Senin, 15 Juli 2013

Cerpen Merapi, dimuat 14 Juli 2013


Do’a untuk Sebuah Nama
Oleh: Nina Rahayu Nadea

                Kulewati setapak dengan tergesa. Kerinduan begitu menggunung membaju di hati. Ilalang yang kulewati melambai menyambutku. Sesekali mencumbu  dengan gerakannya, daunnya mendekat perlahan hingga sentuhannya mengena di pipi. Mereka begitu merindu. Pun aku, rindu menggebu. Entah berapa tahun aku tak menginjakan kaki di sini. Di langit-langit ini. Langit tempatku dulu bermain bercengkrama dengan tanah alam di kesuburan desa.
                Langit menyambutku. Memberikan rasa suka tiada terkira. Cuaca begitu syahdu merayu, tiada panas tiada hujan. Bersahabat denganku. Mereka bahagia bahwa aku  sang kelana kini kembali. Kembali untuk satu tujuan. Tujuan yang begitu mulia apalagi menjelang Ramadhan yang ditunggu. Sesaat langkahku terhenti melihat jalanan di depanku. Ya, begitu lama aku tak kembali, kini kulihat perbedaan yang begitu besar. Dulu hanya ada satu jalan memanjang, lurus, untuk mencapai tempat yang kuinginkan. Kini? Terbagi dua. Jalanan terbagi dua sama halnya dengan hatiku yang ikut terbagi dua. Harus memilih jalan yang mana. Pandangan kuhabiskan ke depan mata memandang. Keduanya kulihat seksama agar tak sesat dalam melangkah. Kini kuyakinkan diriku bahwa jalanan lurus tepat di depanku yang harus kuikuti, bukannya jalanan yang berkelok yang agak menyamping dari tempatku berdiri. Mengapa? Jalan tempat yang aku pilih menyimpan ciri lain yang senantiasa kuingat.
Tepat di pinggiran jalan ini masih banyak dihuni rumput putri malu (mimosa pudica) berjejer merumpun, daun-daun yang secara cepat dapat menguncup karena terkejut oleh sentuhan. Satu lagi sebenarnya yang menuntunku untuk memilih jalan ini. Tepat di depanku, pohon besar berdiri kokoh. Pohon Jambu batu. Tempatku semasa kecil bermain. Sesaat aku berdiri, menyentuh mimosa pudica berulang. Begitu nikmatnya menyaksikan tanaman ini yang langsung terkejut menguncup. Saat itu kusaksikan aku yang kecil bermain berkejaran dengan teman sebayaku. Tempat inilah yang aku suka karena dapat menikmati bunga dari si kejut  yang berwarna ungu. Warna kesukaanku.
Tanaman ini begitu aku suka dan dekat di hati. Tiap hari aku  menyentuh dan memetik bunganya yang indah. Selain itu usai bermain aku akan dengan suka hati mengambil tanaman ini ke rumah. Semenjak tahu, ibu menderita chronic bronchitis, aku begitu dekat dengan tanaman ini.
                Sepulang dari permainan, ibu  akan merebus tanaman ini, kemudian secara rutin menyeduh dan meminumya sehari 3 kali, sebanyak ½ gelas. Obat tradisional yang murah meriah. Karena kemampuan kami dalam hal ekonomi.  
Hampir tak percaya ketika bibiku bercerita perihal penyakit yang diderita. Karena ibu selalu tegar dan  tak pernah sedikit pun  berleha memperlihatkan penderitaannya pada anak-anaknya. Di mata kami, ia begitu tangguh dan percaya diri. Terus membimbing kami untuk terus meraih mimpi dan cita. Hingga semua anak-anaknya dapat bersekolah dan menjadi orang yang tegar menjalani hidup.
“Bu, buat apa minum rebusan daun ini terus?” tanyaku suatu hari.
“Supaya ibu tetap sehat dan kuat,” ibu tersenyum menciumku.
                Kembali kupendarkan pandanganku. Pohon jambu batu ini mengingatku pada masa SD dulu, ketika aku jatuh dari atas pohon. Dan aku harus berurusan dengan Ma Uwa,  ahli pijat.  Ya, di tangan Ma Uwa inilah aku diobati. Dipijit. Direfleksi karena urat-urat yang kaku akibat jatuh, “untunglah tidak sampai patah,” ucap Ma Uwa saat itu.
                Aku memang tegar menghadapi semuanya. Kebersamaan keluarga menguatkan kami. Satu yang membuatku tercerai dari keluarga dan memilih meninggalkan semua kenangan. Rasa kecewa yang begitu membelenggu hatiku. Kecewa pada ayahku.
                Lama aku berjalan menyusuri jalan yang berliku dan berdebu. Semakin dekat, gundukan batu nisan semakin terlihat. Begitu jelas. Akhirnya aku menemukan yang aku cari batu nisan tua namun bersih. Tak terlihat sedikit pun rumput tumbuh di sana. Kiranya adikku, Dirman begitu telaten membersihkan makam ini. Ada yang terserak di hati ini memandangnya. Air mata  tak terasa membanjiri pipiku.
                Hari-hari kulalui dengan penuh kerja keras. Bekerja dan terus bekerja. Semua kulakukan agar sukses dalam karir dan melupakan lebam di hati. Tak terasa aku berada di kota besar hampir sepuluh tahun. Dan selama itu pula belum sekalipun aku pulang ke kampung halaman. Malah aku akan dengan senang hati menerima pekerjaan lembur di kantor karena akan mendapat uang tambahan.  Apalagi ketika aku sudah berumah tangga, nyaris semua terlupa dengan kesibukan yang menemaniku.
                Kerinduan akan kehangatan keluarga besar. Kiranya terpenuhi sudah dengan mengirimkan uang pada mereka di kampung. Apalagi menjelang lebaran, uang yang kukirim lebih dari cukup. Dan itu akan ayahku bagikan untuk adik juga uwa dan bibiku. Cukup. Ya, bagiku memberi mereka dengan materi lebih dari cukup. Aku ingin melupakan masa lalu....
                Tapi kini ketika Ramadhan datang. Ada sesuatu yang mengusik hati. Inilah yang menyebabkan aku dengan segera datang untuk bersua dengan saudara-saudaraku di kampung dan merasakan kehangatan cinta mereka yang seutuhnya.
                Bermula dari suatu kejadian. Ketika beberapa hari menjelang Ramadhan, dan  semua teman serta tetanggaku telah bermudik. Melepas rindu, meminta maaf atau bahkan ziarah ke makam keluarga. Senyap kurasa. Entahlah apa artinya ketika malam itu aku bermimpi tentang ibuku. Dia memanggilku melambaikan tangan dari suatu tempat bersekat kaca yang tipis. Ia berada di baliknya, memandangku dengan tatapan kosong, air mata ada di sana. Di sudut matanya. Segera,  kuraih tangan yang terulur ke arahku, tapi ia menjauh, tak sedikitpun terjamah olehku.
                “Ibu...Ibu!”
                “Kenapa, Las? Mimpi apa?” suami membangunkanku.
                “Aku bermimpi ibu.”
                “Sudahlah itu cuma mimpi, ayo kembali tidur,” Mas Rey, menarik badanku.
                Kupejamkan mataku dan berpura untuk tidur. Semakin kupejamkan. Wajah ibu menari di mataku. Begitu jalas wajahnya yang lusuh dengan air mata membayang di bola matanya. Tatapannya menghunus hatiku. Ya, malam ini aku begitu merindu. Rindu keluarga besarku. Aku ingin suatu ketenangan. Pun ibu.
                Segera kupanjatkan do’a untuk mereka. Do’a yang seharusnya kuhantarkan untuk ayah dan ibuku. Do’a yang terlupa atau sengaja dilupa karena suatu kebencian. Kebencian yang memendan rindu, teramat.
                Ya Tuhan, aku begitu berdosa melupakan semua kehidupan indah yang pernah kurasa. Bukankah ibu telah meridhoi, mengiklaskan tindakan ayah sedari dulu. Apalagi kini? Di saat batu nisan menghias rumahmu, ibu akan lebih iklas.
Maafkan aku ibu. Kini di hadapanmu, aku menghantarkan selarik do’a uantukmu. Do’a yang mungkin sangat diharap olehmu. Ketenangan yang tercerai karena ulahku. Di makam ini aku bersimpuh, terpekur sendiri  menyemai do’a.
                “Ternyata kau di sini. Dimas mencarimu,” terdengar suara suamiku.
                “Maafkan aku tidak memberitahu bahwa aku ke sini,” ucapku menhapus air mata. Aku berbalik ke arah Mas Rey yang memangku Dimas. Tak berselang lama muncul ayah dan seorang wanita.
                “Berkumpul di sini rupanya,” ayah berkata.
                “Mama! aku ingin digendong Mama.”
                “Sini sama kakek saja.”
                “Tidak! Tidak mau.”
                “Ya. Sini sama nenek saja,” ucap perempuan itu.
                “Aku tak punya nenek. Nenek Dimas sudah meninggal.” Dimas meronta.
                Aku menggendong Dimas. Dan berkata “Dimas, ini adalah nenek Dimas juga,”aku mencium pipinya lembut. “Ibu, maafkan anakku,” ucapku tulus memandang wanita itu. Sebuah pengakuan yang sebelumnya tak pernah terucap.
                Dipimpin ayah, kami berdo’a hidmat. Do’a untuk sebuah nama di batu nisan. Sebuah senyum kulihat dari wajah ayahku. Anaknya yang hilang kini kembali.***
               
               
                 Nina Rahayu Nadea, lahir di Garut - Jawa Barat,  28 Agustus. Menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Karyanya dimuat di beberapa media. Telah menghasilkan kurang lebih 60 buah buku antologi. Tahun 2011 memenangkan lomba Soulmate Writing Battle Leutika Prio-Yogyakarta. Tahun 2012 Juara naskah terbaik cerpen anak Hasfa Publisher, dengan judul cerpen ‘Si Jalu Kesayanganku’. Tulisannya bisa dilihat di www.ninarahayunadea.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar