Penjual
Kalung Kerang
Oleh
Nina Rahayu Nadea
“Mbak,
kalungnya, Mbak.“ seorang perempuan tiba-tiba muncul di depanku. Mengarahkan
beberapa kalungnya padaku.
“Ngak.”
Jawabku ketus.
“Lihat-lihat
dulu aja, Mbak. Mungkin Mbak tertarik. Kalung kerang ini saya buat sendiri lho.
Lihat ada yang berwarna hitam keperakan. Ini baru saya rangkai semalam.”
“Kamu?”
“Iya,
Mbak. Saya sendiri yang mencari kerang dan merangkainya. Mbak mau beli?” Tangan
kecilnya terulur.
Sebenarnya
aku tertarik untuk melihat. Namun ingat kata Mama dan papaku untuk tidak banyak
bicara dengan orang asing. Apalagi ini di tempat wisata, banyak penipuan.
“Maaf
aku mau mandi.” Ucapku melunak dan segera masuk ke dalam kamar.
Perlahan
ia meninggalkan kamar tempatku menginap. Setelah beberapa lama mematung depan kamarku. Aku tahu, karena aku mengintip
dari balik tirai.
Setelah
dipastikan ia menjauh, aku segera ke luar dari kamar yang berada di lantai 2.
Kembali berdiri tegap memandang ke arah laut. Suara ombak bergemuruh serta
pemandangan yang indah betul-betul membuatku takjub.
“Copet...
copet!” terdengar suara dari kejauhan. Seorang Ibu berteriak. Seketika seorang
laki-laki berlari. Dan tepat di depan
laki-laki itu. Ada perempuan tadi. Penjual kerang.
Wah,
betul dugaanku, perempuan tadi. Iy, aku bergidik, membayangkan apa jadinya
kalau aku mengalami kejadian seperti Ibu tadi. Beragam kejadian buruk muncul di
kepalaku.
“Kaka.
Koq melamun saja?”Tiba-tiba adikku datang.
“Huu,
kamu. Ngagetin Kakak saja.”
“Melamun
pacar yah. Hihi.”
“Hih,
kamu tuh. Mikirin penjahat. Tau tidak waktu kalian pergi aku hampir saja kena tipu.”
“Ada
apa Nila?” Papa datang dengan keresek berisi makanan di tangannya.
“Iya,
Pa. Tadi ada perempuan yang berpura berjualan dan menawariku. Padahal dia itu
pencopet.”
“Ah
jangan berburuk sangka.” Sanggah Papa.
“Tadi
aku lihat, Pa. Seorang Ibu berteriak ada copet. Dan ternyata pencopetnya,
perempuan penjual kerang itu.”
“Ya
sudah, jadi berhati-hatilah di mana pun.” Mama ikut nimbrung.
*
Hari
ini hari terakhir kami di Pangandaran. Mama dan Papa sudah mengepak baju pun
adikku.
“Ayo
cepat.Tuh mobilnya sudah diparkir di depan.” Papa terlihat berdiri, dengan
kunci mobil di tangannya.
“Nila.
Kamu masih mencari apa? Dari tadi bolak-balik buka lemari sampai-sampai tempat
tidur diliatin.”
“Mama lihat gelang
emasku tidak?”
“Gelang? Kamu memakai gelang itu? sudah Mama ingatkan
agar disimpan di rumah. Malah dibawa-bawa.” Gerutu Mama.
“Nila
ingat Nenek, Ma. Gelang itu kan hadiah dari Nenek.” Nila terisak. “Pasti
diambil penjual kerang itu.“
“Tok...
tok... tok.” Suara pintu diketuk.
Papa
membuka pintu. “Maaf, De. Kami tidak akan membeli kalung itu.“
“Saya
tidak mau menjual kerang, Pak.”
“Kamu
yang kemarin menjual kerang itu, kan?” Nila menatap perempuan itu. Ingin sekali
ia segera memaki karena lancang mengambil gelangnya. Tapi tak enak dengan Papa
yang berada di dekatnya.
“Iya
Mbak. Saya ke sini mau mengantarkan ini.” Anak itu mengeluarkan sesuatu dari
tasnya. ”Ini punya Mbak, kan? Saya kemarin menemukannya di bawah tangga.
Semalam ke sini cuma tidak ada siapa-siapa.”
“Koq
tau ini punyaku?” Nila heran.
“Iya.
Kak. Kemarin waktu ke sini saya sempat lihat gelang ini. Ada tulisan besar
berhurup N.” ‘
“Beruntung
kau menemukannya. Ayo masuk.” Mama datang dan menyuruh
“Oh,
Iya masuklah.” Dengan ragu aku menyuruhnya masuk.
“Ngak
usah Mbak. Daganganku belum ada yang laku.”
“Maaf
kemarin aku tidak ramah padamu. Aku takut kalau kau...” Aku tidak melanjukan
perkataan. Takut ia tersinggung.
“Iya,
Mbak, aku mengerti.”
“Kemarin
kamu tau ada ibu-ibu yang kecopetan kan?” selidikku.
“Oh,
Ibu itu. Iya tau. Kebetulan aku yang memberitahunya. Bahwa ada seorang
laki-laki merogoh saku celananya. Mungkin Ibu itu tidak sadar, karena sedang
asik menelpon.” Ceritanya panjang lebar.
Aku
malu. Ternyata aku telah berburuk sangka sama.
“Makasih
yah. Kau sudah mengembalikan gelangku.”
“Sama-sama.
Aku permisi.”
“Tunggu!
Aku beli kalung kerangnya sepuluh buah yah?”
“Sepuluh,
Kak?” Jawabnya tak percaya.
“Ia
untuk oleh-oleh.” Ucapku tersenyum. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar