Tabir
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Semenjak
ibu meninggal ayah menjadi pemurung. Hari-harinya ia habiskan di kamarnya.
Merangkul, memeluk baju pink peninggalan ibu. Hanya baju itu yang senantiasa
menemani ayah. Sering kulihat ayah berbicara. Seolah baju itu adalah jelmaan
ibu. Dalam senyap, seringkali kudengar cakap ayah. Dan seringkali pula kulihat
air mata ayah menetes membasahi baju
itu.
Baju
pink peninggalan ibu. Hanya itulah satu-satunya baju yang ayah simpan. Tidak
untuk yang lainnya. Padahal begitu banyak baju ibu yang lebih menarik. Pernah
kuutarakan pada ayah untuk menyimpan baju ibu yang lain. Tepatnya baju dinas
ibu yang seringkali dipakai ibu ke kantor. Tapi ayah menolak. Sementara
baju-baju ibu yang lainnya tak satu pun ada dalam lemari menemani baju-baju
ayah. Semua telah dibagikan pada sanak keluarga setelah tujuh hari ibu
meninggal.
“Sudahlah
Rat, simpan baju itu di lemari,” ucap
ayah membuat langkahku terhenti. Sejenak tertegun. Tapi kemudian menyadari dan
berfikir bahwa itu kenangan satu-satu ayah tentang mendiang ibu. Segera
kubalikan badanku, menggantungkan baju itu di tempat semula. Berderet dalam
lemari bersamaan dengan baju-baju ayah yang lainnya.
Baju
gamis warna pink. Menawan. Pinknya tidak terlalu menyala. Lembut. Di bagian
atas, tepatnya sebelah dada, manik-manik menghiasi baju itu, semakin membuatnya
cantik. Aku pun sangat menyukai warnanya. Soft. Aku menghargai keinginan ayah untuk menyimpan
baju itu. Mungkin baju ini menyimpan
kenangan terdalam di hati ayah. Walau belum pernah aku tanyakan pada ayah,
kenapa beliau memilih baju itu? Aku tak
mau pertanyaanku hanya menambah lara
ayahku saja.
Tapi
apakah benar semua menyimpan kenangan tentang ibu? Semenjak baju itu ada dan
hadir di antara belasan bahkan puluhan baju ibu yang lainnya. Hanya baju ini yang belum pernah ibu pakai, atau
hanya sekedar mencobanya. Kasihan sekali, nasib baju pink ini. Semenjak hadir,
hanya mengendap. Menggantung di lemari. Tak seperti baju baru yang lain. Entahlah.
Biasanya ibu senantiasa sumringah, bahagia dan langsung memakai baju baru pembeliannya.
Pun itu pembelian ayah atau siapa pun
yang membelikannya. Ibu bukan tipe orang yang senantiasa menunda,
memakai baju baru.
Jangankan
baju yang sangat bagus atau mewah. Baju yang sederhana atau menurutku murah dan
sangat tidak berselera dengan hati ibu, ia akan selalu memakainya walaupun
hanya sehari. Ibu senantiasa membiasakan
baju itu pernah menempel di badannya, walaupun tidak dalam waktu yang lama.
Hanya sekali misalnya. Selalu, ya selalu ibu pakai walau hanya dalam hitungan
jam. Dan setelah itu ibu akan memberikannya untuk yang lain. Saudara ibu yang
berada di kampung.
Tapi
ada apa dengan baju pink itu? Aku pun tak mengerti mengapa baju itu hanya
menggantung dan menjadi hiasan saja.
Menjadi teman atau sahabat baju-baju lainnya. Pastilah baju itu ingin sekali
berada di badan ibu. Ah, tak habis pikir.
Baju
yang aneh menurutku. Apanya yang salah. Seringkali diam-diam kuperhatikan, kuselidiki
baju itu. Baju yang mahal. Itu kulihat dari cap yang menempel di belakangnya.
Baju yang saat itu digandrungi ibu-ibu karena harganya. Merknya, hingga menaikan prestasi ibu di mata yang
lain. Entahlah semua menyimpan tabir yang aku sendiri tak pernah tau.
Seringkali kucium baju itu. Lama menggantung tapi tetap saja menyimpan harum.
Harum baru karena belum pernah dipakai. Segel serta cap masih menempel di baju
ibu.
“Bu,
kenapa baju itu tak pernah ibu pakai?” tanyaku sambil membereskan baju yang
telah kusetrika. Menggantungkan beberapa baju dinas ibu berderkatan dengan baju
pink itu. “Ayah pandai sekali memilihnya, warnanya lembut bahannya juga asik.
Hem, enak sekali kayaknya di badan,” aku
mencium baju itu, mendekatkannya ke pipiku.
Ibu
hanya tersenyum. Tak sedikit pun ia berniat untuk memberikan jawababnya padaku. “Ibu ngak suka yah? Kalau tidak cocok
kenapa tidak bilang saja sama ayah? Mungkin ayah akan menukarnya,” tiba-tiba
saja pertanyaan itu ke luar dari bibirku.
“Ngak.
Sangat suka.” Ibu berbalik meninggalkanku. Meningglkan rasa penasaran dalam
hatiku.
Pernah
suatu kali kulihat ibu berdiri mematung di depan lemari. Memperhatikan baju
pink itu, dan tiba-tiba saja ibu terisak. Menutup kembali lemari itu. Entah apa
yang ibu sebunyikan. Semenjak itu, kuniatkan dalam hati bahwa suatu saat akan
bertanya pada ibu. Tentang baju itu. Tapi semua tak kupenuhi. Ibu meninggal
secara mendadak. Dan yang paling menyakitkan adalah tentang perkataan orang
yang mengatakan ibu meninggal karena
diguna-guna.
Kini
ibu telah tiada. Meninggalkan kenangan di hatiku. Kenangan yang indah. Ibu
sangat menyayangi keluarga, pun ayah. Selama aku menjadi anaknya, tak pernah
sekali pun kudengar keluh kesah ibu tentang keluarga, tentang ekonomi. Senantiasa
ibu bersyukur. Begitu pun pada ayah. Tak
pernah sekali pun ibu menggerutu, apalagi sampai memaki. Ibu begitu hormat dan
patuh pada ayah. Jika ada masalah dengan
ayah, kulihat ibu hanya mengalah. Ibu hanya diam tak sekali pun membantah
perkataan ayah. Diam. Itulah mungkin yang ibu ajarkan pada kami anak-anaknya
dalam menyelesaikan masalah. Diam. Yah
diam. Walau terkadang aku benci dengan diam ibu. Kuanggap diam seorang
perempuan, menandakan bahawasanya ia adalah mahluk yang lemah. Menerima
kekalahan. Menganggap laki-laki sebagai pemenang atas semua permasalahan yang
ada. Sebagai seorang perempuan dewasa aku seringkali melihat ketidaksesuaian
prinsip antara ibu dan ayah. Tapi ibu menyelesaikannya dengan diam dan diam.
Rasa
sakit begitu mendera hatiku. Ketika kutahu ayah akan menikah lagi. Sebenarnya
aku setuju ayah menikah. Karena aku mengerti bahwa sorang laki-laki dewasa
membutuhkan tempat berbagi, membagi masalah dalam suka dukanya. Tapi menurutku
sangat tidak tepat waktu. Ayah menikah sebelum 40 hari ibu meninggal. Kemarin
kulihat ayah bersedih menangisi kepergian ibu, tapi begitu cepatnya ia
membalikan telapak tangan, berkata padaku bahwa ia akan menikah. Benarkah ayah
mencintai ibu?
Tante
Mirna adalah pilihannya. Tetangga dekat yang hanya terhalangi beberapa rumah.
“Tapi
apakah tidak terlalu cepat, Yah?” tanyaku.
“Tidak,
Rat. Ayah sudah berfikir jauh hari. Ayah ingin seseorang mendampingi. Menemani
ayah,” katanya parau seperti menyimpan luka dalam hatinya.
“Baiklah,
Yah. Moga itu yang terbaik untuk ayah.”
“Makasih,
Rat. Semoga dia dapat menjadi pengganti ibumu.”
“Ya,”
jawabku singkat. Sebenarnya aku tak mau
mengamini sikap ayah. Posisi ibuku takan bisa tergantikan oleh siapa pun. Ibu
tetap ibu sejatiku. Tetap ibu kandungku. Dan Tante Mirna? Hanyalah seorang
perempuan yang baru mekar di hati ayah. Tidak seperti ibu. Tapi aku tetap
menghargai ayah untuk menikah dengan Tante Mirna. Setidaknya telah kupancangkan
dalam hati, bahwa Tante Mirna adalah seorang perempuan yang usianya berada jauh
di atasku. Dan aku harus menghormatinya. Itu saja, tak lebih.
Penolakan
justru ke luar dari Tante Yosi. Adik kandung ayah sendiri. Itu kulihat dari
perdebatan di suatu hari.
“Lebih
baik kau cari wanita yang lain yang lebih cocok. Jangan Mirna.”
“Yos,
aku telah cocok dengannya, apa kau mau aku tidak bahagia?”
Tante
Yosi terdiam.
“Akan
aku carikan yang lebih cantik. Terutama cantik hatinya?”
“Apa
kau pikir Mirna, wanita yang jahat? Hati-hati kalau bicara.”
“Baiklah
kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Tapi maaf kalau hubungan kita menjadi
renggang.”
“Maksudmu?”
“Aku
menghormati keputusanmu, untuk tetap menikah dengan Mirna. Tapi kau pun harus
memahami perasaanku, perasaan mendiang istrimu.”
“Tak
masalah.”
Dan
begitu akhirnya. Ayahku tetap menikah dengan Tante Mirna. Tanpa restu keluarga
besarnya. Dan semenjak Tante Mirna berada di rumahku. Keluarga besar dari pihak
ayah semakin menjauh, mereka tak pernah lagi berkunjung ke rumah. Dan seolah
tak mau tau, dengan kehidupan keluarga ayah.
Begitu
pun ayah, seolah tak mau tau dengan kehidupan Tante Yosi. Ia menganggap, tanpa
dukungan dan restu dari keluarganya, ia tetap dapat berdiri. Membina rumah
tangga. Sama keras kepala. Tak ada lagi acara silaturahmi, kunjungan
keluarga. Meski suatu hari Tante Yosi
dirawat di rumah sakit. Ayah tetap menolak menengok ketika kuajak. Hem, sungguh
keterlaluan.
Kini
Tante Mirna ada di rumahku, menggantikan posisi ibuku. Kulihat mendung di wajah
ayah tak terlihat lagi. Kini ia begitu ceria. Wajahnya tiap hari berseri-seri. Aku
pun bahagia melihatnya.
Suatu
senja kulihat ayah duduk di kursi depan. Kuseduh kopi kesukaan ayah, dan
berniat membawanya kepada ayah. Langkahku terhenti ketika dari kamar muncul
sosok Tante Mirna. Aku terkesiap. Baju pink peninggalan ibu begitu pas di
badannya. Malah kalau aku harus berkata jujur mungkin baju itu sangat cocok di
badan Tante Mirna, di banding ibu.
“Beruntung,
Mas, bajuku kini kembali lagi.” Tante Mirna berkata mesra pada ayahku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar