Hadiah dari Jujur
Oleh: Nina Rahayu
Nadea
“Risma,
Minggu depan kamu akan mewakili sekolah untuk lomba.”
“Lomba
apa?”
“Lomba
membuat hasta karya. Dan Ibu sengaja memilihmu, karena kamu pasti bisa?”
“Ehm,
tapi buat apa yah?”
“Buat
bros saja seperti yang kau bawa. Ingat lakukan yang terbaik yah, Ibu percaya
padamu.” Bu Nani meninggalkan Risma.
*
“Ris
bolehkah aku ke rumahmu sekarang?” ujar suara dari sebrang sana.
“Maaf,
Mey. Aku lagi di luar. Lagi jalan-jalan sama Mama.”
Teman-teman
sekelas Risma merasa aneh dengan kelakuan Risma akhir-akhir ini. Risma tak mau
main bareng, tak pernah ngerumpi
lagi. Setiap pulang selalu terburu-buru. Ada apa yah? Apa kita berbuat salah? Semua mengira-ngira gerangan yang terjadi.
Biasanya setiap pulang sekolah mereka pulang bersama atau jajan dulu ke kantin.
Tapi kini, setip bel berbunyi Risma langsung kabur tanpa alasan. Setiap di
telepon ada saja alasannya. Jalan-jalanlah, ada saudara lah. Ah, pokoknya
menyebalkan.
“Hus,
sudah dari tadi ngegosip saja?” Suara Bu Nani dari belakang membuyarkan perkataan
mereka.
“Ini,
Bu. Kita aneh dengan sikap Risma akhir-akhir ini. Ia selalu menghindar dan tak
pernah lagi jalan bareng. Ia selalu pulang duluan. Padahal kita ngak punya
salah.” Meymey berkata.
“Ah
mungkin dia lagi sibuk.” Bu Nani tersenyum memandang anak didiknya.
“Aku
juga ngerti, Bu. Dia itu sibuk memersiapkan lomba. Kita itu hanya ingin ngobrol
dan memberi dukungan saja.”
“Sudah
jangan dipikirkan. Yang penting kita doakan, supaya Risma dapat memenangkan perlombaan
itu. Mungkin dia stres memikirkan lombanya. Justru kalian harus memberinya kesempatan,
mendukung yang dia lakukan. Jangan sampai berburuk sangka.”
*
Dengan sabar
dan teliti Risma memasukan benang itu ke manik-manik. Mengikuti gerakan mamanya.
Tak bosan, hingga berhari-hari.
“Tuh
hasilnya kan bagus?” Mama memuji bros buatan Risma. “Makanya harus rajin yah,
supaya bisa membuat yang lebih bagus. Kuncinya adalah mau belajar dan tidak
bosan,” Mama memegang tangan Risma.
“Iya,
Ma. Pokoknya mulai sekarang Risma akan rajin membantu.”
*
“Mau
ke mana, Ris?”
“Mau
pulang duluan, Bu.”
“Kenapa
sakit?”
“Iya
sedikit ngak enak badan.”
“Ya
sudah. Nanti Ibu kabarin hasilnya.”
Risma
mengangguk tak berani menatap Bu Nani. Sepanjang perjalanan ia cemberut saja. Riris,
kakaknya pun tak berani berkomentar. Lebih memilih untuk diam.
“Wah
kenapa pulang lebih awal?” Mama menyapa, ketika Risma berada di ambang pintu.
Risma
tak menjawab. Malah menangis.
“Kenapa
menangis?”
“Risma
malu. Padahal selama ini selalu membanggakan diri. Bahwa bros yang Risma bawa
ke sekolah adalah buatan sendiri. Padahal itu buatan Mama.” Risma membenamkan
wajahnya ke pelukan Mama.
Mama
hanya tersenyum membelai kepala Risma. “Tapi yang penting kau telah bekerja
keras dan berusaha, iya kan?”
“Maafkan
Risma ya, Ma. Sudah mengaku buatan Mama adalah hasil karyaku.” Risma semakin
menangis.
“Sudahlah
yang penting kau mau berlaku jujur dalam lomba. Kau membuatnya sendiri. Oh iya,
tadi ada telepon dari Bu Nani, tapi tidak keburu diangkat. Teleponlah, Ris.”
“Malu.”
“Jangan
malu. Berkatalah jujur.”
Tanpa
menunggu ucapan Risma. Mama memijit nomor HP Bu Nani dan memberikannya pada
Risma.
“Bu,
maafkan Risma, yah?”
“Maaf
kenapa?”
“Risma
telah membohongi Ibu. Bros yang selama ini dibawa ke sekolah itu bukan buatanku
tapi buatan Mama.” Suara Risma basah karena air mata.
“Ngak
apa-apa. Kau sudah menebus kesalahan dengan bekerja keras, berlatih setiap
hari.”
“Koq ibu tau?”
“Karena
mamamu pernah datang ke rumah. Dan bercerita banyak tentangmu. Dan tau
hadiahnya?”
“Hadiah
apa, Bu?”
“Hadiah
untuk anak jujur sepertimu.”
“Maksud
Ibu?”
“Karyamu
terpilih juri sebagai pemenang tiga dalam perlombaan tadi. Selamat ya, Ris.”
***
http://m.analisadaily.com/news?r=21704#.U2JQ9XvZ_mc.facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar