Absurd
Oleh: Nina Rahayu Nadea
“Dana
Bos, dana bawaku katanya sudah cair,” ucap seorang TU berkata keras.
“Ssst...
jangan keras-keras, nanti ada cicak.“
“Cicak?
Oh dia!” ia tersenyum ketika melihat sahabatnya menyimpan telunjuk di bibir. Menunjuk
ke ruangan sebelah. Ruangan kepala sekolah.
“Ya,
tapi tetap saja nanti juga ia tahu sendiri.” Ia tersenyum lebar melihat
sahabatnya yang seolah takut uang itu segera berpindah. Ya, pindah seperti
sebelumnya. Uang dari pemerintah untuk biaya operasional sekolah. Sering mampir
ke rekening pribadi kepala sekolahnya. Memang ada juga yang dijadikan biaya operasional.
Tapi jumlahnya tak seberapa. Lebih banyak meringkuk di kantung pribadi, di
dompet. Bertengger menjadi hunian pribadi yang mewah.
“Ah
moga cepat cair, aku kasihan sama guru honor. Sudah tiga bulan belum digaji.”
“Dan
yang pasti semoga tidak mengendap lagi di dompet ibu. Hihi.”
“Moga
saja ibu cepat sadar.”
“Sadar? Mustahil.
Buktinya, perkara bangunan kelas yang roboh akibat mark up anggaran belanja, tetap saja tak membuat ibu sadar.
Segalanya selesai dengan uang. Walau beliau sempat ketar ketir karena
berhadapan dengan aparat. Kini melenggang seperti biasa, masalah dulu hilang
tak berbekas.”
Mereka bergidik ngeri
membalikan ingatan masa lalu. Ketika suatu pagi. 10 menit yang lalu lonceng
baru saja berbunyi. Anak-anak dengan riang dan bersemangat masuk ke kelas.
Menerima ilmu-ilmu dari para guru. Senyap. Ketika tiba-tiba kegaduhan terjadi.
Atap kelas di lantai dua rubuh. Jerit tangis pilu seketika terjadi. Darah
tercecer di mana-mana. Mengerikan.
Beberapa menit kemudian,
sekolah dipenuhi para polisi. Police
line, membentang. Wartawan menyemut di lokasi kejadian. Para korban
bergelimpangan. Patah tulang, pingsan bahkan satu orang siswa terluka parah
mengalami gegar otak. Begitu menegangkan. Beruntung tidak ada korban jiwa. Walau
semenjak itu sekolah menjadi tidak laku. Banyak murid yang tidak mendaftar ke
sekolah ini. Takut.
“Iya, yah.
Ngomong-ngomong ke mana sudah siang begini ibu belum datang?”
“Ah,
ngak usah dipikirkan, paling ia mencari tahu tentang uang yang akan cair. Atau juga membersikan mukanya yang semakin
berjerawat. Hihi.”
***
Bu
Suti datang ke salon langganannya. Menyembuhkan jerawat yang akhir-akhir ini
semakin banyak menyembul dari kulit pipinya yang bersih mulus. Asalnya satu,
kemudian dua tiga terus beranak pinak dan kini memenuhi wajahnya. Jerawat yang semakin hari semakin
membuatnya gelisah. Ia yang selalu menjaga penampilan agar semakin trendy dan
semakin disanjung anak buahnya kini harus memperlihatkan jerawatnya.
“Gimana
nih, katanya obat mujarab dan manjur,” Bu Suti bersungut menghadap pemilik salon.
Melemparkan obat jerawat yang mahal dan berseru lantang pada pegawai di sana. “Pokoknya
kalian harus bisa menghilangkan jerawatku. Berapa pun akan kuganti. Asal
kulitku mulus kembali,” dengusnya jengkel.
“Jangan
marah Bu, mungkin ada kelainan di kulit. Atau ibu periksa khusus saja ke rumah
sakit,” dengan halus Bu Via pemilik salon mendekat, memegang bahu Bu Suti. Berharap
marahnya reda. “Aneh juga kenapa jerawat ini ngak bisa hilang?” ia melihat jerawat
di pipi Bu Suti. “Padahal obat ini nomor satu lho. Tak biasanya seperti ini,” tangannya
meraba kulit Bu Suti. Wajah yang menurutnya semakin dihiasi oleh jerawat.
Jerawat yang dua hari ini semakin membesar. “Ini sepertinya bukan sembarang jerawat,
Bu?”
“Maksudmu?”
Bu Suti mendelik.
“Sebaiknya
ibu ke dokter kulit sajalah. Insya alloh cepat sembuh yah. Jangan kuatir aku
punya kenalan dokter kulit bagus,” ia memberikan alamat pada Bu Suti. Bu Suti
menerimanya. Dengan harapan begitu besar. Semoga dokter ini bisa menyembuhkan
jerawat yang membandel. Berapapun biayanya ia akan sukarela mengeluarkan,
asalkan wajahnya yang senantiasa digandrungi, molek kembali.
***
Dokter
itu keheranan melihat wajah Bu Suti yang dipenuhi jerawat. Sebagian darinya
mengeluarkan nanah yang berbau.
“Koq
dibiarkan begini? Kapan kejadiannya?”
“Belum
lama, baru tiga hari, Dok.”
“Tiga
hari?” dokter itu mengernyitkan dahi, memeriksa kulit muka Bu Suti. Meneliti
dengan seksama. “Ya, mudah-mudahan obat
ini mampu menyembuhkan penyakit ibu.” Ia membuat sebuah resep untuk Bu Suti. Dalam
hatinya dipenuhi seribu tanya. Tiga hari. Waktu yang sangat singkat. Tapi
begitu cepatnya sang jerawat menyebar dan bahkan telah menutupi seluruh wajah Bu
Suti. Jerawat tidak normal dan mengeluarkan nanah yang berbau.
***
Karena
jerawat yang semakin melebar membesar juga bernanah, menyurutkan niatnya untuk
senantiasa datang ke sekolah. Sekolah di mana senantiasa dijadikannya tempat
berladang. Berladang mencari uang yang selama ini menumpuk. Di sekolah dia
dapat mengekspresikan diri. Memperlihatkan kecantikan yang membuat iri
bawahannya. Perintahnya senantiasa digugu oleh anak buahnya. Hem, siapa yang
takut pada dirinya seorang kepala sekolah. Sekali protes telunjuknya langsung beraksi,
memerintahkan pada para wakaseknya untuk senantiasa membuat SK. SK pengunduran
diri anak buahnya. Apalagi guru yang sering mangkir.
Para
guru honorer menunggu dengan setia kabar baik. Kabar yang dapat menyenangkan
keluarganya di rumah. Tapi kabar itu tak pernah ada. Bisik angin segar yang
biasanya datang dari TU tak pernah ada. Bendahara TU pun, sepertinya enggan
untuk bertemu dengan para guru honorer. Mereka lebih baik menyembunyikan
wajah-wajahnya, menyembunyikan diri di balik lemari-lemari besar, di balik komputer tempat mereka bekerja. Takut
mereka menjadi kena getahnya, takut jika para guru marah. Bertanya:
“Kapan
honor akan dibagikan?”
Pertanyaan
yang memang seharusnya dijawab dengan
amplop hasil kerja keras mereka. Bukan rahasia lagi memang jika uang itu
sering mampir di dompet ibu kepala. Mengendap. Tapi kini sudah sangat
keterlaluan. Tiga bulan lebih, bukan waktu yang sebentar untuk menunggu.
Kini
para guru semakin malas untuk berangkat. Bukannya tak ada semangat untuk
mencerdaskan anak bangsanya tapi apa dikata. Dompet mereka kosong. Anak- anak
didik terlantar karena guru yang mangkir. Membiarkan tunas-tunas harapan bangsa
menyimpan lara.
Tak
adil memang di tengah pendidikan yang semakin digembor-gemborkan. Dana
pendidikan naik. Gaji para guru naik.
Semua guru akan disertifikasi dan mereka akan sejahtera. Kehidupan para guru
honorer akan sama, sederajat dengan para guru PNS. Mana buktinya?
Tak
terbukti. Keringat dan tenaga mereka musnah. Tetap ada diskriminasi.
Diskriminasi yang membuat kesenjangan begitu dalam.
***
“Apa
gerangan penyakit saya? Apa obatnya?”
“Obatnya
banyaklah beristigfar!”
“Maksud
Pak Ustad?”
“Kembalikan
segala uang yang bukan hak ibu.”
Bu
Suti termenung. Merenungi perkataan Pak Ustad yang sengaja ia datangkan ke
rumahnya hanya untuk menyembuhkan jerawat.
“Secepatnya
ya, Bu. Insya Alloh ibu akan segera sembuh. Ingat mereka sangat
membutuhkannya,” Pak Ustad tersenyum dan segera berlalu dari rumah megah Bu Suti.
Bu
Suti terdiam memandangi punggung Pak Ustad yang semakin lama semakin menjauh.
Ingin sebenarnya ia marah, berteriak memaki, karena lantang menggurui. Tapi semakin
niat kencang tertanam di hati. Jerawat
itu semakin berdenyut, semakin marah, dan mengeluarkan nanah berbau.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar