Kamis, 31 Januari 2013

Cerpen-dimuat di koran Kabar Priangan, 23 Januari 2013


Tabir
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Semenjak ibu meninggal ayah menjadi pemurung. Hari-harinya ia habiskan di kamarnya. Merangkul, memeluk baju pink peninggalan ibu. Hanya baju itu yang senantiasa menemani ayah. Sering kulihat ayah berbicara. Seolah baju itu adalah jelmaan ibu. Dalam senyap, seringkali kudengar cakap ayah. Dan seringkali pula kulihat air mata ayah  menetes membasahi baju itu.
                Baju pink peninggalan ibu. Hanya itulah satu-satunya baju yang ayah simpan. Tidak untuk yang lainnya. Padahal begitu banyak baju ibu yang lebih menarik. Pernah kuutarakan pada ayah untuk menyimpan baju ibu yang lain. Tepatnya baju dinas ibu yang seringkali dipakai ibu ke kantor. Tapi ayah menolak. Sementara baju-baju ibu yang lainnya tak satu pun ada dalam lemari menemani baju-baju ayah. Semua telah dibagikan pada sanak keluarga setelah tujuh hari ibu meninggal.  
                “Sudahlah Rat,  simpan baju itu di lemari,” ucap ayah membuat langkahku terhenti. Sejenak tertegun. Tapi kemudian menyadari dan berfikir bahwa itu kenangan satu-satu ayah tentang mendiang ibu. Segera kubalikan badanku, menggantungkan baju itu di tempat semula. Berderet dalam lemari bersamaan dengan baju-baju ayah yang lainnya.
                Baju gamis warna pink. Menawan. Pinknya tidak terlalu menyala. Lembut. Di bagian atas, tepatnya sebelah dada, manik-manik menghiasi baju itu, semakin membuatnya cantik.   Aku pun sangat menyukai warnanya. Soft.  Aku menghargai keinginan ayah untuk menyimpan baju itu.  Mungkin baju ini menyimpan kenangan terdalam di hati ayah. Walau belum pernah aku tanyakan pada ayah, kenapa beliau memilih baju itu?  Aku tak mau pertanyaanku hanya menambah lara  ayahku saja.
                Tapi apakah benar semua menyimpan kenangan tentang ibu? Semenjak baju itu ada dan hadir di antara belasan bahkan puluhan baju ibu yang lainnya.  Hanya  baju ini yang belum pernah ibu pakai, atau hanya sekedar mencobanya. Kasihan sekali, nasib baju pink ini. Semenjak hadir, hanya mengendap. Menggantung di lemari. Tak seperti baju baru yang lain. Entahlah. Biasanya ibu senantiasa sumringah, bahagia dan langsung memakai baju baru pembeliannya. Pun itu pembelian ayah atau siapa pun  yang membelikannya. Ibu bukan tipe orang yang senantiasa menunda, memakai baju baru.
                Jangankan baju yang sangat bagus atau mewah. Baju yang sederhana atau menurutku murah dan sangat tidak berselera dengan hati ibu, ia akan selalu memakainya walaupun hanya sehari.  Ibu senantiasa membiasakan baju itu pernah menempel di badannya, walaupun tidak dalam waktu yang lama. Hanya sekali misalnya. Selalu, ya selalu ibu pakai walau hanya dalam hitungan jam. Dan setelah itu ibu akan memberikannya untuk yang lain. Saudara ibu yang berada di kampung.
                Tapi ada apa dengan baju pink itu? Aku pun tak mengerti mengapa baju itu hanya menggantung dan  menjadi hiasan saja. Menjadi teman atau sahabat baju-baju lainnya. Pastilah baju itu ingin sekali berada di badan ibu. Ah, tak habis pikir.
                Baju yang aneh menurutku. Apanya yang salah. Seringkali diam-diam kuperhatikan, kuselidiki baju itu. Baju yang mahal. Itu kulihat dari cap yang menempel di belakangnya. Baju yang saat itu digandrungi ibu-ibu karena harganya. Merknya,  hingga menaikan prestasi ibu di mata yang lain. Entahlah semua menyimpan tabir yang aku sendiri tak pernah tau. Seringkali kucium baju itu. Lama menggantung tapi tetap saja menyimpan harum. Harum baru karena belum pernah dipakai. Segel serta cap masih menempel di baju ibu.
                “Bu, kenapa baju itu tak pernah ibu pakai?” tanyaku sambil membereskan baju yang telah kusetrika. Menggantungkan beberapa baju dinas ibu berderkatan dengan baju pink itu. “Ayah pandai sekali memilihnya, warnanya lembut bahannya juga asik. Hem,  enak sekali kayaknya di badan,” aku mencium baju itu, mendekatkannya ke pipiku.
                Ibu hanya tersenyum. Tak sedikit pun ia berniat untuk memberikan jawababnya  padaku. “Ibu ngak suka yah? Kalau tidak cocok kenapa tidak bilang saja sama ayah? Mungkin ayah akan menukarnya,” tiba-tiba saja pertanyaan itu ke luar dari bibirku.
                “Ngak. Sangat suka.” Ibu berbalik meninggalkanku. Meningglkan rasa penasaran dalam hatiku.
                Pernah suatu kali kulihat ibu berdiri mematung di depan lemari. Memperhatikan baju pink itu, dan tiba-tiba saja ibu terisak. Menutup kembali lemari itu. Entah apa yang ibu sebunyikan. Semenjak itu, kuniatkan dalam hati bahwa suatu saat akan bertanya pada ibu. Tentang baju itu. Tapi semua tak kupenuhi. Ibu meninggal secara mendadak. Dan yang paling menyakitkan adalah tentang perkataan orang yang mengatakan ibu meninggal  karena diguna-guna.
                Kini ibu telah tiada. Meninggalkan kenangan di hatiku. Kenangan yang indah. Ibu sangat menyayangi keluarga, pun ayah. Selama aku menjadi anaknya, tak pernah sekali pun kudengar keluh kesah ibu tentang keluarga, tentang ekonomi. Senantiasa ibu bersyukur.  Begitu pun pada ayah. Tak pernah sekali pun ibu menggerutu, apalagi sampai memaki. Ibu begitu hormat dan patuh pada ayah. Jika  ada masalah dengan ayah, kulihat ibu hanya mengalah. Ibu hanya diam tak sekali pun membantah perkataan ayah. Diam. Itulah mungkin yang ibu ajarkan pada kami anak-anaknya dalam  menyelesaikan masalah. Diam. Yah diam. Walau terkadang aku benci dengan diam ibu. Kuanggap diam seorang perempuan, menandakan bahawasanya ia adalah mahluk yang lemah. Menerima kekalahan. Menganggap laki-laki sebagai pemenang atas semua permasalahan yang ada. Sebagai seorang perempuan dewasa aku seringkali melihat ketidaksesuaian prinsip antara ibu dan ayah. Tapi ibu menyelesaikannya dengan diam dan diam.
                Rasa sakit begitu mendera hatiku. Ketika kutahu ayah akan menikah lagi. Sebenarnya aku setuju ayah menikah. Karena aku mengerti bahwa sorang laki-laki dewasa membutuhkan tempat berbagi, membagi masalah dalam suka dukanya. Tapi menurutku sangat tidak tepat waktu. Ayah menikah sebelum 40 hari ibu meninggal. Kemarin kulihat ayah bersedih menangisi kepergian ibu, tapi begitu cepatnya ia membalikan telapak tangan, berkata padaku bahwa ia akan menikah. Benarkah ayah mencintai ibu?
                Tante Mirna adalah pilihannya. Tetangga dekat yang hanya terhalangi beberapa rumah.
                “Tapi apakah tidak terlalu cepat, Yah?” tanyaku.
                “Tidak, Rat. Ayah sudah berfikir jauh hari. Ayah ingin seseorang mendampingi. Menemani ayah,” katanya parau seperti menyimpan luka dalam hatinya.
                “Baiklah, Yah. Moga itu yang terbaik untuk ayah.”
                “Makasih, Rat. Semoga dia dapat menjadi pengganti ibumu.”
                “Ya,” jawabku singkat. Sebenarnya aku  tak mau mengamini sikap ayah. Posisi ibuku takan bisa tergantikan oleh siapa pun. Ibu tetap ibu sejatiku. Tetap ibu kandungku. Dan Tante Mirna? Hanyalah seorang perempuan yang baru mekar di hati ayah. Tidak seperti ibu. Tapi aku tetap menghargai ayah untuk menikah dengan Tante Mirna. Setidaknya telah kupancangkan dalam hati, bahwa Tante Mirna adalah seorang perempuan yang usianya berada jauh di atasku. Dan aku harus menghormatinya. Itu saja, tak lebih.
                Penolakan justru ke luar dari Tante Yosi. Adik kandung ayah sendiri. Itu kulihat dari perdebatan  di suatu hari.
                “Lebih baik kau cari wanita yang lain yang lebih cocok. Jangan Mirna.”
                “Yos,  aku telah cocok dengannya, apa kau  mau aku tidak bahagia?”
                Tante Yosi terdiam.
                “Akan aku carikan yang lebih cantik. Terutama cantik hatinya?”
                “Apa kau pikir Mirna, wanita yang jahat? Hati-hati kalau bicara.”
                “Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Tapi maaf kalau hubungan kita menjadi renggang.”
                “Maksudmu?”
                “Aku menghormati keputusanmu, untuk tetap menikah dengan Mirna. Tapi kau pun harus memahami perasaanku, perasaan mendiang istrimu.”
                “Tak masalah.”
                Dan begitu akhirnya. Ayahku tetap menikah dengan Tante Mirna. Tanpa restu keluarga besarnya. Dan semenjak Tante Mirna berada di rumahku. Keluarga besar dari pihak ayah semakin menjauh, mereka tak pernah lagi berkunjung ke rumah. Dan seolah tak mau tau, dengan kehidupan keluarga ayah.
                Begitu pun ayah, seolah tak mau tau dengan kehidupan Tante Yosi. Ia menganggap, tanpa dukungan dan restu dari keluarganya, ia tetap dapat berdiri. Membina rumah tangga. Sama keras kepala. Tak ada lagi acara silaturahmi, kunjungan keluarga.  Meski suatu hari Tante Yosi dirawat di rumah sakit. Ayah tetap menolak menengok ketika kuajak. Hem, sungguh keterlaluan.
                Kini Tante Mirna ada di rumahku, menggantikan posisi ibuku. Kulihat mendung di wajah ayah tak terlihat lagi. Kini ia begitu ceria. Wajahnya tiap hari berseri-seri. Aku pun bahagia melihatnya. 
                Suatu senja kulihat ayah duduk di kursi depan. Kuseduh kopi kesukaan ayah, dan berniat membawanya kepada ayah. Langkahku terhenti ketika dari kamar muncul sosok Tante Mirna. Aku terkesiap. Baju pink peninggalan ibu begitu pas di badannya. Malah kalau aku harus berkata jujur mungkin baju itu sangat cocok di badan Tante Mirna, di banding ibu.
                “Beruntung, Mas, bajuku kini kembali lagi.” Tante Mirna berkata mesra pada ayahku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar