Duka
di Awal Tahun
Oleh
: Nina Rahayu Nadea
Suara
letusan mercon dan petasan mengiringi langkahnya dalam gigil. Malam masih
menyelimuti bumi. Dipandangnya langit, yang bertabur bintang berharap ia
menemukan sesuatu -tentang bintang yang
jatuh- atau apalah yang dapat mengabulkan tentang beragam keinginan.
Diusapkannya tangan kiri pada
pundak. Bisikan angin menyelusup ke
setiap labirin waktu. Mengusap pundak
dan lehernya, menambah dingin begitu menjadi. Dipakainya jaket yang sedari tadi
bersandar di bahunya. Jaket kumal yang senantiasa menemaninya. Menemani dalam setiap derap langkahnya. Derap
yang halus, dari kakinya yang tertatih
dan terkadang berinjit. Dilaluinya
segera setapak yang menghubungkan rumah di gang sempit. Menuju jalan raya.
Langkahya mulai
bergerak cepat, ketika jalan raya mulai dilalui. Satu dua kendaraan yang melaju di jalan raya,
menemaninya menuju sebuah keinginan yang
begitu besar. Langkahnya pelan namun
pasti, tanpa suara tanpa gaduh yang diperlihatkan, matanya nanar memandang ke kejauhan. Ada
harap pasti terlihat dari matanya yang membayang di suasana berselimut
keremangan malam. Sesekali tangan kanan di dekapkan ke dada. Takut kalau-kalau
lembaran kertas yang ia bawa berjatuhan menghilangkan harapnya.
Trotoar
Jalan Senopati, mulai diinjak. Tinggal beberapa langkah lagi menepi ke tempat yang tidak asing lagi.
Kantor Pos. Ya, di tempat itulah lelaki itu menunggu sebuah kepastian. Menunggu
hingga tepat jam 8. Tepat dimana kantor pos
mulai buka. Dan ia akan kembali berada di rumah menyapa anaknya yang
baru terbangun dari lelap tidurnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini tak pernah dilupakan
untuk bisa menemui harapan seseorang yang senantiasa dirindunya.
Sebulan lalu tepatnya.
Kebiasaan itu rutin dilakukan lelaki ini. Lelaki yang dalam hidupnya senantiasa
berharap dan berharap tentang kedatangan seorang yang begitu didamba. Pun oleh
anak semata wayangnya.
Sebelum
dua surat datang padanya. Tak pernah ia lakukan rutinitas seperti itu. Karena
ia begitu percaya pada istrinya. Itu terbukti dengan kata-kata yang tertuang
dalam kalimat di suratnya. Semua mengisaratkan rindu yang begitu besar pada
anak dan dirinya. Surat itu senantiasa menjadikan semangat dalam bekerja. Rasa
rindu yang begitu menggunung dan menjadi reda ketika membaca lembaran-lembaran
kertas yang dikirim istrinya.
Tapi
sebulan ini hatinya begitu terluka. Dua surat dalam lembaran kertas itu tak
lagi menyiratkan rasa rindu dan kangen. Malah sepertinya ingin menyudahi
tingkah rindu yang ia semaikan. Tapi lelaki itu berfikir. Itu adalah surat
salah alamat. Meski bentuk tulisan yang
diterima akhir-akhir ini adalah sama dengan surat sebelumnya. Ia tak pernah
percaya sosok yang begitu dirindu akan menulis kata yang tiada pernah ia
harapkan. Maka semenjak itu perilakunya berubah. Merenungi kata demi kata yang
tertuang dalam lembaran kertas menjadi temannya.
Dua
surat yang terakhir telah membuatnya gelisah dan harapnya menjadi pupus. Ketika isi suratnya sudah lagi tak
mengibarkan rasa rindu dan tak menebarkan benih kasih padanya. Benarkah istrinya telah tega
meninggalkannya. Ah, tak mungkin. Muslimah istri yang sholeh yang begitu cinta
keluarga. Ia pergi meninggalkannya hanya untuk membuat keluarganya utuh dan
dihormati orang lain, tidak seperti waktu itu dicaci dan dimaki orang. Hanya
karena kemiskinan yang membelenggu hidup mereka.
Tapi harapan kembali
muncul di dada. Apalagi kini, tahun baru tiba. pasti yang dirindu datang.
Menemani ia dan anak semata wayangnya. Harapan yang kemudian semakin menebali
dada di penghujung tahun.
Maka
dengan setianya ia menunggu di tempat itu. Kantor pos. Sedari malam sampai
tepat jam 8 ketika kantor itu baru buka. Dan ketika dipastikan kantor
terbuka. Bertemu dengan Pak Mamat adalah
kebiasaannya. Membuat pertanyaan yang mungkin membuat jenuh pegawai itu. Ia akan berlalu pulang, jika ucap ke luar
dari mulut Pak Mamat. Seperti halnya hari ini.
“Belum
ada surat Pak Samsu, nanti kalau sudah ada saya kabari.”
Lelaki
itu menatap lekat wajah pegawai pos. Seakan takut dengan salah pendengarannya.
“Benar
tidak ada!”suara Pak Mamat meninggi, memastikan bahwa yang diajak bicara
mendengar dengan pasti. Dan ia kembali
bekerja ketika dipastikan lelaki itu menghindari dari tatapannya. Lelaki yang
menurutnya hanya mengganggu pekerjaan saja. Lelaki yang dalam satu bulan ini
kerap datang menyambangi kantor pos dan senantiasa bertanya hal yang sama.
“Adakah
surat dari istriku?”
“Hem,
lelaki yang malang,” lirih Pak Mamat, menatap punggung lelaki yang meninggalkan
tempat itu.
***
“Pak
Samsu, cepatlah nih ada surat untukmu.”
“Benarkah?”
bola matanya melebar mendengarkan perkataan Pak Mamat. “Dari istriku?”
“Iya.”
“Alhamdulillah.”
Dengan
tergesa disandarkannya punggungnya ke sebuah kursi. Sengaja ia duduk menjauh
dari kerumunan orang. Menikmati surat
yang diyakininya akan membahagiakan hati dan juga anaknya.
Satu
dua kata mulai dibacanya. Setiap kata yang ia baca mengeluarkan desah nafas
dari dadanya. Nafasnya begitu berat seperti mengisaratkan isi surat yang
menanggung beban batinnya.
Seisi kantor pos
senyap. Seluruh mata memandang tajam pada laki-laki itu. Setiap helaan nafas
dan gerak gerik lelaki itu menjadi pusat perhatian. Laki-laki yang malang yang
senantiasa mengharap cinta dan kasih dari istrinya yang pergi meninggalkan ia
dan anaknya. Lelaki yang sampai saat ini tetap percaya pada istrinya untuk
setia. Lelaki yang dipenuhi harap bahwa istrinya akan datang melenyapkan
kegetiran hidup ia dan anaknya saat berlebaran.
Senyumnya mengembang.
Senyum berbaur tangis. Menyatukan kesenyapan hidup, menampilkan sosok yang
dinanti. Senyumnya melebar manakala Muslimah menjadi istri sahnya. Pernikahan
yang sederhana. Tapi begitu membahagiakan. Di tengah getirnya hidup karena
kemiskinan yang membelenggu, ia berharap tetap mendapat tulus cinta dari sang
istri. Muslimah istri yang selalu membebaskan lara dan deritanya. Muslimah yang
tetap memberi senyum dalam keluarga. Apapun yang ia lakukan tetap menjadi
penyemangatnya.
Terlebih ketika bayi
kecil hadir di antara mereka. Kebahagiaan lengkap sudah. Meski seringkali ia
melihat tangis di mata Muslimah. Tangis ketika anaknya merengek pilu karena tak ada lagi susu untuk diminum,
tak ada lagi makanan yang bisa mengisi perut. Ketegaran yang akhirnya
meluluhkan niat istrinya. Untuk senantiasa bersama dalam suka dan duka dalam
ikatan keluarga. Muslimah begitu cinta keluarga. Begitu menyanjung dan
menyayangi anaknya. Hingga akhirnya ia mengambil keputusan. Meminta restu
padanya untuk merelakan kepergianya menjadi seorang TKW di Saudi Arabia.
Entah berapa doa yang
telah menepi pada langit. Ratusan bahkan ribuan doa terucap dari batin lelaki
ini. Berharap dan berharap istrinya senantiasa mendapat rahmat dijauhi dari
mara bahaya. Yang diharapnya istrinya di sana selalu bahagia.
Kini lelaki itu
menangis menjerit pilu. Ketika surat cinta yang didamba, ditunggu dan ditunggu
tak ada lagi. Harapannya pupus. Ketika dalam kertas itu menggambarkan duka.
Duka yang semakin menikam rasa. Lembaran kertas yang senantiasa dibawanya kini
serasa hampa. Menemaninya dalam kesenyapan. Surat-surat dari istrinya kini
seperti bernyanyi mengelilingi raganya. Semakin lama kekuatannya membesar
ketika surat itu semakin memberi derita, menyeringai menghadirkan gigi-gigi
bertaring, memperlihatkan darah-darah yang bercucuran mengguyur tubuhnya.
“Istigfar Pak Samsu.”
Dirasakannya, darah
yang mengguyur tubuhnya semakin menyelusup ke relung hatinya. Benci. Ternyata
isi kertas itu telah memorakporandakan hati. Rasa jijik bercampur dendam kini
menguasainya.
“Keluar kau,” teriaknya
keras. Tangannya memukul dada, menikam ulu hati, menjambak rambut. Mengambil
kursi untuk memusnahkan tubuhnya.
“Pergi kau, pergi....”
Kantor pos riuh. Beberapa
wanita menjerit ketakutan. Laki-laki dengan siaga membawa tali yang diharap
mampu meredakan sang nafsu.
“Cepat ikat, bawa
laki-laki itu ke rumah sakit Jiwa.”
Pak Mamat memunguti
lembaran kertas yang berceceran, membaca
surat terakhir.
‘Jangan tunggu aku, Mas.
Aku sudah hidup bahagia.’
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar