Senandung
Rindu Untuk Dian
Oleh
: Nina Rahayu Nadea
Hari ini cuaca sangat panas. Sepanas
hatiku yang dilanda masalah bertubi-tubi. Diusir dari rumah oleh ibu sendiri,
juga kehilangan seorang yang sangat berharga dalam hidupku. Teriknya mentari begitu pas bertengger di
ubun-ubun sang makhluk di bumi. Jam 12 tepat. Keringat mengucur deras dari
tubuhku. Bergulir jatuh ke tanah yang gersang dan berdebu. Bunyi knalpot serta
segerombolan orang yang lewat di depanku tak membuatku beranjak dari tempat
duduk ini. Aku begitu menikmatinya. Aku ingin mengenangmu lebih lama. Memendam
rindu yang kian hari kian mengikis hatiku, menguras relung hati karena
memikirkanmu.
Kukibaskan topi ke wajahku. Angin semilir membelai
mesra rambutku. Kududuk di bawah pohon
jambu
batu
yang rindang. Daunnya berguguran dan hinggap di pangkuanku. Kupungut dan
kupandangi lebih lama, dan semuanya mengingatkan akan kejadian yang mengharu
biru. Daun jambu batu. Aku menjadi mengingatmu.
Saat kau tak berdaya di Rumah
Sakit akibat penyakit demam berdarah, mungkin akulah orang yang paling cemas di
muka bumi. Aku pontang panting ke sana ke mari hanya untuk mencari buah jambu
batu. Kemudian aku blender dan kubuatkan
jus special hanya untukmu. Kulihat
kau tersenyum bahagia waktu aku memberikan jus buatanku. Dengan semangatnya
dalam hitungan menit gelasnya telah kosong. “Terima kasih beibep,” ujarmu dengan
mata berbinar. Aku pun
bahagia saat itu, karena jus buatanku sangat kamu sukai. Hanya satu keinginanku
waktu itu, aku ingin kau cepat sembuh Dian.
Dian tahukah kau, sudah hampir seminggu aku
mencarimu. Rumah megahmu ternyata kini sudah kosong tak berpenghuni. Kutanyakan
pada orang di sana, tapi tak ada satu pun yang memberi keterangan
tentang keberadaanmu. Dimanakah kau Dian? Betapa hatiku begitu merindu.
Sepasang kekasih lewat di depanku. Aku begitu iri
dengan mereka yang dapat mengemukakan gundah gulananya. Sesekali tangannya
saling berpegangan memberi kekuatan tentang cinta, tentang setia. Aku yang
begitu tergantung kepadamu, begitu mendambamu dan hanya bisa menangis pilu
begitu tahu jejakmu hilang seperti ditelan bumi. Kekasih sejatiku Dian, dimakah
kau berada?
Perjalanan panjang telah aku lalui. Semenjak
kepergianku dari rumah. Langkahku tak menentu. Makan pun kudapat dari belas
kasih orang. Coba kalau kau ada di sini mungkin aku tidak akan kelaparan
seperti ini. Karena kau yang senantiasa setia memerhatikan keadaanku. Mulai
dari makanan ringan, makanan apapun dengan suka cita kau berikan hanya untukku.
Ah Dian kau begitu perhatian.
Aku asalnya minder dan kaku berteman denganmu.
Maklum status kita terlalu jauh. Kau orang berada sementara aku orang miskin. Tapi kau membangkitkan rasa
percaya diri. Kau bilang di dunia ini sama dan janganlah memandang seseorang
dari segi materi. Setelah itu aku tak pernah lagi memikirkannya. Karena aku
terlalu bahagia bisa berada dekat denganmu.Tak lagi aku pusingkan kau yang
notabene anak seorang pengusaha sukses dan aku seorang anak tukang binatu.
Semua aku lakukan dengan enjoy. Itu
semua berkatmu. Aku turut berduka dengan keberadaanmu. Ternyata walau kau
bergelimang harta, walau seluruh kebutuhan mewahmu terpenuhi. Tapi sering kau
mengadu padaku tentang keadaan ayah ibumu yang gila kerja dan tak pernah
memerhatikanmu. Sehingga tugasku pula yang berbagi perhatian denganmu. Aku tak
mau kau larut dalam sedihmu yang berlebih.
Kadang aku tak habis pikir dengan orang tuamu.
Sebenarnya apa yang mereka cari? Tanpa henti menumpuk harta. Bagi mereka
perhatian untuk anaknya adalah perhatian dengan memberi uang yang berlebih. Memberi
kebutuhan mewah yang tidak didapatkan orang lain. Tanpa mereka tahu bahwa kau
begitu butuh orang tua yang memerhatikan.
Sementara di sisi lain ibuku memberi perhatian lebih. Terlalu hati-hati
dan senantiasa memberi wejangan tentang kehidupan. Tapi tetap saja kurasa
kurang dari segi materi. Yah,
itulah manusia yang tidak pernah merasa puas.Maka ibuku begitu bahagia ketika
aku berteman denganmu. Karena dengan begitu aku yang asalnya kaku dan
jarang bergaul, dengan keberadaanmu aku menajdi punya teman. Teman sejati. Dan ibuku dengan senang hati memberi kebebasan kepadaku
untuk menemanimu di rumah yang sepi itu. Hingga akhirnya kita selalu bersama
kapan pun,
dimanapun. Kau begitu sempurna untukku.
Sesekali kau ajak ibuku jalan-jalan. Walau asalnya
menolak, tapi tak enak dengan paksaanmu maka akhirnya ibuku menuruti keinginamu
untuk sekedar jalan-jalan. Dan ibuku begitu menikmatinya. Jalan-jalan ke kota,
naik mobil mewah sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa. Tak jarang kau
membeli makanan
untuk ibuku. Kau sudah menganggap ibuku adalah ibumu juga. Makasih Dian atas
cinta yang telah kau berikan pada ibuku. Tapi aku heran dengan keberadaan
ibumu, karena telah sering aku berkunjung ke rumahmu tapi belum pernah aku
melihat ibu atau ayahmu.
Perlu kau tau semenjak kejadian itu. Ibuku teramat
murka dan ia mengusirku dari rumah. Ia tak sudi mempunyai anak sepertiku.
Kata-katanya begitu menyakitkan. “Lebih baik kau mati saja!” Pantaskah ucapan seperti itu menurutmu Dian? Akupun
meminta maaf padamu karena ibuku telah lancang memaki engkau, sehingga saat itu
juga kau pulang tanpa pamit kepadaku. Aku tahu kau begitu terluka dengan ucapan
ibuku. Maafkan aku Dian.
Kau senantiasa memberi semangat dan memanjakanku
pabila orang mengejekku. Dengan lembut kau mengajari banyak hal tentang
kehidupan ini. Kau membuatku melupakan kata-kata orang yang tidak aku
sukai. Tapi berkat kau aku mampu
melewatinya.
***
Lama aku termenung dibawah rindangnya Pohon Jambu
Batu. Malas sekali aku melangkah karena tidak ada tujuan pasti. Walau lama
berdiam, tapi tak membuatku bosan. Kenanganmu begitu melekat di dermaga hatiku.
Dan aku tak mau meninggalkan tempat ini. Kuanggap ini adalah peristirahatanku,
supaya aku bisa mengenangmu. Kini rasa lapar tak tertahan menyerangku. Tahukah
kau Dian sedari kemarin perutku belum diisi. Karena aku tidak punya uang untuk
membelinya. Beruntung tadi pagi ada seorang nenek membuang roti ke tempat
sampah dan terpaksa aku ambil untuk menghilangkan laparku. Dan sekedar
mengenangmu aku berjalan jauh ke tempat ini hanya untuk menikmati acara makan
siang yang biasa kita lakukan. Kau sering mengajakku ke sini hanya sekedar
makan siang. Tempat kita bersantai
setiap sabtu sore. Hari yang kutunggu.
Baru saja kubuka plastik rotinya, kulihat iringan orang banyak, beberapa
diantaranya mengusung keranda mayat. Ah, akupun mungkin
sebentar lagi akan seperti itu, batinku. Apalagi dengan keadaanku yang tak
mungkin bisa bertahan hidup. Tanpa rumah tanpa makanan. Kupandangi wajah tiap
orang, tak kukenal. Tetapi ketika aku melihat wajah seorang wanita yang cantik
dengan kerudung hitam yang ia letakan di kepala begitu saja, aku rasa mengenalnya. Tapi aku tak tahu siapa dia
sebenarnya. Kuputar kembali memoriku untuk mengingat siapa perempuan cantik
itu. Tampaknya ia orang berada kulihat
dari pakaian dan cara dandannya yang berbeda dari yang lain. Kuperhatikan terus
wanita itu ternyata ada kesamaan denganmu Dian. Ah aku langsung terkejut melihat
tahi lalat di pipi kirinya. Bukankah wanita itu mirip
dengan foto ibumu yang senantiasa kau bawa dalam dompetmu, dan sering kulihat di
rumahmu. Potonya terpajang besar di ruangan tamu.
***
Hatiku remuk terasa, mendengar
penuturan ibumu yang mengatakan bahwa kau pergi tuk selamanya.
Dian…mungkin kau sudah lelah
menjalani perjalan cinta yang terlalu berliku. Kini karena kelelahanmu kau
putuskan untuk istirahat di sana. Semoga aku dapat segera menyusulmu. Selamat jalan Dian….Jangan ragu padaku. Aku
akan senantiasa datang ke sini mengirimkan do’a dan senandung rindu hanya
untukmu.Rindu dari seseorang bernama Bagaskara yang tak pernah pupus ditelan
waktu.
Kutaburkan bunga terakhir di tanah
yang merah. Disana tertulis nama Dian Kusuma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar