Pulang
Oleh Nina Rahayu Nadea
Saat pulang adalah yang ditunggu.
Kampung halaman senantiasa terbayang dalam ingatan. Perkebunan yang luas, pepohonan
nan tinggi memukau, hamparan sawah menguning dan suara cericit burung terkenang dalam ingatan. Bercanda dalam
imajinasiku, mengapit mesra langkah agar gegas pulang menuju kampung.
Tujuh tahun di perantauan takan pernah membuatku lupa
akan tanah kelahiran. Semua tetap membangkitkan gairah untuk pulang dan pulang. Rutinitas pekerjaan belum berkompromi denganku.
Praktis pulang senantiasa terkekang dalam bayang. Bukankan telah kupancangkan
janji sebelumnya di hadapan orang tua. Bahwa aku akan pulang ketika telah
berhasil, ketika telah menjadi orang. Linangan air mata dulu pertama kali
ketika kuinjakan kaki di sini. Di tanah rantau karena merasakan kali pertama
getirnya hidup di kota metropolitan, terbayar sudah dengan penghasilan yang
gemilang.
Sekeping dua keping uang kusimpan.
Yang terbayang selalu ketika mendapat uang adalah keriput di wajah Ema. Lelah Ema
ketika memijit. Bau balsem khas aroma badan Ema adalah motivasi. Motivasi agar
aku terus berkelana demi uang. Usah dipikir tentang harga diri. Geliat ibu kota
harus mampu membuat tubuh bertahan. Apa pun itu tetap kulalukan. Demi hidup.
Segaja
kutinggalkan tanah kelahiran. Meninggalkan mereka orang tecinta, untuk
menaikan derajat ekonomi. Sudah bosan
dicaci dan dimaki, karena terlilit utang, karena tagihan kontarakan yang tak
kunjung dibayar. Hanya kesabaran yang berbalut di badan. Aku kecil telah terbiasa merasakan hidup
serba kekurangan. Salut dengan kesabaran Ema dan Bapak, di tengah ringkihnya
ekonomi. Tak pernah sekali pun terlihat duka di matanya. Entah dimana kalian
sembunyikan luka yang menganga. Keterbatasan telah membuat kuat. Berbaju
derita berpayung lara, itulah yang membuatku terus bangkit. Bergerak.
Maka ketika aku dewasa, aku pamit
untuk pergi. Aku ingin Ema dan Bapak juga Danang adikku menjadi bangga bahwa
aku bisa menjadi penopang hidup mereka. Terbayar. Ketika seseorang mengajakku
merantau pergi berkelana mengembara. Menyesapi keramaian ibukota. Dan dari
keringatku aku bisa mengirim uang secara rutin pada mereka.
Dari
kabar Ema dan Bapak. Uang yang kukirim telah berganti menjadi rumah. Rumah sederhana.
Gubuk yang dulu reyot kini bisa bertahan di atas tanah milik sendiri. Tanpa
perlu ketakukan atau tidur terganggu karena sewotan penagih utang. Ema pun
sudah tak memijat lagi. Bapak hanya sesekali saja bekerja di sawah. Tak perlu
tiap hari seperti dulu demi upah. Karena kini sudah terbeli sawah. Ah, membayangkannya
saja telah membuatku bangga. Bahagia tiada terkira.
“Ema kangen sama kamu, Nak, cepatlah
pulang.”
“Ya, Ma. Nanti aku ngumpulin dulu
uang. Jangan pikirkan aku. Yang penting Ema dan Bapak juga Danang sehat.” Itu senantiasa yang
kubilang ketika Ema merajuk agar aku pulang.
Aku belum siap bertemu mereka. Aku
ingin Ema tak kecewa. Aku ingin membawa uang yang banyak.
“Melamun saja kamu. Mau pulang, ya
harusnya seneng.”
“Mikiran ortu di desa. Kira-kira gimana yah keadaanya?”
“Nanti juga kan ketemu. Inget nanti
balik lagi ke sini. Pasti mereka kaget melihatmu.”
“Kaget kenapa?” aku berpura bego.
“Dulu kumal. Bau. Haha. Sekarang
cantik menarik. Pokoknya lain dari yang lain. Beda banget.”
Kupandangi cermin. Terlihat di sana
wanita yang begitu cantik terawat. Hidungnya mancung. Lipstik tipis alami
terlihat menyegarkan penampilan. Riasan sederhana. Tidak terlalu menyolok dan
menor. Namun menambah daya tarik. Cantik elegant.
“Apakah mereka takan marah?” Kudongakan kepalaku. memandang langit. “Ah,
tapi mereka menikmati semua jerih payahku. Memang saat itu aku memaksa untuk
pergi. Semua demi mereka,.” Aku mendesis sendiri.
“Move on... yang lalu biar berlalu.
Aku tak mau lihat kau cengeng.”’
“Ya... ya..ya.” aku tersenyum halus.
Menatap laki-laki di hadapanku. “Makasih telah membuat keluargaku bangga. Semua
karenamu. Tanpa pekerjaan, aku tak mungkin bisa membebaskan mereka dari
kemiskinan”
Di terminal, aku menyempatkan diri
masuk toilet, sekedar menyegarkan diri.
Kuhapus riasan di wajahku. Membasuhnya berkali-kali. Hingga segar terasa
benar mendarat di pipi tirusku. Tak lupa berlenggok di depan cermin. Memastikan
bajuku tetap rapi.
“Baturaja?” Tanyaku pada sopir angkot
yang kebetulan lewat.
Sopir mengangguk. Memberhentikan mobil.
Masih seperti dulu. Angkot yang sama menuju tempat tinggalku. Cuma memang harus
ditanya. Karena angkot ini tidak semuanya sampai ke Baturaja. Sepanjang jalan
tak hentinya mataku melihat pemandangan. Pembangunan yang cenderung lamban
dibanding Jakarta. Tujuh tahun kutinggalkan tak ada perubahan yang mencolok.
Nyaris seperti dulu. Hanya deretan taman sepanjang jalan yang membuat kota ini
menjadi lain. Sementara bangunannnya. Sama. Tua.
“Udah sampai?” isi SMS baru saja
kubaca.
“Sebentar lagi.” Balasku pendek.
“Jangan lama di kampung.”
“Hem..” Hanya itu yang kujawab. Ah,
mengganggu saja. Saat ini aku ingin kesendirian. Merasakan aroma lain dari kota
kelahiranku. Udara Baturaja. Kumasukan segera HP. Kubiarkan deringnya berbunyi
berulang-ulang.
Puskesmas Baturaja telah terlihat.
Puskesmas yang mengingatkanku ketika kecil. Sekali ke sana. Ketika aku
muntaber. Ema dimarahi petugas karena kondisiku sudah sangat kritis. Kami
memang jarang ke puskesmas. Bukan karena tak pernah sakit tapi karena biaya yang
melilit plus prosedur yang berbelit. Jarak yang jauh menjadi pemikiran utama,
karena harus mengeluarkan ongkos bayar ojek yang selangit. Itulah mengapa Ema
lebih memilih meminum obat tradisional saja. Obat kampung yang dianggap manjur.
“Baturaja?” tanya supir padaku yang
sedang melamun,
“Oh, iya. Pak.” Kulihat
sekelilling.”Ah, udah sampai.” Bisikku. Kukeluarkan uang dua puluh ribu. “Ambil
saja kembaliannya.”
“Makasih... makasih.” Rona bahagia
terpancar dari wajah supir.
“Baturaja... Baturaja...” Sekonyong-konyong
ojek menyerbu ke arahku.
“Ya.” Aku segera naik ojek di
dekatku. Tak mau berlama dengan mereka. Takut. Mereka menelisik dan berkata
yang bukan-bukan.
“Mau kemana?”
“Ma Usih.” Ucapku pendek.
“Oh, Ma Usih yang dulu tukang pijat itu?”
“Iya.”
“Enak, Ma Usih itu sekarang. Anaknya
di kota. Jadi sudah tidak mijit lagi. Rumahnya juga tak reyot seperti dulu...” Cerita tukang ojek
kudengarkan seksama. Namun tak ada niat sekali pun untuk bertanya atau menyela.
Cukup menjadi pendengar. “Nih, rumahnya.” Tukang ojek berhenti di sebuah rumah
mungil. Halamannya asri karena ditumbuhi
aneka tanaman. Memesonakan mata nan memandang.
Sesaat aku terpaku depan rumah.
Kupandangi sekeliling rumah. Udara menerpa wajahku. Menyejukan. Tanpa ragu aku
duduk di bangku kosong di bawah pohon belimbing.
“Ah, sejuknya.” Gumanku perlahan.
“Maaf, mau ketemu siapa?” seorang
perempuan tua tetiba sudah berada di depanku.
Aku terkejut. Lama kupandangi
perempuan di depanku. Perempuan yang kurindukan.
“Ma?”
“Kau... Ba... “
“Iya, Ma. Aku anak Ema. Aku telah
pulang.”
“Waduh.... anakku. Pangling bener.
Kulitmu halus. Wajahmu cerah, bersih. Seperti artis” Ema memelukku erat. Memegang
tangan, dan mengusap wajahku berulang.
“Dang... ada kakakmu datang dari
kota,” teriak Ema.
Seorang anak 12 tahun datang.
Terlongo ia memandangku.
Sekeluarga segera masuk rumah.
Bercengkrama. Bercerita segalanya. Tak lupa oleh-oleh yang kubawa segera
dibongkar, termasuk ranselku.”
“Kamu memakai ini, Bayu?” Ema
memperlihatkan bedak dan lipstik bekas pakai.
Aku tergagap. “Itu punya temanku.
Ketinggalan di tas.” Segera kualihkan prasangkanya.***
Nina
Rahayu Nadéa.
Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah
Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah
Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle,
SundaMidang, Galura, Tabloid Ganesha,
Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya,
Majalah Guneman, Sastra Sumbar, Majalah
Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo Semar, Radar
Bayuwangi, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar