Ayah
Oleh:
Nina Rahayu Nadea
Kalau
tahu kejadiannya seperti ini. Aku akan tetap membisu walau semua begitu
menyakitkan, membuat batinku menderita.
Masih teringat waktu itu ketika aku pulang sekolah seperti biasa aku
naik angkot menuju rumahku. Tapi sial, saat itu jalanan yang aku lalui
mengalami macet total. Mula-mula aku bertahan dengan harapan sebentar lagi angkot
bisa melaju. Perutku sudah keroncongan dan aku tak kuat dengan panasnya duduk
dalam angkot, maka kuputuskan untuk
berjalan kaki saja melewati jalan pintas.
Kutelusuri
gang kecil, berbelok ke kiri menuju sebuah komplek perumahan. Langkahku
terhenti ketika dari sebuah rumah sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang
anak kecil.
“Ayah,
jangan pergi dulu, aku sayang ayah.”
“Ayah
kerja dulu sayang besok siang ayah ke sini lagi.”
Kata-katanya
tak terdengar lagi, hanya deru mobil yang memecah kesunyian lamunanku. Tapi
mengapa aku seperti mengenal suara laki-laki yang dipanggil ayah oleh anak
kecil tadi. “Suara itu, seperti suara...., “ batinku.
Esok
harinya kejadian yang kemarin terulang lagi macet total. Maklumlah jalanan yang
biasa aku lalui sedang mengalami perbaikan. Setiap kendaraan hanya memakai
jalan setengahnya, sehingga untuk mengatur jalanan agar tetap bisa baik,
terpaksa dilakukan dengan sistem ”buka tutup”, walau pun itu tetap saja membuat
jalanan macet.
Berhari-hari
kulewati jalan pintas, melewati komplek. Warna rumah di komplek itu sudah
kuhapal, saking seringnya lewat komplek.
Dimulai dari rumah besar berpagar besi tinggi dengan cat warna pink,
kemudian rumah berpagar cat warna hitam dengan hiasan bunga di seluruh taman.
Kupikir sulit sekali orang akan bersosialisasi dan bergaul satu sama lain,
maklum rumahnya sangat besar, mereka memilih untuk tinggal di rumahnya
masing-masing dengan segala fasilitas yang ada. Itu pikirku, karena setiap aku
melewati komplek ini, suasananya senantiasa sepi. Hanya rumah ketiga yang
kelihatan ada penghuni. Seorang anak kecil yang cerewet senantiasa menjadi temanku di
saat aku melewati komplek yang sepi ini. Walau aku tidak pernah lewat di depan
rumahnya karena setelah rumah kedua yang aku lewati aku harus berbelok lurus
menuju jalan yang akan menghubungkan ke rumahku.
Suatu
hari ketika aku melewati komplek ini, dan beberapa langkah menuju belokan, dari
rumah itu ke luar sebuah mobil yang sangat aku kenali. Itu mobil ayahku. Aku yakin, karena boneka yang
dipajang di depan itu adalah boneka-boneka yang kusimpan rapi di sana. Dari
mulai boneka beruang, spongebob, doraemon. Semuanya lengkap persis
seperti punyaku.
“Ayah,” aku berteriak spontan.
Tapi
mobil itu terus melaju melewatiku. Aku yakin bahwa laki-laki yang berada di
belakang stir itu adalah ayahku. Di
pinggirnya, seorang ibu memangku anak kecil.
***
“Yah,
koq Ayah tadi tidak menghentikan mobilnya sih padahal aku tadi teriak memanggil
ayah.”
“Ambilin
kipas angin itu, Ran. Gerah.”
Aku
berlari mengikuti perintah ayah. Kupasang kipas angin dan kunyalakan, hingga
panas dalam rumah mejadi segar degan kipas angin yang kunyalakan. Aku ingin
sekali bertanya lagi pada ayah. Tapi ia langsung bangkit menuju kamar,
meninggalkan aku seorang diri. Dan aku memilih untuk diam. Menyimpan rasa
penasaran yang tinggi.
Hingga
saat makan malam bersama. Saat aku, Ayah dan ibu berada di meja makan, aku
tanyakan lagi pertanyaan seperti tadi.
“Memangnya
tadi ketemu Ayah
dimana? Rani salah orang kali!” Ibu
menyela.
“Ya,
kau salah Rani...!” Ayah
menimpali.
“Tapi Rani yakin karena bonekanya
sama persis. Itukan boneka punya Rani. Masa aku lupa sama barang sendiri!”
“Rani ketemu dimana?” Ibu bertanya lagi.
“Di
komplek...!”
“Sudah...lagi
makan koq berisik!” ucapan ayah
membuatku diam.
***
“Kamu yakin itu adalah mobil Ayah?” Ibu bertanya di suatu senja ketika ayah belum pulang.
“Yakin, Bu. Yang menyetir mobilnya kan Ayah sendiri, yang disebelahnya seorang
ibu-ibu dengan anak kecil digendong!”
“Ada
ibu-ibu?”
“Iya.”
“Ya
Tuhan, masa akan terulang lagi” bisik Ibu perlahan.
“Terulang
gimana, Bu?”
“Ngak
apa-apa sayang.”
***
Semenjak
kejadian itu, pertengkaran seringkali menjadi tontonan yang biasa bagiku.
“Itu
semua salahmu!”
“Salah kenapa, Mas? Aku cape senantiasa
mejadi sasaran atas kesalahanmu sendiri.”
“Ya, kalau saja tidak ingat
keluargaku, sudah aku tolak perkawinan ini denganmu. Kau kan tahu aku tidak
pernah mencintaimu.”
“Tapi
kenapa kau nikahi aku?”
“Itu
semua karena paksaan orang tuaku. Sudahlah Yun, kau sudah tahu aku tidak pernah
mencintaimu. Biarkan aku memilih jalan hidupku. Menjalin cinta dengan wanita
yang kucintai.”
Ibu menangis. Dan ayah langsung pergi meninggalkan kami.
Semenjak itu ia
tidak pernah kembali. Semenjak itu ibuku menjadi pemurung. Menangis menjerit seorang diri,
bahkan tak segan melemparkan barang di dekatnya. Jika sudah begitu aku hanya
bisa menangis. Melihatnya dalam sebuah jeraji besi - di Rumah Sakit Jiwa-.
***
Benarkah ayah tidak mencintai Ibu? Kalau tidak cinta kenapa aku bisa terlahir ke
dunia ini. Benar-benar lelaki egois. Dengan seenaknya meninggalkan ibu dan aku hanya karena wanita yang
menurutnya sangat
ia cintai. Tega sekali ia meninggalkan kami anak-istrinya yang sudah menjadi
tanggung jawabnya.
Sedikit demi sedikit
kesehatan ibu pulih.
Dengan dukungan cinta dan keluarga besarku Ibu bisa bangkit. Setiap hari tak pernah lelah aku mengurusnya,
memberinya cinta.
“Mengapa
Rani menangis,” tiba-tiba ibu
terbangun.
“Ngak,
aku
hanya sayang Ibu,”
kupeluk ibu
erat. Bulir air mata jatuh membasahi pipiku. Ya Tuhan terima kasih kau
kembalikan ibu
untukku, kau beri keceriaan kembali walau ayah tak pernah ada di sisiku.
***
“Rani,” suaranya parau.
“Ya,
anda siapa?”
“Aku
ayahmu?”
“Ayah?
Dari dulu aku tidak mempunyai ayah. Setahuku ayahku telah pergi menemui wanita
pilihannya, menelantarkan
keluarga dan tak pernah kembali. Jadi tidak ada seorang bernama ayah
di sini.”
“Maafkan aku Rani, ayah mengaku hilap. Ayah telah menebus semua kesalahan. Perlu kau
tahu. Bertahun-tahun hidup ayah terlunta-lunta. Semua harta ludes karena
kebakaran, ayah hanya ingin meminta maaf.”
Aku
terdiam. Kepahitan hidup yang aku alami, membuatku tegar. Aku tak mau cengeng.
Aku tak mau air mataku tumpah di hadapan laki-laki ini.”
“Mana
ibumu?”
“Jangan
kau tambah penderitaannya. Ia
baru saja sembuh. Lebih baik kau pergilah dari hidup kami yang tenang”
“Tapi
Rani?”
“Mengertilah...tolong
jangan ganggu kami!”
“Aku
mengerti hanya aku ingin minta maaf!”
“Aku memaafkanmu, tapi
kuharap jangan kau ganggu kehidupan ini. Kami sudah tenang di sini. Aku tak mau
ibu terguncang lagi karena kehadiranmu.”
Betapa puasnya hatiku.
Melihat lelaki itu pergi. Lelaki yang sudah melukai ibu, memberinya lara yang
berkepanjangan. Kini aku bisa membuktikannya. Bahwa aku adalah sosok wanita
mandiri dan tegar menghadapi semua kenyataan.
Aku tersenyum pongah,
melihat punggung laki-laki itu yang semakin menjauh. Semakin hilang, bersamaan
dengan pudarnya keangkuhan hati, lambat-lambat membuat gerimis. Aku menangis.
“Aku merindukanmu,
ayah.”
mantep....laris manis di Merapi...wilujeng
BalasHapusNuhun abah,
BalasHapus