Selasa, 07 Mei 2013

Dimuat di Galamedia 3 Mei 2013


Mendongkrak Nilai dari Sebuah Kejujuran
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Ujian Nasional adalah salah satu upaya pemerintah dalam melakukan pemetaan terhadap nilai atau tingkat kualitas pendidikan yang akan diperoleh. Dan hasil yang diperoleh dijadikan acuan untuk pembinaan ke arah selanjutnya agar terjadi perbaikan. Untuk itu pemerintah telah mewanti-wanti kepada semua kalangan agar berlaku jujur. UN dijadikan sebagai wahana atau mediasi agar semua orang berlaku jujur.
                Wajarlah jika kemudian pemerintah mengakali atau melakukan perbaikan  dalam perlakuan UN. Keseriusan itu terlihat dari adanya perbedaan paket. Kalau biasanya Paket soal terdiri dari 5 paket, kini berubah menjadi  20 paket. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan tindakan yang dapat membuat terjadinya kecurangan. Dengan 20 paket, setiap anak mempunyai soal yang berbeda satu sama lainnya.  
Untuk tahun ini, selain tidak ada kode jawaban, soal dan LJK dibuat satu paket, sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi kebocoran. Berbeda dengan tahun  sebelumnya yang mana di tiap lembaran anak mempunyai kode soal. Kini tidak lagi, karena semua memakai sistem barcode. Barcode itu sendiri diartikan sebagai kumpulan kode yang berbentuk garis, dimana masing-masing ketebalan setiap garis berbeda sesuai dengan isi kodenya. Sekumpulan kode khusus yang hanya bisa dibaca oleh mesin pada lembar jawaban itu akan berbeda satu sama lainnya.
                Jelas sekali keseriusan pemerintah dalam hal ini untuk menghindarkan kecurangan-kecurangan yang seringkali terjadi selama UN.  Banyak lembaga yang mendukung agar pelaksanaan UN berlangsung jujur. Ikrar dan penandatangan kejujuran pun dilakukan di beberapa sekolah. Hal ini merupakan komitmen dan wujud sebagai kepedulian bersama terhadap pelaksanaan UN. Dan  diharapkan UN sebagai salah satu bentuk pembinaan karakter kejujuran dapat berlangsung sesuai dengan tujuan bersama.
                Pun dalam LJK yang diberikan kepada anak. Tak lupa pemerintah mengingatkan anak untuk berlaku jujur. Di lembaran LJK tertulis:
                Salinlah kalimat berikut: ‘Saya mengerjakan ujian ini dengan Jujur’.
                Wajarlah kalau kemudian mengatakan bahwa dalam UN telah berlaku jujur. Telah melakukan hal-hal yang benar-benar sesuai dengan aturan. Kejujuran yang menasional, memang. Ya, karena pada kenyataannya anak dituntut untuk menulis kata jujur dalam LJKnya. Sehingga apapun yang telah mereka lakukan seolah tetap telah berlaku jujur. Walaupun yang harus diperhatikan, sanggupkan anak-anak menuliskan yang sebenarnya? Tidak mungkin. Selain karena  di kolom LJK tidak tertulis tentang apa yang harus dituliskan atau kejanggalan apa yang dilihat anak didik pada saat ujian berlangsung. Anak akan menjadi takut untuk menuliskan hal yang sebenarnya karena mereka seolah telah didogma dalam melakukan perbuatan dengan menulis ‘telah berbuat jujur’. Tanpa pemerintah tau yang sebenarnya terjadi, apakah mereka jujur atau tidak. Kalaupun ada yang berlaku tidak jujur, sanggupkah mereka untuk menyebutkan yang sebenarnya? dan apa yang akan dilakukan pemerintah menanggapi kasus seperti ini.  
                Tapi, Yakinlah. Bahwa anak didik kita akan  berlaku jujur. Mengerjakan soal-soal yang didapat dengan perlakuannya sendiri. Apalagi dengan perlakuan sekarang yang membedakan seluruh anak didik dalam mengerjakan soal. Bayangkan, baru kali ini pemerintah menyiasati soal yang beragam. Setiap anak mempunyai satu soal. Dalam satu ruangan, soal yang didapat pasti berbeda karena paketnya ada 20, dan ini membuat anak sangat kesulitan dalam menyamakan jawabannya. Begitupun dengan beredarnya kunci jawaban seperti tahun-tahun sebelumnya, sangatlah sulit.
                Para pengemban amanah dan para pelaku di lapangan merupakan pelaku yang sangat berperan terhadap keberhasilan UN. Mereka yang akan menjadi sorotan ketika UN berlaku dengan semestinya ataukah tidak. Sanggupkah mereka berlaku jujur dan benar-benar memberikan nilai yang transparan terhadap anak didik? Jangan sampai seperti tahun - tahun sebelumnya, nilai UN anak-anak begitu fantastis. Malah banyak sekali anak didik yang mendapatkan nilai 100. Jangan karena hanya ingin disebut berkualitas ingin disebut daerah dengan prestasi tinggi atau mendapat nilai UN terbaik menghalalkan segala cara. 
                Tidak aneh lagi memang, jika si anak yang biasa-biasa saja dan sering bolos ke sekolah tiba-tiba mendapatkan nilai 100. Atau tidak aneh lagi memang, jika si anak yang cenderung rajin sekolah dan selalu mendapat rangking di sekolah tiba-tiba bernilai buruk dan menyebabkan dia tidak lulus. Pemberlakuan UN memang dirasa tidak adil. Tapi kalaulah semua orang yang terlibat mau dan tidak malu untuk berbuat jujur. Pastilah semua akan berjalan normal dan lancar.
                Tapi kembali lagi pada lembaga atu pribadi masing-masing. Sanggupkah kita berlaku jujur? Bayangkan jika suatu sekolah nilai UNnya rendah, apa yang akan mereka alami? Apakah yakin sekolah tersebut tetap diminati anak didik, orang tua tetap percaya untuk menitipkan anak didiknya di sana? Apakah pemerintah akan peduli mengurus sekolah yang notabene menghasilkan anak-anak didik yang nilai UN rendah, sehingga memberikan solusi dengan cara memberikan pembinaan.
                Atau sebagai diri pribadi. Pernahkah orang tua itu sendiri memberi wejangan atau memberi amanah pada anak didiknya untuk berlaku jujur? Menjawab soal-soal dengan sendirinya. Dan menerima dengan legowo jika hasil UN anaknya bernilai rendah?  Psikologi anak dan orang di sekitar mulai dipermainkan dengan adanya UN.
                Sangatlah disayangkan memang, jika do’a-do’a, istighotsah, ESQ yang dilakukan menjelang UN  menjadi ternoda karena hal-hal yang tidak diinginkan. Hal-hal yang membuat kemurnian UN itu sendiri menjadi buram karena prilaku oknum yang tetap ingin menonjolkan segi kualitas tanpa pernah memikirkan proses yang terbentuk dari sebuah nilai yang didapat. Kalaulah pemerintah ‘keukeuh’ ingin melihat  kualitas pendidikan yang didapat,  lihatlah hasil Try Out yang kerap dilakukan sekolah. Bandingkan hasilnya dengan nilai UN yang  diumumkan. Apa yang kemudian terpikir?  Entahlah, kalau semua berpura-pura.
                Do’a-do’a begitu ternoda karena perlakuan oknum yang tidak jujur. Sangat disayangkan di tengah-tengah kejujuran yang begitu membahana, mereka masih melakukan hal yang tidak-tidak. Seolah tidak percaya apa yang akan terjadi dan apa yang telah mereka lakukan. Berdo’a,  berikhtiar dan kemudian serahkan semuanya pada yang maha kuasa, itu tugas kita sebagai manusia. Apa belum cukup? Belum puas? Hingga tetap saja praktik ketidakjujuran ada di mana-mana.
                Semua tergantung dari pemerintah. Apakah benar mau berlaku jujur?  Apakah para pemangku jabatan di daerahnya masing-masing tidak merasa gengsi jika nilai yang didapat dari sebuah kejujuran UN itu pada akhirnya bernilai rendah?
                Benarkah UN tercipta dari sebuah kejujuran? Wallahu a’lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar