anak-anak
menuliskan yang sebenarnya? Tidak mungkin. Selain karena di kolom LJK tidak tertulis tentang apa yang
harus dituliskan atau kejanggalan apa yang dilihat anak didik pada saat ujian
berlangsung. Anak akan menjadi takut untuk menuliskan hal yang sebenarnya
karena mereka seolah telah didogma dalam melakukan perbuatan dengan menulis ‘telah
berbuat jujur’. Tanpa pemerintah tau yang sebenarnya terjadi, apakah mereka
jujur atau tidak. Kalaupun ada yang berlaku tidak jujur, sanggupkah mereka
untuk menyebutkan yang sebenarnya? dan apa yang akan dilakukan pemerintah
menanggapi kasus seperti ini.
Tapi,
Yakinlah. Bahwa anak didik kita akan berlaku jujur. Mengerjakan soal-soal yang
didapat dengan perlakuannya sendiri. Apalagi dengan perlakuan sekarang yang membedakan
seluruh anak didik dalam mengerjakan soal. Bayangkan, baru kali ini pemerintah
menyiasati soal yang beragam. Setiap anak mempunyai satu soal. Dalam satu
ruangan, soal yang didapat pasti berbeda karena paketnya ada 20, dan ini
membuat anak sangat kesulitan dalam menyamakan jawabannya. Begitupun dengan
beredarnya kunci jawaban seperti tahun-tahun sebelumnya, sangatlah sulit.
Para
pengemban amanah dan para pelaku di lapangan merupakan pelaku yang sangat
berperan terhadap keberhasilan UN. Mereka yang akan menjadi sorotan ketika UN
berlaku dengan semestinya ataukah tidak. Sanggupkah mereka berlaku jujur dan
benar-benar memberikan nilai yang transparan terhadap anak didik? Jangan sampai
seperti tahun - tahun sebelumnya, nilai UN anak-anak begitu fantastis. Malah
banyak sekali anak didik yang mendapatkan nilai 100. Jangan karena hanya ingin
disebut berkualitas ingin disebut daerah dengan prestasi tinggi atau mendapat
nilai UN terbaik menghalalkan segala cara.
Tidak
aneh lagi memang, jika si anak yang biasa-biasa saja dan sering bolos ke
sekolah tiba-tiba mendapatkan nilai 100. Atau tidak aneh lagi memang, jika si
anak yang cenderung rajin sekolah dan selalu mendapat rangking di sekolah
tiba-tiba bernilai buruk dan menyebabkan dia tidak lulus. Pemberlakuan UN
memang dirasa tidak adil. Tapi kalaulah semua orang yang terlibat mau dan tidak
malu untuk berbuat jujur. Pastilah semua akan berjalan normal dan lancar.
Tapi
kembali lagi pada lembaga atu pribadi masing-masing. Sanggupkah kita berlaku
jujur? Bayangkan jika suatu sekolah nilai UNnya rendah, apa yang akan mereka
alami? Apakah yakin sekolah tersebut tetap diminati anak didik, orang tua tetap
percaya untuk menitipkan anak didiknya di sana? Apakah pemerintah akan peduli
mengurus sekolah yang notabene menghasilkan anak-anak didik yang nilai UN
rendah, sehingga memberikan solusi dengan cara memberikan pembinaan.
Atau
sebagai diri pribadi. Pernahkah orang tua itu sendiri memberi wejangan atau memberi
amanah pada anak didiknya untuk berlaku jujur? Menjawab soal-soal dengan
sendirinya. Dan menerima dengan legowo jika hasil UN anaknya bernilai rendah? Psikologi anak dan orang di sekitar mulai
dipermainkan dengan adanya UN.
Sangatlah
disayangkan memang, jika do’a-do’a, istighotsah, ESQ yang dilakukan menjelang
UN menjadi ternoda karena hal-hal yang
tidak diinginkan. Hal-hal yang membuat kemurnian UN itu sendiri menjadi buram
karena prilaku oknum yang tetap ingin menonjolkan segi kualitas tanpa pernah
memikirkan proses yang terbentuk dari sebuah nilai yang didapat. Kalaulah
pemerintah ‘keukeuh’ ingin melihat kualitas pendidikan yang didapat, lihatlah hasil Try Out yang kerap dilakukan sekolah. Bandingkan hasilnya dengan nilai
UN yang diumumkan. Apa yang kemudian terpikir?
Entahlah, kalau semua berpura-pura.
Do’a-do’a
begitu ternoda karena perlakuan oknum yang tidak jujur. Sangat disayangkan di
tengah-tengah kejujuran yang begitu membahana, mereka masih melakukan hal yang
tidak-tidak. Seolah tidak percaya apa yang akan terjadi dan apa yang telah
mereka lakukan. Berdo’a, berikhtiar dan
kemudian serahkan semuanya pada yang maha kuasa, itu tugas kita sebagai
manusia. Apa belum cukup? Belum puas? Hingga tetap saja praktik ketidakjujuran
ada di mana-mana.
Semua
tergantung dari pemerintah. Apakah benar mau berlaku jujur? Apakah para pemangku jabatan di daerahnya
masing-masing tidak merasa gengsi jika nilai yang didapat dari sebuah kejujuran
UN itu pada akhirnya bernilai rendah?
Benarkah
UN tercipta dari sebuah kejujuran? Wallahu
a’lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar