Senin, 06 Januari 2014

Cerpen Merapi, Yogyakarta. Dimuat Minggu 5 Januari 2014


Duka di Awal Tahun
Oleh : Nina Rahayu Nadea

             
            Suara letusan mercon dan petasan mengiringi langkahnya dalam gigil. Malam masih menyelimuti bumi. Dipandangnya langit, yang bertabur bintang berharap ia menemukan sesuatu -tentang bintang  yang jatuh- atau apalah yang dapat mengabulkan tentang beragam keinginan. Diusapkannya tangan kiri  pada pundak.  Bisikan angin menyelusup ke setiap labirin waktu.  Mengusap pundak dan lehernya, menambah dingin begitu menjadi. Dipakainya jaket yang sedari tadi bersandar di bahunya. Jaket kumal yang senantiasa menemaninya.  Menemani dalam setiap derap langkahnya. Derap yang  halus, dari kakinya yang tertatih dan terkadang berinjit.  Dilaluinya segera setapak yang menghubungkan rumah di gang sempit. Menuju jalan raya.
Langkahya mulai bergerak cepat, ketika jalan raya mulai dilalui. Satu  dua kendaraan yang melaju di jalan raya, menemaninya  menuju sebuah keinginan yang begitu besar.  Langkahnya pelan namun pasti, tanpa suara tanpa gaduh yang diperlihatkan,  matanya nanar memandang ke kejauhan. Ada harap pasti terlihat dari matanya yang membayang di suasana berselimut keremangan malam. Sesekali tangan kanan di dekapkan ke dada. Takut kalau-kalau lembaran kertas yang ia bawa berjatuhan menghilangkan harapnya.
            Trotoar Jalan Senopati, mulai diinjak. Tinggal beberapa langkah lagi  menepi ke tempat yang tidak asing lagi. Kantor Pos. Ya, di tempat itulah lelaki itu menunggu sebuah kepastian. Menunggu hingga tepat jam 8. Tepat dimana kantor pos  mulai buka. Dan ia akan kembali berada di rumah menyapa anaknya yang baru terbangun dari lelap tidurnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini tak pernah dilupakan untuk bisa menemui harapan seseorang yang senantiasa dirindunya.
Sebulan lalu tepatnya. Kebiasaan itu rutin dilakukan lelaki ini. Lelaki yang dalam hidupnya senantiasa berharap dan berharap tentang kedatangan seorang yang begitu didamba. Pun oleh anak semata wayangnya.
            Sebelum dua surat datang padanya. Tak pernah ia lakukan rutinitas seperti itu. Karena ia begitu percaya pada istrinya. Itu terbukti dengan kata-kata yang tertuang dalam kalimat di suratnya. Semua mengisaratkan rindu yang begitu besar pada anak dan dirinya. Surat itu senantiasa menjadikan semangat dalam bekerja. Rasa rindu yang begitu menggunung dan menjadi reda ketika membaca lembaran-lembaran kertas yang dikirim istrinya.
            Tapi sebulan ini hatinya begitu terluka. Dua surat dalam lembaran kertas itu tak lagi menyiratkan rasa rindu dan kangen. Malah sepertinya ingin menyudahi tingkah rindu yang ia semaikan. Tapi lelaki itu berfikir. Itu adalah surat salah alamat. Meski  bentuk tulisan yang diterima akhir-akhir ini adalah sama dengan surat sebelumnya. Ia tak pernah percaya sosok yang begitu dirindu akan menulis kata yang tiada pernah ia harapkan. Maka semenjak itu perilakunya berubah. Merenungi kata demi kata yang tertuang dalam lembaran kertas menjadi temannya.
            Dua surat yang terakhir telah membuatnya gelisah dan harapnya menjadi  pupus. Ketika isi suratnya sudah lagi tak mengibarkan rasa rindu dan tak menebarkan benih kasih  padanya. Benarkah istrinya telah tega meninggalkannya. Ah, tak mungkin. Muslimah istri yang sholeh yang begitu cinta keluarga. Ia pergi meninggalkannya hanya untuk membuat keluarganya utuh dan dihormati orang lain, tidak seperti waktu itu dicaci dan dimaki orang. Hanya karena kemiskinan yang membelenggu hidup mereka.
Tapi harapan kembali muncul di dada. Apalagi kini, tahun baru tiba. pasti yang dirindu datang. Menemani ia dan anak semata wayangnya. Harapan yang kemudian semakin menebali dada di penghujung tahun.
            Maka dengan setianya ia menunggu di tempat itu. Kantor pos. Sedari malam sampai tepat jam 8 ketika kantor itu baru buka. Dan ketika dipastikan kantor terbuka.  Bertemu dengan Pak Mamat adalah kebiasaannya. Membuat pertanyaan yang mungkin membuat jenuh pegawai itu.  Ia akan berlalu pulang, jika ucap ke luar dari mulut Pak Mamat. Seperti halnya hari ini.
            “Belum ada surat Pak Samsu, nanti kalau sudah ada saya kabari.”
            Lelaki itu menatap lekat wajah pegawai pos. Seakan takut dengan salah pendengarannya.
            “Benar tidak ada!”suara Pak Mamat meninggi, memastikan bahwa yang diajak bicara mendengar dengan pasti.  Dan ia kembali bekerja ketika dipastikan lelaki itu menghindari dari tatapannya. Lelaki yang menurutnya hanya mengganggu pekerjaan saja. Lelaki yang dalam satu bulan ini kerap datang menyambangi kantor pos dan senantiasa bertanya hal yang sama.
            “Adakah surat dari istriku?”
            “Hem, lelaki yang malang,” lirih Pak Mamat, menatap punggung lelaki yang meninggalkan tempat itu.
***

            “Pak Samsu, cepatlah nih ada surat untukmu.” 
            “Benarkah?” bola matanya melebar mendengarkan perkataan Pak Mamat. “Dari istriku?”
            “Iya.”
            “Alhamdulillah.”
            Dengan tergesa disandarkannya punggungnya ke sebuah kursi. Sengaja ia duduk menjauh dari kerumunan orang.  Menikmati surat yang diyakininya akan membahagiakan hati dan juga anaknya.
            Satu dua kata mulai dibacanya. Setiap kata yang ia baca mengeluarkan desah nafas dari dadanya. Nafasnya begitu berat seperti mengisaratkan isi surat yang menanggung beban batinnya.
Seisi kantor pos senyap. Seluruh mata memandang tajam pada laki-laki itu. Setiap helaan nafas dan gerak gerik lelaki itu menjadi pusat perhatian. Laki-laki yang malang yang senantiasa mengharap cinta dan kasih dari istrinya yang pergi meninggalkan ia dan anaknya. Lelaki yang sampai saat ini tetap percaya pada istrinya untuk setia. Lelaki yang dipenuhi harap bahwa istrinya akan datang melenyapkan kegetiran hidup ia dan anaknya saat berlebaran.
Senyumnya mengembang. Senyum berbaur tangis. Menyatukan kesenyapan hidup, menampilkan sosok yang dinanti. Senyumnya melebar manakala Muslimah menjadi istri sahnya. Pernikahan yang sederhana. Tapi begitu membahagiakan. Di tengah getirnya hidup karena kemiskinan yang membelenggu, ia berharap tetap mendapat tulus cinta dari sang istri. Muslimah istri yang selalu membebaskan lara dan deritanya. Muslimah yang tetap memberi senyum dalam keluarga. Apapun yang ia lakukan tetap menjadi penyemangatnya.
Terlebih ketika bayi kecil hadir di antara mereka. Kebahagiaan lengkap sudah. Meski seringkali ia melihat tangis di mata Muslimah. Tangis ketika anaknya merengek  pilu karena tak ada lagi susu untuk diminum, tak ada lagi makanan yang bisa mengisi perut. Ketegaran yang akhirnya meluluhkan niat istrinya. Untuk senantiasa bersama dalam suka dan duka dalam ikatan keluarga. Muslimah begitu cinta keluarga. Begitu menyanjung dan menyayangi anaknya. Hingga akhirnya ia mengambil keputusan. Meminta restu padanya untuk merelakan kepergianya menjadi seorang TKW di Saudi Arabia.
Entah berapa doa yang telah menepi pada langit. Ratusan bahkan ribuan doa terucap dari batin lelaki ini. Berharap dan berharap istrinya senantiasa mendapat rahmat dijauhi dari mara bahaya. Yang diharapnya istrinya di sana selalu bahagia.
Kini lelaki itu menangis menjerit pilu. Ketika surat cinta yang didamba, ditunggu dan ditunggu tak ada lagi. Harapannya pupus. Ketika dalam kertas itu menggambarkan duka. Duka yang semakin menikam rasa. Lembaran kertas yang senantiasa dibawanya kini serasa hampa. Menemaninya dalam kesenyapan. Surat-surat dari istrinya kini seperti bernyanyi mengelilingi raganya. Semakin lama kekuatannya membesar ketika surat itu semakin memberi derita, menyeringai menghadirkan gigi-gigi bertaring, memperlihatkan darah-darah yang bercucuran mengguyur tubuhnya.
“Istigfar Pak Samsu.”
Dirasakannya, darah yang mengguyur tubuhnya semakin menyelusup ke relung hatinya. Benci. Ternyata isi kertas itu telah memorakporandakan hati. Rasa jijik bercampur dendam kini menguasainya.
“Keluar kau,” teriaknya keras. Tangannya memukul dada, menikam ulu hati, menjambak rambut. Mengambil kursi untuk memusnahkan tubuhnya.
“Pergi kau, pergi....”
Kantor pos riuh. Beberapa wanita menjerit ketakutan. Laki-laki dengan siaga membawa tali yang diharap mampu meredakan sang nafsu.
“Cepat ikat, bawa laki-laki itu ke rumah sakit Jiwa.”
Pak Mamat memunguti lembaran kertas yang berceceran,  membaca surat terakhir.
‘Jangan tunggu aku, Mas. Aku sudah hidup bahagia.’

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar