Selasa, 12 Maret 2013

Dimuat di Koran Merapi, Yogyakarta. 10 Maret 2013


Ayah
Oleh: Nina Rahayu Nadea
             
            Kalau tahu kejadiannya  seperti ini.  Aku akan tetap membisu walau semua begitu menyakitkan, membuat batinku menderita.  Masih teringat waktu itu ketika aku pulang sekolah seperti biasa aku naik angkot menuju rumahku. Tapi sial, saat itu jalanan yang aku lalui mengalami macet total. Mula-mula aku bertahan dengan harapan sebentar lagi angkot bisa melaju. Perutku sudah keroncongan dan aku tak kuat dengan panasnya duduk dalam angkot, maka kuputuskan untuk  berjalan kaki saja melewati jalan pintas.
            Kutelusuri gang kecil, berbelok ke kiri menuju sebuah komplek perumahan. Langkahku terhenti ketika dari sebuah rumah sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang anak kecil.  
            “Ayah, jangan pergi dulu, aku sayang ayah.”
            “Ayah kerja dulu sayang besok siang ayah ke sini lagi.”
            Kata-katanya tak terdengar lagi, hanya deru mobil yang memecah kesunyian lamunanku. Tapi mengapa aku seperti mengenal suara laki-laki yang dipanggil ayah oleh anak kecil tadi. “Suara itu, seperti suara...., “ batinku.
            Esok harinya kejadian yang kemarin terulang lagi macet total. Maklumlah jalanan yang biasa aku lalui sedang mengalami perbaikan. Setiap kendaraan hanya memakai jalan setengahnya, sehingga untuk mengatur jalanan agar tetap bisa baik, terpaksa dilakukan dengan sistem ”buka tutup”, walau pun itu tetap saja membuat jalanan macet.
            Berhari-hari kulewati jalan pintas, melewati komplek. Warna rumah di komplek itu sudah kuhapal, saking seringnya lewat komplek.  Dimulai dari rumah besar berpagar besi tinggi dengan cat warna pink, kemudian rumah berpagar cat warna hitam dengan hiasan bunga di seluruh taman. Kupikir sulit sekali orang akan bersosialisasi dan bergaul satu sama lain, maklum rumahnya sangat besar, mereka memilih untuk tinggal di rumahnya masing-masing dengan segala fasilitas yang ada. Itu pikirku, karena setiap aku melewati komplek ini, suasananya senantiasa sepi. Hanya rumah ketiga yang kelihatan ada penghuni. Seorang anak kecil yang cerewet senantiasa menjadi temanku di saat aku melewati komplek yang sepi ini. Walau aku tidak pernah lewat di depan rumahnya karena setelah rumah kedua yang aku lewati aku harus berbelok lurus menuju jalan yang akan menghubungkan ke rumahku.
            Suatu hari ketika aku melewati komplek ini, dan beberapa langkah menuju belokan, dari rumah itu ke luar sebuah mobil yang sangat aku kenali. Itu mobil ayahku. Aku yakin, karena boneka yang dipajang di depan itu adalah boneka-boneka yang kusimpan rapi di sana. Dari mulai boneka beruang, spongebob, doraemon. Semuanya lengkap persis seperti punyaku.
            Ayah, aku berteriak spontan.
            Tapi mobil itu terus melaju melewatiku. Aku yakin bahwa laki-laki yang berada di belakang stir  itu adalah ayahku. Di pinggirnya, seorang ibu memangku anak kecil.
***
            “Yah, koq Ayah tadi tidak menghentikan mobilnya sih padahal aku tadi teriak memanggil ayah.”
            “Ambilin kipas angin itu, Ran. Gerah.”
            Aku berlari mengikuti perintah ayah. Kupasang kipas angin dan kunyalakan, hingga panas dalam rumah mejadi segar degan kipas angin yang kunyalakan. Aku ingin sekali bertanya lagi pada ayah. Tapi ia langsung bangkit menuju kamar, meninggalkan aku seorang diri. Dan aku memilih untuk diam. Menyimpan rasa penasaran yang tinggi.
            Hingga saat makan malam bersama. Saat aku, Ayah dan ibu berada di meja makan, aku tanyakan lagi pertanyaan seperti tadi.
            “Memangnya tadi ketemu Ayah dimana? Rani salah orang kali!” Ibu menyela.
            “Ya, kau salah Rani...!” Ayah menimpali.
            Tapi Rani yakin karena bonekanya sama persis. Itukan boneka punya Rani. Masa aku lupa sama barang sendiri!”
            Rani ketemu dimana?” Ibu bertanya lagi.
            “Di komplek...!
            “Sudah...lagi makan koq berisik!” ucapan ayah membuatku diam.
***
            Kamu yakin itu adalah mobil Ayah?Ibu bertanya di suatu senja ketika ayah belum pulang.
            Yakin, Bu. Yang menyetir mobilnya kan Ayah sendiri, yang disebelahnya seorang ibu-ibu dengan anak kecil digendong!”
            “Ada ibu-ibu?”
            “Iya.
            “Ya Tuhan, masa akan terulang lagi” bisik Ibu perlahan.
            “Terulang gimana, Bu?”
            “Ngak apa-apa sayang.”
***
            Semenjak kejadian itu, pertengkaran seringkali menjadi tontonan yang biasa bagiku.
            “Itu semua salahmu!”
            Salah kenapa, Mas? Aku cape  senantiasa mejadi sasaran atas kesalahanmu sendiri.”
            Ya, kalau saja tidak ingat keluargaku, sudah aku tolak perkawinan ini denganmu. Kau kan tahu aku tidak pernah mencintaimu.
            “Tapi kenapa kau nikahi aku?
            “Itu semua karena paksaan orang tuaku. Sudahlah Yun, kau sudah tahu aku tidak pernah mencintaimu. Biarkan aku memilih jalan hidupku. Menjalin cinta dengan wanita yang kucintai.”
            Ibu menangis. Dan ayah langsung pergi meninggalkan kami. Semenjak itu ia tidak pernah kembali. Semenjak itu ibuku menjadi pemurung. Menangis menjerit seorang diri, bahkan tak segan melemparkan barang di dekatnya. Jika sudah begitu aku hanya bisa menangis. Melihatnya dalam sebuah jeraji besi - di Rumah Sakit Jiwa-.
***
Benarkah ayah tidak mencintai Ibu?  Kalau tidak cinta kenapa aku bisa terlahir ke dunia ini. Benar-benar lelaki egois. Dengan seenaknya meninggalkan ibu dan aku hanya karena wanita yang menurutnya sangat ia cintai. Tega sekali ia meninggalkan kami anak-istrinya yang sudah menjadi tanggung jawabnya.
Sedikit demi sedikit kesehatan ibu pulih. Dengan dukungan cinta dan keluarga besarku Ibu bisa bangkit. Setiap hari tak pernah lelah aku mengurusnya, memberinya cinta.
            “Mengapa Rani menangis,” tiba-tiba ibu terbangun.
            “Ngak, aku hanya sayang Ibu,” kupeluk ibu erat. Bulir air mata jatuh membasahi pipiku. Ya Tuhan terima kasih kau kembalikan ibu untukku, kau beri keceriaan kembali walau ayah tak pernah ada di sisiku.
***
            Rani,” suaranya parau.
            “Ya, anda siapa?”
            “Aku ayahmu?”
            “Ayah? Dari dulu aku tidak mempunyai ayah. Setahuku ayahku telah pergi menemui wanita pilihannya, menelantarkan  keluarga dan tak pernah kembali. Jadi tidak ada seorang bernama  ayah di sini.
            Maafkan aku Rani, ayah mengaku hilap. Ayah telah menebus semua kesalahan. Perlu kau tahu. Bertahun-tahun hidup ayah terlunta-lunta. Semua harta ludes karena kebakaran, ayah hanya ingin meminta maaf.”
            Aku terdiam. Kepahitan hidup yang aku alami, membuatku tegar. Aku tak mau cengeng. Aku tak mau air mataku tumpah di hadapan laki-laki ini.”
            “Mana ibumu?”
            “Jangan kau tambah penderitaannya. Ia baru saja sembuh. Lebih baik kau pergilah dari hidup kami yang tenang”
            “Tapi Rani?”
            “Mengertilah...tolong jangan ganggu kami!”
            “Aku mengerti hanya aku ingin minta maaf!”
“Aku memaafkanmu, tapi kuharap jangan kau ganggu kehidupan ini. Kami sudah tenang di sini. Aku tak mau ibu terguncang lagi karena kehadiranmu.”
Betapa puasnya hatiku. Melihat lelaki itu pergi. Lelaki yang sudah melukai ibu, memberinya lara yang berkepanjangan. Kini aku bisa membuktikannya. Bahwa aku adalah sosok wanita mandiri dan tegar menghadapi semua kenyataan.  
Aku tersenyum pongah, melihat punggung laki-laki itu yang semakin menjauh. Semakin hilang, bersamaan dengan pudarnya keangkuhan hati, lambat-lambat membuat gerimis. Aku menangis.
“Aku merindukanmu, ayah.”

2 komentar: