Senin, 10 April 2017

Penjual Kalung Kerang

Dimuat di Majalah Bono No 49. Alhamdulillah :) yu, baca...


Penjual Kalung Kerang
Oleh Nina Rahayu Nadea

            “Mbak, kalungnya, Mbak.“ seorang perempuan tiba-tiba muncul di depanku. Mengarahkan beberapa kalungnya padaku.
            “Ngak.” Jawabku ketus.
            “Lihat-lihat dulu aja, Mbak. Mungkin Mbak tertarik. Kalung kerang ini saya buat sendiri lho. Lihat ada yang berwarna hitam keperakan. Ini baru saya rangkai semalam.”
            “Kamu?”
            “Iya, Mbak. Saya sendiri yang mencari kerang dan merangkainya. Mbak mau beli?” Tangan kecilnya terulur.
            Sebenarnya aku tertarik untuk melihat. Namun ingat kata Mama dan papaku untuk tidak banyak bicara dengan orang asing. Apalagi ini di tempat wisata, banyak penipuan.
            “Maaf aku mau mandi.” Ucapku melunak dan segera masuk ke dalam kamar.
            Perlahan ia meninggalkan kamar tempatku menginap. Setelah beberapa lama mematung  depan kamarku. Aku tahu, karena aku mengintip dari balik tirai.
            Setelah dipastikan ia menjauh, aku segera ke luar dari kamar yang berada di lantai 2. Kembali berdiri tegap memandang ke arah laut. Suara ombak bergemuruh serta pemandangan yang indah betul-betul membuatku takjub.
            “Copet... copet!” terdengar suara dari kejauhan. Seorang Ibu berteriak. Seketika seorang laki-laki  berlari. Dan tepat di depan laki-laki itu. Ada perempuan tadi. Penjual kerang.
            Wah, betul dugaanku, perempuan tadi. Iy, aku bergidik, membayangkan apa jadinya kalau aku mengalami kejadian seperti Ibu tadi. Beragam kejadian buruk muncul di kepalaku.
            “Kaka. Koq melamun saja?”Tiba-tiba adikku datang.
            “Huu, kamu. Ngagetin Kakak saja.”
            “Melamun pacar yah. Hihi.”
            “Hih, kamu tuh. Mikirin penjahat. Tau tidak waktu kalian pergi aku hampir saja kena tipu.”
            “Ada apa Nila?” Papa datang dengan keresek berisi makanan di tangannya.
            “Iya, Pa. Tadi ada perempuan yang berpura berjualan dan menawariku. Padahal dia itu pencopet.”
            “Ah jangan berburuk sangka.” Sanggah Papa.
            “Tadi aku lihat, Pa. Seorang Ibu berteriak ada copet. Dan ternyata pencopetnya, perempuan penjual kerang itu.”
            “Ya sudah, jadi berhati-hatilah di mana pun.” Mama ikut nimbrung.
*
            Hari ini hari terakhir kami di Pangandaran. Mama dan Papa sudah mengepak baju pun adikku.
            “Ayo cepat.Tuh mobilnya sudah diparkir di depan.” Papa terlihat berdiri, dengan kunci mobil di tangannya.
            “Nila. Kamu masih mencari apa? Dari tadi bolak-balik buka lemari sampai-sampai tempat tidur diliatin.”
“Mama lihat gelang emasku  tidak?”
            “Gelang?  Kamu memakai gelang itu? sudah Mama ingatkan agar disimpan di rumah. Malah dibawa-bawa.” Gerutu Mama.
            “Nila ingat Nenek, Ma. Gelang itu kan hadiah dari Nenek.” Nila terisak. “Pasti diambil  penjual kerang itu.“
            “Tok... tok... tok.” Suara pintu diketuk.
            Papa membuka pintu. “Maaf, De. Kami tidak akan membeli   kalung itu.“
            “Saya tidak mau menjual kerang, Pak.”
            “Kamu yang kemarin menjual kerang itu, kan?” Nila menatap perempuan itu. Ingin sekali ia segera memaki karena lancang mengambil gelangnya. Tapi tak enak dengan Papa yang berada di dekatnya.
            “Iya Mbak. Saya ke sini mau mengantarkan ini.” Anak itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. ”Ini punya Mbak, kan? Saya kemarin menemukannya di bawah tangga. Semalam ke sini cuma tidak ada siapa-siapa.”
            “Koq tau ini punyaku?” Nila heran.
            “Iya. Kak. Kemarin waktu ke sini saya sempat lihat gelang ini. Ada tulisan besar berhurup N.” ‘
            “Beruntung kau menemukannya. Ayo masuk.” Mama datang dan menyuruh
            “Oh, Iya masuklah.” Dengan ragu aku menyuruhnya masuk.
            “Ngak usah Mbak. Daganganku belum ada yang laku.”
            “Maaf kemarin aku tidak ramah padamu. Aku takut kalau kau...” Aku tidak melanjukan perkataan. Takut ia tersinggung.
            “Iya, Mbak, aku mengerti.”
            “Kemarin kamu tau ada ibu-ibu yang kecopetan kan?” selidikku.
            “Oh, Ibu itu. Iya tau. Kebetulan aku yang memberitahunya. Bahwa ada seorang laki-laki merogoh saku celananya. Mungkin Ibu itu tidak sadar, karena sedang asik menelpon.” Ceritanya panjang lebar.
            Aku malu. Ternyata aku telah berburuk sangka sama.
            “Makasih yah. Kau sudah mengembalikan gelangku.”
            “Sama-sama. Aku permisi.”
            “Tunggu! Aku beli kalung kerangnya sepuluh buah yah?”
            “Sepuluh, Kak?” Jawabnya tak percaya.
            “Ia untuk oleh-oleh.” Ucapku tersenyum. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar