Berbeda
itu Indah
Oleh
Nina Rahayu Nadea
“Ngak
mau. Adi ngak mau dipasakin sama Ibu.” Adi bersungut.
“Tapi
coba lihat sayang. Ibu sudah masak kesukaanmu. Nasi goreng dicampur ati ayam.”
Ibu merayu.
“Masakan
Ibu ngak enak, ingin masakan Ayah.” Adi tetap merenggut.
Ibu
terdiam. “Ayah dari Shubuh tadi sudah berangkat. Ada acara di Jakarta. Ayo,
sarapan dulu sedikit saja, biar tidak masuk angin.” Suara Ibu tetap lembut.
Dengan
malas Adi menyuapi nasi sedikit demi sedikit.
Ya,
Ibu memang tidak pandai memasak. Pasakan Ibu
kalah hebat dengan pasakan Ayah. Ayah jagonya masak. Karena kehebatannya
itu, seringkali Ayah didaulat memasak dalam acara keluarga besar. Adi sangat
suka. Karena setiap hari Ayah selalu menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga di
rumah.
Hari
Minggu adalah hari yang menyenangkan. Ayah akan membuat makanan yang spesial.
Dari mulai membuat kue, sirup atau apa pun pasti Ayah bisa. Resep baru selalu
dicoba Ayah untuk membahagiakan mereka.
Kini?
Seminggu harus kehilangan Ayah. Dan selama itu terpaksa menikmati masakan Ibu.
“Yah,
kapan pulang?” SMS dari Adi segera terkirim.
Lama
tak dijawab. Mungkin acara Ayah sedang padat. Barulah beberapa jam kemudian Ayah
membalas SMS.
“Sabtu
malam, Di. Memang kenapa?”
“Ingin
cepet ketemu Ayah. Ingin segera merasakan masakan Ayah. Masakan Ibu ngak enak. Ayah
tau kan, Ibu tak pandai memasak. Tiap hari masakannya hanya telur atau nasi
goreng.” SMS berisi curhat pun segera terkirim.
“Iya,
nanti Ayah buatkan sesuatu yang spesial buat Adi.“ Ayah mengakhiri SMSnya.
*
Sabtu
malam. Adi menunggu kedatangan Ayah. Berulangkali melirik jam yang nemplok di
depan meja belajar. Jam 10 lewat. Ingin sekali Adi menunggu Ayah. Tapi kantuk
datang tak tertahankan. Akhirnya tertidur pulas.
“Ayo,
Di, bangun. Ayah buatkan sesuatu untuk Adi.” Suara yang dirindu Adi terdengar.
“Waw,
Ayah pulang. Hore!” Adi bersorak girang.
“Ayo
cepat mandi dahulu.”
“Iya...
iya.... pasti.” Tanpa diperintah dua kali Adi langsung pergi ke kamar mandi.
*
“Ke
mana kita, Yah?”
“Jalan
Braga. Ada pameran buku. Sekalian ngantar Ibu.” Kata Ayah. Pandangannya lurus ke depan. Kosentrasi menyetir mobil.
“Pasti
deh, Ibu memborong buku lagi.”
Ibu
dan Ayah hanya tersenyum.
“Ibu
masuk dulu, ya. Sudah ditunggu panitia.” Ibu keluar dari mobil. Ketika sampai
di tujuan.
“Ya.
Nanti Ayah menyusul. ‘
Beberapa
saat Adi dan Ayah bekeliling. Melihat lihat buku yang banyak dijual. Adi pun
ngiler melihat buku yang sangat banyak dengan harga yang murah. Beberapa buku
pun akhirnya dibelikan Ayah.
“Ayo,
kita ke dalam sebentar saja.’
“Ya.”
Jawab Adi pendek. Matanya tetap berkeliling melihat buku yang berderet.
“Baiklah
hadirin yang terhormat, kita saksikan acara selanjutnya. Ikatlah Ilmu dengan
Tulisan. Yang akan disampaikan oleh Ibu Widiati Asmaningrum.”
“Widiati? Ibu, ya?” Adi melirik ke arah Ayah.
“Iya.
Ayo lihat.” Ayah mencari kursi yang kosong.
Adi
melihat acara yang disajikan Ibu mulai awal dari akhir. Penonton mengikuti
acara dengan antusias diskusi tentang kepenulisan. Adi tahu ibunya memang
penulis. Sudah menerbitkan puluhan buku. Tapi baru kali ini Adi melihat
langsung kegiatan yang dilakukan Ibu. Betapa kagumnya orang-orang pada Ibu.
Coba saja, di sesi akhir ibunya masih saja diburu. Bahkan ada yang meminta
tanda tangan.
“Ibu
benar-benar hebat.” Batin Adi.
“Kenapa?”
Ayah melihat Adi yang tak berkedip melihat acara.
“Ternyata
Ibu hebat sekali. Adi selama ini telah hilap. Selalu melihat ibu dari
kekurangan. Makasih Ayah sudah membawa Adi ke sini. Mulai sekarang Adi akan
berubah.” Adi menunduk. “Bu, maafkan Adi, yah.” Kata Adi ketika bertemu Ibu.
“Maaf?”
kening Ibu berkerut.
“Kini,
Adi mengerti bahwa manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan. Adi bangga sama
Ibu. Ayah memang jago memasak tapi tak pandai menulis. Dan Ibu sangat jago
menulis.”
“Perbedaan
itu indah, Di.” Ayah mengelus kepala Adi. Rupanya Ayah sengaja mengajak Adi ke
sini agar sikap Adi berubah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar