Do’a untuk Sebuah Nama
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Kulewati
setapak dengan tergesa. Kerinduan begitu menggunung membaju di hati. Ilalang
yang kulewati melambai menyambutku. Sesekali mencumbu dengan gerakannya, daunnya mendekat perlahan hingga
sentuhannya mengena di pipi. Mereka begitu merindu. Pun aku, rindu menggebu. Entah
berapa tahun aku tak menginjakan kaki di sini. Di langit-langit ini. Langit
tempatku dulu bermain bercengkrama dengan tanah alam di kesuburan desa.
Langit
menyambutku. Memberikan rasa suka tiada terkira. Cuaca begitu syahdu merayu,
tiada panas tiada hujan. Bersahabat denganku. Mereka bahagia bahwa aku sang kelana kini kembali. Kembali untuk satu
tujuan. Tujuan yang begitu mulia apalagi menjelang Ramadhan yang ditunggu.
Sesaat langkahku terhenti melihat jalanan di depanku. Ya, begitu lama aku tak
kembali, kini kulihat perbedaan yang begitu besar. Dulu hanya ada satu jalan
memanjang, lurus, untuk mencapai tempat yang kuinginkan. Kini? Terbagi dua.
Jalanan terbagi dua sama halnya dengan hatiku yang ikut terbagi dua. Harus
memilih jalan yang mana. Pandangan kuhabiskan ke depan mata memandang. Keduanya
kulihat seksama agar tak sesat dalam melangkah. Kini kuyakinkan diriku bahwa
jalanan lurus tepat di depanku yang harus kuikuti, bukannya jalanan yang
berkelok yang agak menyamping dari tempatku berdiri. Mengapa? Jalan tempat yang
aku pilih menyimpan ciri lain yang senantiasa kuingat.
Tepat di pinggiran jalan ini masih
banyak dihuni rumput putri malu (mimosa
pudica) berjejer merumpun, daun-daun yang secara cepat dapat menguncup
karena terkejut oleh sentuhan. Satu lagi sebenarnya yang menuntunku untuk
memilih jalan ini. Tepat di depanku, pohon besar berdiri kokoh. Pohon Jambu
batu. Tempatku semasa kecil bermain. Sesaat aku berdiri, menyentuh mimosa pudica berulang. Begitu nikmatnya
menyaksikan tanaman ini yang langsung terkejut menguncup. Saat itu kusaksikan
aku yang kecil bermain berkejaran dengan teman sebayaku. Tempat inilah yang aku
suka karena dapat menikmati bunga dari si kejut
yang berwarna ungu. Warna kesukaanku.
Tanaman ini begitu aku suka dan
dekat di hati. Tiap hari aku menyentuh
dan memetik bunganya yang indah. Selain itu usai bermain aku akan dengan suka
hati mengambil tanaman ini ke rumah. Semenjak tahu, ibu menderita chronic
bronchitis, aku begitu dekat dengan tanaman ini.
Sepulang
dari permainan, ibu akan merebus tanaman
ini, kemudian secara rutin menyeduh dan meminumya sehari 3 kali, sebanyak ½
gelas. Obat tradisional yang murah meriah. Karena kemampuan kami dalam hal ekonomi.
Hampir tak percaya ketika bibiku
bercerita perihal penyakit yang diderita. Karena ibu selalu tegar dan tak pernah sedikit pun berleha memperlihatkan penderitaannya pada
anak-anaknya. Di mata kami, ia begitu tangguh dan percaya diri. Terus membimbing
kami untuk terus meraih mimpi dan cita. Hingga semua anak-anaknya dapat
bersekolah dan menjadi orang yang tegar menjalani hidup.
“Bu, buat apa minum rebusan daun
ini terus?” tanyaku suatu hari.
“Supaya ibu tetap sehat dan kuat,”
ibu tersenyum menciumku.
Kembali
kupendarkan pandanganku. Pohon jambu batu ini mengingatku pada masa SD dulu,
ketika aku jatuh dari atas pohon. Dan aku harus berurusan dengan Ma Uwa, ahli pijat.
Ya, di tangan Ma Uwa inilah aku diobati. Dipijit. Direfleksi karena
urat-urat yang kaku akibat jatuh, “untunglah tidak sampai patah,” ucap Ma Uwa
saat itu.
Aku
memang tegar menghadapi semuanya. Kebersamaan keluarga menguatkan kami. Satu
yang membuatku tercerai dari keluarga dan memilih meninggalkan semua kenangan.
Rasa kecewa yang begitu membelenggu hatiku. Kecewa pada ayahku.
Lama
aku berjalan menyusuri jalan yang berliku dan berdebu. Semakin dekat, gundukan
batu nisan semakin terlihat. Begitu jelas. Akhirnya aku menemukan yang aku cari
batu nisan tua namun bersih. Tak terlihat sedikit pun rumput tumbuh di sana.
Kiranya adikku, Dirman begitu telaten membersihkan makam ini. Ada yang terserak
di hati ini memandangnya. Air mata tak
terasa membanjiri pipiku.
Hari-hari
kulalui dengan penuh kerja keras. Bekerja dan terus bekerja. Semua kulakukan
agar sukses dalam karir dan melupakan lebam di hati. Tak terasa aku berada di
kota besar hampir sepuluh tahun. Dan selama itu pula belum sekalipun aku pulang
ke kampung halaman. Malah aku akan dengan senang hati menerima pekerjaan lembur
di kantor karena akan mendapat uang tambahan.
Apalagi ketika aku sudah berumah tangga, nyaris semua terlupa dengan
kesibukan yang menemaniku.
Kerinduan
akan kehangatan keluarga besar. Kiranya terpenuhi sudah dengan mengirimkan uang
pada mereka di kampung. Apalagi menjelang lebaran, uang yang kukirim lebih dari
cukup. Dan itu akan ayahku bagikan untuk adik juga uwa dan bibiku. Cukup. Ya,
bagiku memberi mereka dengan materi lebih dari cukup. Aku ingin melupakan masa
lalu....
Tapi
kini ketika Ramadhan datang. Ada sesuatu yang mengusik hati. Inilah yang
menyebabkan aku dengan segera datang untuk bersua dengan saudara-saudaraku di
kampung dan merasakan kehangatan cinta mereka yang seutuhnya.
Bermula
dari suatu kejadian. Ketika beberapa hari menjelang Ramadhan, dan semua teman serta tetanggaku telah bermudik.
Melepas rindu, meminta maaf atau bahkan ziarah ke makam keluarga. Senyap
kurasa. Entahlah apa artinya ketika malam itu aku bermimpi tentang ibuku. Dia memanggilku
melambaikan tangan dari suatu tempat bersekat kaca yang tipis. Ia berada di
baliknya, memandangku dengan tatapan kosong, air mata ada di sana. Di sudut
matanya. Segera, kuraih tangan yang
terulur ke arahku, tapi ia menjauh, tak sedikitpun terjamah olehku.
“Ibu...Ibu!”
“Kenapa,
Las? Mimpi apa?” suami membangunkanku.
“Aku
bermimpi ibu.”
“Sudahlah
itu cuma mimpi, ayo kembali tidur,” Mas Rey, menarik badanku.
Kupejamkan
mataku dan berpura untuk tidur. Semakin kupejamkan. Wajah ibu menari di mataku.
Begitu jalas wajahnya yang lusuh dengan air mata membayang di bola matanya.
Tatapannya menghunus hatiku. Ya, malam ini aku begitu merindu. Rindu keluarga
besarku. Aku ingin suatu ketenangan. Pun ibu.
Segera
kupanjatkan do’a untuk mereka. Do’a yang seharusnya kuhantarkan untuk ayah dan
ibuku. Do’a yang terlupa atau sengaja dilupa karena suatu kebencian. Kebencian
yang memendan rindu, teramat.
Ya
Tuhan, aku begitu berdosa melupakan semua kehidupan indah yang pernah kurasa.
Bukankah ibu telah meridhoi, mengiklaskan tindakan ayah sedari dulu. Apalagi
kini? Di saat batu nisan menghias rumahmu, ibu akan lebih iklas.
Maafkan aku ibu. Kini di
hadapanmu, aku menghantarkan selarik do’a uantukmu. Do’a yang mungkin sangat
diharap olehmu. Ketenangan yang tercerai karena ulahku. Di makam ini aku
bersimpuh, terpekur sendiri menyemai do’a.
“Ternyata
kau di sini. Dimas mencarimu,” terdengar suara suamiku.
“Maafkan
aku tidak memberitahu bahwa aku ke sini,” ucapku menhapus air mata. Aku
berbalik ke arah Mas Rey yang memangku Dimas. Tak berselang lama muncul ayah
dan seorang wanita.
“Berkumpul
di sini rupanya,” ayah berkata.
“Mama!
aku ingin digendong Mama.”
“Sini
sama kakek saja.”
“Tidak!
Tidak mau.”
“Ya.
Sini sama nenek saja,” ucap perempuan itu.
“Aku
tak punya nenek. Nenek Dimas sudah meninggal.” Dimas meronta.
Aku
menggendong Dimas. Dan berkata “Dimas, ini adalah nenek Dimas juga,”aku mencium
pipinya lembut. “Ibu, maafkan anakku,” ucapku tulus memandang wanita itu.
Sebuah pengakuan yang sebelumnya tak pernah terucap.
Dipimpin
ayah, kami berdo’a hidmat. Do’a untuk sebuah nama di batu nisan. Sebuah senyum
kulihat dari wajah ayahku. Anaknya yang hilang kini kembali.***
Nina Rahayu Nadea, lahir di Garut -
Jawa Barat, 28 Agustus. Menulis dalam
bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Karyanya dimuat di beberapa media. Telah
menghasilkan kurang lebih 60 buah buku antologi. Tahun 2011 memenangkan lomba
Soulmate Writing Battle Leutika Prio-Yogyakarta. Tahun 2012 Juara naskah
terbaik cerpen anak Hasfa Publisher, dengan judul cerpen ‘Si Jalu
Kesayanganku’. Tulisannya bisa dilihat di www.ninarahayunadea.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar