Kamis, 25 Juli 2013

Cerpen, dimuat di Majalah Kartini, 11 Juli -26 Juli 2013


Kepak Sayap Burung Merpati
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Burung merpati mengepakan sayap. Sebebasnya, ia terbang menuju sagara kemerdekaan. Berputar, berkeliling memandang tuannya. Seperti ucap pamit. Pamit untuk pergi jauh ke antah- berantah.
                Rasanya baru kemarin mengurus dan merawat anakku, Intang. Adzan Shubuh berkumandang, menyambut sang bayi yang baru lahir, memberikan suasana  menjadi begitu bahagia. Mas Bram dengan segera mengangkat bayi mungil yang baru lahir. Dengan haru dan khidmat, suara adzan mampir di telinga bayi mungil. Tak hentinya aku mengucap syukur pada sang Kholik, betapa ia memberikan kejutan dari sebuah kesabaran dan penantian. Mengabulkan doa-doaku. Doa kami sekeluarga. Doa yang tak pernah terhenti dari orangtuaku, juga orang tua Mas Bram.
                Lima tahun telah berlalu selepas pernikahanku, aku bersujud syukur padaNya ketika aku dinyatakan hamil oleh dokter. Padahal aku tak mengira. Sudah tak pernah memikirkan lagi tentang momongan. Ya, di usia pernikahan yang telah lama, tanda-tanda kehamilan tak kunjung datang padaku. Aku begitu pesimis dan jujur menjadi kurang percaya diri. Berulang kali aku meminta Mas Bram untuk menikah kembali, dengan harapan ia segera mempunyai keturunan. Aku telah mengiklaskannya jika akhirnya aku harus dimadu.
                Pertimbangan itu aku lakukan karena aku tau  bagaimana perasaan orang tua Mas Bram, sesungguhnya. Mereka sangat mengharapkan hadirnya cucu dengan segera. Tiap berjumpa tak pernah lupa ia menanyakan apakan aku sudah berisi atau belum. Jujur pertanyaan itu menohok hatiku. Sebagai seorang wanita begitu perih di dada ketika  pertanyaan serupa,  tertuju untukku.
                Ah, setiap mereka bertanya seperti itu, guratan silet di hati kembali hadir,  tikaman godam bersarang di dada. Tapi Mas Bram menguatkanku, memberikan aku harapan dan kekuatan, serta  senantiasa melindungiku dengan cinta yang begitu besar.
                “Jangan kau pernah pikirkan ucapan mereka. Ingat aku menikahimu bukan hanya pertimbangan anak. Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Karena cinta, aku akan menerima keadaanmu. Juga jangan pernah kau berfikir aku akan menikah lagi. Istriku sekarang juga sampai akhir hayatku hanyalah kau,” Mas Bram merengkuh tubuhku, membenamkan kepalaku ke dada bidangnya. Memberi kesejukan yang teramat.
Dengan sabar ia membantuku bangkit dari perasaan rendah diri. Mas Bram menguatkan hatiku hingga akhirnya aku dapat berdiri di atas omongan orang yang menyakitkan. Kini, omongan mereka kuanggap biasa dan sangat biasa. Semua kuserahkan pada sang Kuasa. Apapun yang terbaik untuk kami kan kujalani dengan iklas.
                Ketika suatu hari aku mual terus menerus serta napsu makan berkurang. Kelihatan kecemasan Mas Bram begitu kentara. Dengan segera ia membawaku ke rumah sakit. Maag. Itulah prediksiku. Tapi begitu kagetnya aku, ketika dokter memberitahu bahwa aku hamil, seakan tak percaya mas Bram  meminta dokter untuk melakukan USG yang kedua kali. Sujud syukur serta air  mata bahagia menjadi saksi saat itu, ketika dokter berulang kali mengucap selamat atas kehamilan ini.
                Pun orang tua Mas Bram, dengan segera menyampaikan berita gembira kepada keluarga besar dan seluruh tetangga atas kebahagiaan yang kami miliki. Kebahagian yang meruah. Hingga begitu aku keluar dari rumah sakit, aku sedikit kaget ketika banyak orang. Tapi akhirnya mengerti ketika orang tua mas Bram berkata akan melakukan syukuran. Syukuran atas jabang bayi yang kukandung.
                Kehadiran Intang  membuat keluarga ini berubah. Lihat, betapa keluarga besar begitu bahagia. Menyambut Intang dengan penuh harap dan kebanggaan yang terkira. Penerus keluarga akhirnya ada dengan lahirnya Intang.
                Namun di tengah kebahagian keluarga besar yang meletup. Tak percaya ketika kebahagiaan lenyap seketika. Akarnya terampas seketika tiada bersisa. Tubuhku lunglai tak bertenaga. Ya, kebahagiaan yang baru saja kami nikmati musnah. Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kau hadirkan derita ketika bahagia baru bersemai di hati, menyiapkan taman bunga hati yang semerbak. Harumnya bersemilir meneduhkanku dan meneduhkan orang di sekelilingku.
                Telepon datang dengan tiba-tiba mengabarkan duka pada keluargaku. Tiada percaya, berulang kali aku bertanya kebenaran tentang kabar lewat telepon. Dan aku mengabaikannya. Baru aku percaya ketika suara ambulan datang ke rumah.
                “Siapa, Bu?” aku bertanya pada ibuku.
                Tak ada jawaban hanya air mata yang langsung membasahi pipi. Dan segera menyambut para tetamu yang datang pada saat itu.
                “Bersabarlah,” ucap ibu merangkul pundakku.
                “Jadi...!”
                “Benar. Suamimu telah tiada.”
                Gubrag. Langit runtuh seketika. Ternyata benar adanya. Orang yang memberitahu dan meneleponku berulang, bukan orang iseng yang biasa aku dengar selama ini. Bukan pula sandiwara yang kerap aku lihat di televisi.  Berulang kali kugigit bibir ini, berharap ini adalah mimpi. Aku sangsi. Dengan segera  berlari ke luar. Menyongsong usungan mayat yang telah terkafani.
                “Tidak. Dia bukan Mas Bram,” suaraku menguar membelah langit. Merasakan dada yang begitu sesak seperti dihimpit bumi. Tersakiti  tiada terkira. Dan aku  merasa bahwa diri ini takan mampu menyudahi derita.
                “Sabarlah Lastri,” ibu mertua memapahku.
                “Tidak, Bu.  Aku ingin bersama Mas Bram selamanya. Ia tidak meninggal. Mas Bram tadi pagi bersamaku, berkata bahwa aku harus menjaga Intang.”
                Aku tak pernah menyadari bahwa itu adalah ucapan Mas Bram untuk yang terkahir kali. Kini aku bertemu lagi dengannya. Dalam keadaan yang begitu berbeda. Tubuhnya terbungkus kafan.
                Hari-hari membelengguku. Aku menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Betapa Tuhan begitu tega, membuat diri menderita lara. Menyuguhkan kesunyian yang melesapkan angan hingga menggugurkan dedaunan ceria menjadi duka. Duka tiada terkira.
                Berhari-hari, berminggu bahkan berbulan-bulan aku hanya mengurung diri di kamar. Tanpa pernah mau melakukan apapun. Aku hidup dalam khayalku ditemani Mas Bram yang kurindu. Terkadang berkata tentang cinta. Terkadang memberi cerita yang kesemuanya sangatlah kusuka. Hingga akhirnya aku bertemu dengan sebuah kesadaran, ketika suatu waktu Intang anakku menangis keras. Menangis tiada henti.
                “Ada apa dengan Intang, Bu,” aku masuk ke kamar, menemui ibu.
                “Lastri?” ibu tertegun menatapku.
                “Kenapa Intang Bu. Sini aku gendong.”
                “Biar ibu saja,” Ia dengan segera mengangkat Intang yang tengah menangis, membiarkanku mematung di kamar sendiri.
                “Bu. Sini aku susui, aku menyusul langkah ibu.
                “Ya. Tapi rapikanlah dahulu pakaianmu. Mandilah,”’ Ibu menatap tajam bola mataku. Memberikan Intang pada pembantu. Berbisik sesuatu. Kemudian memapahku. ”Kau sudah sadar, Nak? Syukurlah.” Ibu memelukku. Air matanya tumpah ruah membasahi pipi.
                “Sadar?” aku terkejut. “Sadar apa, Bu. Aku tidak apa-apa koq.” Aku melangkah ke kamar mandi. “Handuknya mana, Bu? Biasanya tergantung di sini?”
                “Dalam lemari,” ibu berkata dan terus menguntitku.
                Aku kembali ke kamar. Tanpa banyak tanya  menuju lemari, membuka pintunya. Aku terkejut melihat isinya. Semua berubah. Padahal biasanya sebelah kanan adalah bajuku dan sebelah kiri adalah baju Mas Bram. Kini berubah. Sebelah kanan adalah bajuku dan sebelah kiri? Tak satupun kulihat baju Mas Bram. Hanya gundukan sepre dan handuk yang terlihat.
                “Bu, siapa yang  merubah ini semua? mana baju Mas Bram?”
                Ibu menangis tersedu. “Berkacalah, Nak,” Ibu menarik badanku. Mendekatkanku dalam cermin di depan. ”Lihat dirimu.”
                “Ibu...!” aku terkejut. Melihat perempuan yang berdiri di depanku. Seorang perempuan berbadan kurus. Rambut terurai panjang acak-acakan. Muka kehitaman, tak terawat. Benarkah itu aku? Padahal aku selama ini begitu menjaga penampilanku. Senantiasa segar dan bercahaya. Ulasan bedak dan lipstik tak pernah lupa aku poleskan walau  hanya tipis.”Itukah aku, Bu?”
                “Ya. Itulah engkau yang sekarang Lastri.”
                “Tapi mengapa? Man...mana baju Mas Bram?” aku balik bertanya. Ingatan mulai hadir berloncatan di hatiku. Mulai dari seorang mayat. Mas bram yang membelaiku. Juga Intang anakku.
                “Sudah ibu kasihkan. Ingat, Nak. Suamimu sudah meninggal 5 bulan lalu.”
                “Meninggal? Tapi kemarin ia bersamaku.  Malah ia megajariku menyetir mobil. Aku di belakang setir dan Mas Bram di sampingku sambil memangku Intang. Dan aku mulai bisa menyetir mobil, Bu. Tapi mayat itu...mayat siapa?”
                “Ya, Nak. Kamu sudah hampir 5 bulan berbaring di ranjang ini. Tepat di saat suamimu dipanggil yang Kuasa, kau menjadi lupa siapa dirimu. Juga Intang, anakmu.”
                “Intang tidak apa-apa? Mengapa tadi ia menangis keras?”
                “Tadi ia terjatuh. Sudahlah. Tadi Bi Murni sudah membawanya ke rumah mertuamu. “Ayo ibu bersihkan badanmu.”
                Baru aku tahu. Bahwa 5 bulan aku menghabiskan waktuku sendiri. Menutup diri. Itu karena kepedihan ditinggal Mas Bram. Kini, atas bantuan keluarga besarku sedikit-sedikit aku mampu berdiri. Apalagi melihat Intang yang membutuhkanku. Senyum polosnya begitu membahagiakanku. Ia mampu menghilangkan kemelut dan duka yang bersarang di hati. Ya, hanya Intang yang mampu mengobatiku lukaku.
                Dan sebagai seorang ibu. Aku tau keberadaanku sangat diperlukan untuk Intang. Anak semata wayangku. Aku tau ia membutuhkan teramat sangat. Maka mulailah aku menjadi seorang single parents yang  harus begitu mandiri dengan keadaan. Bekerja dengan giat serta mencurahkan segala perhatian hanya untuk semata wayangku. Walau aku dianggap terlalu protek. Bukan apa-apa. Semua hanya ingin yang terbaik. Aku tak mau anakku salah jalan. Ia adalah mutiara yang harus selalu kujaga agar tiada pernah tergores sedikitpun. Sungguh cinta dan perhatian ini hanya untuk mutiaraku seorang.
                Diri tersentak ketika Intangku. Anak semata wayangku tiba-tiba membawa seorang lelaki. Tersadar, ternyata anakku telah  menjadi seorang gadis yang jelita. Rasanya terlalu dini. Baru kemarin ia berada di pangkuanku, menyuapi nasi. Baru kemarin kuantar ia ke TK menemaninya bermain dan belajar. Dan baru kemarin aku mendaftarkan ke perguruan tinggi sesuai dengan keinginannya. Baru kemarin....
                “Siapa dia?” selidikku.
                “Teman,” ucapnya pelan.
                “Ingat. Kamu masih sekolah. Mama tak mau skripsimu terbengkalai karena laki-laki,” aku menatap lekat. “Jangan kau terlalu percaya pada lelaki. Mereka begitu manis di mulut. Habis manis sepah dibuang.”
                “Iya, Ma. Cuma teman,” katanya sambil berlalu. Memampirkan bibirnya mendarat di pipiku.
                Aku benci lelaki itu. Budi. Laki-laki yang merampas kebersamaan. Kesepian kerap bertamu.  Aku kehilangan masa bahagia bersama Intang. Biasanya tiap Maghrib kami menonton tivi bersama, makan cemilan serta bersenda gurau. Kini sepi. Cemilan yang aku sediakan hanya teronggok di lemari manakan, tanpa tersentuh anakku. Makan malam pun ia tak pernah mau lagi. Padahal aku sudah masak sedari sore hanya untuk Intangku seorang. Ah, intang sedang apa kau di sana. Mengapa kini kau menjadi lain. Di manakah kau yang dulu. 
                Banyak alasan yang Intang buat untuk menghindarkan kebersaman ini.  Sudah makan malam di jalan, sudah kenyang atau nanti saja. Atau kalaupun mau. Intang hanya sekedar menemaniku. Lebih banyak merenung dan terseyum sendiri dengan ponselnya. Jarang sekali bercakap denganku. Aku yang ada di sampingnya, teracuhkan.
*
                Intang mungkin marah padaku ketika Budi datang, meminta izin padaku untuk menonton film.
                “Apa tidak lihat ini jam berapa, Budi? Jam sepuluh malam. Waktunya untuk beristirahat. Intang sudah capek dengan tugas kuliah. Jangan jejali ia dengan kecapekan yang lain,” ucapku.
                “Intang tidak capek, Ma. Justru Intang senang. Nonton film bisa menghilangkan stress akibat kuliah,” Intang tiba-tiba datang.
                “Tidak! Mama tidak memberimu izin.”
                “Ah, Mama. Tidak mengerti,” Intang menangis, berlari ke kamar dan menguncinya.
                “Intang...Intang.”
                Suara ketuk tak berbalas. Yang kudengar hanya tangis sesunggukan. Ah, Intang, bukan mama tak menyetujui. Udara malam sangatlah tidak nyaman. Apalagi untuk perempuan. Mama tak mau terjadi apa-apa denganmu, aku membatin.
                Aku terpekur di dalam kamar. Kupandangi poto almarhum suamiku. 22 tahun yang lalu. Kerinduan menyusupi labirin hati. 22 tahun waktu yang begitu cepat dan begitu sebentar kurasa. Kulihat poto pengatinku dulu dengan mas Bram. Terlihat aku begitu muda. Maklumlah aku menikah ketika 1 bulan usai lulus SMA. Sangat muda. Terhenyak mengingatnya. Mengingat Intang. Baru kusadari di usianya, aku begitu kaku, terlalu mengekang Intang terhadap seorang lelaki.
                “Ajaklah Budi kemari nanti siang. Mama mau bicara,” ucapku besok paginya. Kulihat sembab di matanya begitu kentara. Duka membayang di wajahnya. “Maafkan mama, Intang. Mama melakukan semua ini hanya untukmu. Mama takut terjadi apa-apa denganmu,” aku memeluknya erat. Sangat erat.
                “Benarkah Mama meminta mas Budi ke mari? Tapi jam 2 sekarang tidak bisa. Mas Budi pulang kerjanya jam 5.”
                “Oh sudah bekerja. Di mana?” kali pertama aku bertanya tentang teman dekat Intang.
                “Di PT. Sunrise, Ma. Ia adalah Manager personalianya.”
                ‘”Ya terserahmulah mau jam berapa. Tapi telepon dulu mama perihal kedatangannya. Biar mama siapkan makanan untuknya.”
                “Makanan?”
                “Mama ingin makan bersama kalian.”
*
Aku mulai mengenal Budi, memperhatikan gerak-geriknya. Budi anak yang baik, bertanggung jawab dan satu yang membuatku bangga, ia rajin beribadah. Terbukti ketika ada di rumah tak pernah terlupa untuk melakukan sholat sunat dan wajib. Aku begitu menyukainya.
Tapi tak urung tersentak. Ketika ia menyatakan akan melamar Intang dan menjadikan istrinya. Sungguh aku belum siap.
“Apa tak secepat itu, Budi?”
“Tidak, Ma. Aku ingin Intang menemaniku. Karena 6 bulan lagi aku dipindahkan kerja ke Yogyakarta. Aku ingin Intang ada di sampingku. Menjadi istri dan ibu untuk anakku kelak.”
Ada yang berderit nyeri, menikam ulu hati. Mendengarnya. Sanggupkah? Sanggupkah aku melepas Intang secepat itu.
“Baiklah mama hanya mampu berdo’a untuk kalian,” kulipat sepi dan tangisku ke dalam dada. Aku tak mau mereka tau bahwa hati ini begitu lara.
Tepuk tangan hadirin meriuh. Ketika sang pengantin melepas sepasang burung merpati. Burung yang ada dalam sangkar seketika lepas, terlepas dari kerangkengnya selama ini. Kepak sayap merpati pun melebar, berputar semakin lama menjauh dan  berpendar dalam pandanganku. Kutatap putriku dan Budi yang baru saja menikah. Pergilah,  Nak. Kuiklaskan kau terbang melayang mengepakan sayap, menjelajah samudera bersama terkasihmu. Ingat, saling berpegangan erat. Perih ini kan terganti bahagia bila hidupmu bahagia, terjauh dari duka dan lara. Dan aku ingin kalian bahagia, bebas merdeka seperti sang merpati yang baru terbebas.***
 

2 komentar: