Kamis, 25 Mei 2017

Berbeda Itu Indah

Dimuat di Majalah Bobo, 11 Mei 2017


Berbeda itu Indah
Oleh Nina Rahayu Nadea
            “Ngak mau. Adi ngak mau dipasakin sama Ibu.” Adi bersungut.
            “Tapi coba lihat sayang. Ibu sudah masak kesukaanmu. Nasi goreng dicampur ati ayam.” Ibu merayu.
            “Masakan Ibu ngak enak, ingin masakan Ayah.” Adi tetap merenggut.
            Ibu terdiam. “Ayah dari Shubuh tadi sudah berangkat. Ada acara di Jakarta. Ayo, sarapan dulu sedikit saja, biar tidak masuk angin.” Suara Ibu tetap lembut.
            Dengan malas Adi menyuapi nasi sedikit demi sedikit.
            Ya, Ibu memang tidak pandai memasak. Pasakan Ibu  kalah hebat dengan pasakan Ayah. Ayah jagonya masak. Karena kehebatannya itu, seringkali Ayah didaulat memasak dalam acara keluarga besar. Adi sangat suka. Karena setiap hari Ayah selalu menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga di rumah.
            Hari Minggu adalah hari yang menyenangkan. Ayah akan membuat makanan yang spesial. Dari mulai membuat kue, sirup atau apa pun pasti Ayah bisa. Resep baru selalu dicoba Ayah untuk membahagiakan mereka.
            Kini? Seminggu harus kehilangan Ayah. Dan selama itu terpaksa menikmati masakan Ibu.
            “Yah, kapan pulang?” SMS dari Adi segera terkirim.
            Lama tak dijawab. Mungkin acara Ayah sedang padat. Barulah beberapa jam kemudian Ayah membalas SMS.
            “Sabtu malam, Di. Memang kenapa?”
            “Ingin cepet ketemu Ayah. Ingin segera merasakan masakan Ayah. Masakan Ibu ngak enak. Ayah tau kan, Ibu tak pandai memasak. Tiap hari masakannya hanya telur atau nasi goreng.” SMS berisi curhat pun segera terkirim.
            “Iya, nanti Ayah buatkan sesuatu yang spesial buat Adi.“ Ayah  mengakhiri SMSnya.
*
            Sabtu malam. Adi menunggu kedatangan Ayah. Berulangkali melirik jam yang nemplok di depan meja belajar. Jam 10 lewat. Ingin sekali Adi menunggu Ayah. Tapi kantuk datang tak tertahankan. Akhirnya tertidur pulas.
            “Ayo, Di, bangun. Ayah buatkan sesuatu untuk Adi.” Suara  yang dirindu Adi terdengar.
            “Waw, Ayah pulang. Hore!” Adi bersorak girang.
            “Ayo cepat mandi dahulu.”
            “Iya... iya.... pasti.” Tanpa diperintah dua kali Adi langsung pergi ke kamar mandi.
*
            “Ke mana kita, Yah?”
            “Jalan Braga. Ada pameran buku. Sekalian ngantar Ibu.” Kata Ayah. Pandangannya lurus  ke depan. Kosentrasi  menyetir mobil.
            “Pasti deh, Ibu memborong buku lagi.”
            Ibu dan Ayah hanya tersenyum.
            “Ibu masuk dulu, ya. Sudah ditunggu panitia.” Ibu keluar dari mobil. Ketika sampai di tujuan.
            “Ya. Nanti Ayah menyusul. ‘
            Beberapa saat Adi dan Ayah bekeliling. Melihat lihat buku yang banyak dijual. Adi pun ngiler melihat buku yang sangat banyak dengan harga yang murah. Beberapa buku pun akhirnya dibelikan Ayah.
            “Ayo, kita ke dalam sebentar saja.’
            “Ya.” Jawab Adi pendek. Matanya tetap berkeliling melihat buku yang berderet.
            “Baiklah hadirin yang terhormat, kita saksikan acara selanjutnya. Ikatlah Ilmu dengan Tulisan. Yang akan disampaikan oleh Ibu Widiati Asmaningrum.”
            “Widiati?  Ibu, ya?” Adi melirik ke arah Ayah.
            “Iya. Ayo lihat.” Ayah mencari kursi yang kosong.
            Adi melihat acara yang disajikan Ibu mulai awal dari akhir. Penonton mengikuti acara dengan antusias diskusi tentang kepenulisan. Adi tahu ibunya memang penulis. Sudah menerbitkan puluhan buku. Tapi baru kali ini Adi melihat langsung kegiatan yang dilakukan Ibu. Betapa kagumnya orang-orang pada Ibu. Coba saja, di sesi akhir ibunya masih saja diburu. Bahkan ada yang meminta tanda tangan.
            “Ibu benar-benar hebat.” Batin Adi.
            “Kenapa?” Ayah melihat Adi yang tak berkedip melihat acara.
            “Ternyata Ibu hebat sekali. Adi selama ini telah hilap. Selalu melihat ibu dari kekurangan. Makasih Ayah sudah membawa Adi ke sini. Mulai sekarang Adi akan berubah.” Adi menunduk. “Bu, maafkan Adi, yah.” Kata Adi ketika bertemu Ibu.
            “Maaf?” kening Ibu berkerut.
            “Kini, Adi mengerti bahwa manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan. Adi bangga sama Ibu. Ayah memang jago memasak tapi tak pandai menulis. Dan Ibu sangat jago menulis.”
            “Perbedaan itu indah, Di.” Ayah mengelus kepala Adi. Rupanya Ayah sengaja mengajak Adi ke sini agar sikap Adi  berubah.***
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar