Sabtu, 09 Agustus 2014

Cerpen, dimuat di Majalah Kandaga Agustus 2014





Senandung Rindu Untuk Dian
Oleh : Nina Rahayu Nadea
            Hari ini cuaca sangat panas. Sepanas hatiku yang dilanda masalah bertubi-tubi. Diusir dari rumah oleh ibu sendiri, juga kehilangan seorang yang sangat berharga dalam hidupku.  Teriknya mentari begitu pas bertengger di ubun-ubun sang makhluk di bumi. Jam 12 tepat. Keringat mengucur deras dari tubuhku. Bergulir jatuh ke tanah yang gersang dan berdebu. Bunyi knalpot serta segerombolan orang yang lewat di depanku tak membuatku beranjak dari tempat duduk ini. Aku begitu menikmatinya. Aku ingin mengenangmu lebih lama. Memendam rindu yang kian hari kian mengikis hatiku, menguras relung hati karena memikirkanmu.
Kukibaskan topi ke wajahku. Angin semilir membelai mesra rambutku. Kududuk di bawah pohon jambu batu yang rindang. Daunnya berguguran dan hinggap di pangkuanku. Kupungut dan kupandangi lebih lama, dan semuanya mengingatkan akan kejadian yang mengharu biru. Daun jambu batu. Aku menjadi mengingatmu.  Saat  kau tak berdaya di Rumah Sakit akibat penyakit demam berdarah, mungkin akulah orang yang paling cemas di muka bumi. Aku pontang panting ke sana ke mari hanya untuk mencari buah jambu batu. Kemudian aku blender dan kubuatkan jus special hanya untukmu. Kulihat kau tersenyum bahagia waktu aku memberikan jus buatanku. Dengan semangatnya dalam hitungan menit gelasnya telah kosong. “Terima kasih beibep,” ujarmu dengan mata berbinar. Aku pun bahagia saat itu, karena jus buatanku sangat kamu sukai. Hanya satu keinginanku waktu itu, aku ingin kau cepat sembuh Dian.
Dian tahukah kau, sudah hampir seminggu aku mencarimu. Rumah megahmu ternyata kini sudah kosong tak berpenghuni. Kutanyakan pada orang di sana, tapi tak ada satu pun yang memberi keterangan tentang keberadaanmu. Dimanakah kau Dian? Betapa hatiku begitu merindu.
Sepasang kekasih lewat di depanku. Aku begitu iri dengan mereka yang dapat mengemukakan gundah gulananya. Sesekali tangannya saling berpegangan memberi kekuatan tentang cinta, tentang setia. Aku yang begitu tergantung kepadamu, begitu mendambamu dan hanya bisa menangis pilu begitu tahu jejakmu hilang seperti ditelan bumi. Kekasih sejatiku Dian, dimakah kau berada?
Perjalanan panjang telah aku lalui. Semenjak kepergianku dari rumah. Langkahku tak menentu. Makan pun kudapat dari belas kasih orang. Coba kalau kau ada di sini mungkin aku tidak akan kelaparan seperti ini. Karena kau yang senantiasa setia memerhatikan keadaanku. Mulai dari makanan ringan, makanan apapun dengan suka cita kau berikan hanya untukku. Ah Dian kau begitu perhatian.
Aku asalnya minder dan kaku berteman denganmu. Maklum status kita terlalu jauh. Kau orang berada sementara aku  orang miskin. Tapi kau membangkitkan rasa percaya diri. Kau bilang di dunia ini sama dan janganlah memandang seseorang dari segi materi. Setelah itu aku tak pernah lagi memikirkannya. Karena aku terlalu bahagia bisa berada dekat denganmu.Tak lagi aku pusingkan kau yang notabene anak seorang pengusaha sukses dan aku seorang anak tukang binatu. Semua aku lakukan dengan enjoy. Itu semua berkatmu. Aku turut berduka dengan keberadaanmu. Ternyata walau kau bergelimang harta, walau seluruh kebutuhan mewahmu terpenuhi. Tapi sering kau mengadu padaku tentang keadaan ayah ibumu yang gila kerja dan tak pernah memerhatikanmu. Sehingga tugasku pula yang berbagi perhatian denganmu. Aku tak mau kau larut dalam sedihmu yang berlebih.
Kadang aku tak habis pikir dengan orang tuamu. Sebenarnya apa yang mereka cari? Tanpa henti menumpuk harta. Bagi mereka perhatian untuk anaknya adalah perhatian dengan memberi uang yang berlebih. Memberi kebutuhan mewah yang tidak didapatkan orang lain. Tanpa mereka tahu bahwa kau begitu butuh orang tua yang memerhatikan.  Sementara di sisi lain ibuku memberi perhatian lebih. Terlalu hati-hati dan senantiasa memberi wejangan tentang kehidupan. Tapi tetap saja kurasa kurang dari segi materi. Yah, itulah manusia yang tidak pernah merasa puas.Maka ibuku begitu bahagia ketika aku berteman denganmu. Karena dengan begitu aku yang asalnya kaku dan jarang bergaul, dengan keberadaanmu aku menajdi punya teman. Teman sejati.  Dan ibuku dengan senang hati memberi kebebasan kepadaku untuk menemanimu di rumah yang sepi itu. Hingga akhirnya kita selalu bersama kapan pun, dimanapun. Kau begitu sempurna untukku.
Sesekali kau ajak ibuku jalan-jalan. Walau asalnya menolak, tapi tak enak dengan paksaanmu maka akhirnya ibuku menuruti keinginamu untuk sekedar jalan-jalan. Dan ibuku begitu menikmatinya. Jalan-jalan ke kota, naik mobil mewah sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa. Tak jarang kau membeli makanan untuk ibuku. Kau sudah menganggap ibuku adalah ibumu juga. Makasih Dian atas cinta yang telah kau berikan pada ibuku. Tapi aku heran dengan keberadaan ibumu, karena telah sering aku berkunjung ke rumahmu tapi belum pernah aku melihat ibu atau ayahmu.
Perlu kau tau semenjak kejadian itu. Ibuku teramat murka dan ia mengusirku dari rumah. Ia tak sudi mempunyai anak sepertiku. Kata-katanya begitu menyakitkan. “Lebih baik kau mati saja!”  Pantaskah ucapan seperti itu menurutmu Dian? Akupun meminta maaf padamu karena ibuku telah lancang memaki engkau, sehingga saat itu juga kau pulang tanpa pamit kepadaku. Aku tahu kau begitu terluka dengan ucapan ibuku. Maafkan aku Dian.
Kau senantiasa memberi semangat dan memanjakanku pabila orang mengejekku. Dengan lembut kau mengajari banyak hal tentang kehidupan ini. Kau membuatku melupakan kata-kata orang yang tidak aku sukai.  Tapi berkat kau aku mampu melewatinya.
***
Lama aku termenung dibawah rindangnya Pohon Jambu Batu. Malas sekali aku melangkah karena tidak ada tujuan pasti. Walau lama berdiam, tapi tak membuatku bosan. Kenanganmu begitu melekat di dermaga hatiku. Dan aku tak mau meninggalkan tempat ini. Kuanggap ini adalah peristirahatanku, supaya aku bisa mengenangmu. Kini rasa lapar tak tertahan menyerangku. Tahukah kau Dian sedari kemarin perutku belum diisi. Karena aku tidak punya uang untuk membelinya. Beruntung tadi pagi ada seorang nenek membuang roti ke tempat sampah dan terpaksa aku ambil untuk menghilangkan laparku. Dan sekedar mengenangmu aku berjalan jauh ke tempat ini hanya untuk menikmati acara makan siang yang biasa kita lakukan. Kau sering mengajakku ke sini hanya sekedar makan siang.  Tempat kita bersantai setiap sabtu sore. Hari yang kutunggu.
            Baru saja kubuka plastik  rotinya, kulihat iringan orang banyak, beberapa diantaranya mengusung  keranda mayat. Ah, akupun mungkin sebentar lagi akan seperti itu, batinku. Apalagi dengan keadaanku yang tak mungkin bisa bertahan hidup. Tanpa rumah tanpa makanan. Kupandangi wajah tiap orang, tak kukenal. Tetapi ketika aku melihat wajah seorang wanita yang cantik dengan kerudung hitam yang ia letakan di kepala begitu saja, aku rasa  mengenalnya. Tapi aku tak tahu siapa dia sebenarnya. Kuputar kembali memoriku untuk mengingat siapa perempuan cantik itu.  Tampaknya ia orang berada kulihat dari pakaian dan cara dandannya yang berbeda dari yang lain. Kuperhatikan terus wanita itu ternyata ada kesamaan denganmu Dian. Ah aku langsung terkejut  melihat  tahi lalat  di pipi kirinya. Bukankah wanita itu mirip dengan foto ibumu yang senantiasa kau bawa dalam dompetmu, dan sering kulihat di rumahmu. Potonya terpajang besar di ruangan tamu.
             
***
            Hatiku remuk terasa, mendengar penuturan ibumu yang mengatakan bahwa kau pergi tuk selamanya.         
            Dian…mungkin kau sudah lelah menjalani perjalan cinta yang terlalu berliku. Kini karena kelelahanmu kau putuskan untuk istirahat di sana. Semoga aku dapat segera menyusulmu.  Selamat jalan Dian….Jangan ragu padaku. Aku akan senantiasa datang ke sini mengirimkan do’a dan senandung rindu hanya untukmu.Rindu dari seseorang bernama Bagaskara yang tak pernah pupus ditelan waktu.
            Kutaburkan bunga terakhir di tanah yang merah. Disana tertulis nama Dian Kusuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar