Mengetuk Pintu Langit
Oleh Nina Rahayu Nadea
Matahari
menyengat. Panas memanggang tubuhku. Dan aku terus berjalan tanpa arah. Terbayang Ema yang kerja banting tulang.
Mengingatnya, batinku begitu perih, aku ingin Ema hidup bahagia. Entah berapa
kali aku harus seperti ini. Mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Pekerjaan yang
menurut orang lain begitu hina. Lantas, apakah aku akan mundur hanya karena
mendengar hinaan orang? Tidak. Aku begitu menyayangi Ema. Aku akan terus
berusaha mencari sesuatu. Kebahagiaan yang harus Ema dapatkan juga aku.
Kendati
caci yang kerap kudapat. Namun aku tak goyah. Terus melakukannya. Tak
kuindahkan, meski Ema melarangku. Karena suatu harapan-kebahagiaan segera
kuraih bersama orang yang begitu kucintai. Kebahagiaan bersama seseorang
bernama Bapak.
Bukankah ia
pernah berkata. Bahwa keinginan untuk menyatukan keluarga perlu perjuangan
karena harus ada penopang. Harus ada
rumah yang akan meneduhkan dari panas dan dari hujan. Hingga sebuah keluarga
akan utuh terasa.
Bapak.
Satu kata yang selalu terpatri. Aku ingin Bapak senang, aku ingin Bapak bangga
padaku. Hingga suatu saat ia akan menyatukan keluarga. Mengajak Ema dalam
kabahagiaan. Pulang ke tempat yang baru
dimana pengharapan besar yang sudah diuntai
akan menjadi milik kita bersama.
Berulang
kali Ema mencegah keinginanku. Namun aku tak peduli. Tangis Ema yang menjadi
pun tak kuindahkan. Ema menghiba padaku agar tak melakukan perbuatan terkutuk
itu. Ema lebih menginginkan aku berada di rumah. Menunggu Ema pulang dengan
makanan seadanya yang Ema bawa sebagai upah buruh nyuci. Itu sudah cukup. Bagi Ema
kebahagiaan itu adalah berdua. Aku dan Ema tetap bersama.
Tapi
maaf, Ema. Aku menginginkan yang lain. Aku ingin keluarga yang sempurna.
Seorang laki laki yang dipanggil Bapak seperti yang lainnya. Aku tak mau dicap
orang lain sebagai anak tak berbapak. Sungguh itu tak lesap dan batinku begitu
terguncang. Bukan aku tak bahagia hidup bersama Ema. Karena sudah aku rasakan
kasih Ema dari aku bayi hingga kini begitu besar. Namun aku ingin ada senyum Ema
yang lain. Senyum karena di samping Ema ada Bapak. Aku tahu, Ema belum terbiasa
dengan kehadiran Bapak. Namun apakah Ema tahu bahwa aku ingin merasakan
kehadiran Bapak di tengah tengah kita. Kita bertiga, Ma. Bukan hanya kita- aku
dan Ema saja.
“Badrun,
anakku. Tidak cukupkah kasih sayang Ema selama ini?” Ema menatapku, ketika aku
berkemas menjalankan rutinitas seperti yang Bapak inginkan.
“Aku
sangat sayang Ema. Sayang sekali. Tapi aku pun sayang Bapak, Ma. Aku sayang Ema
juga sayang Bapak. Sayang kalian.” Aku tersenyum. Mengambil mangkuk pemberian Bapak.
“Ema
mengerti. Namun. Ema tak mau kau menjadi seperti ini. Meminta minta. Apakah kau
yakin. Kebahagiaan nanti kau miliki, Nak?”
“Aku
yajin, Ma. Kebahagiaan akan menjadi milikku. Juga milik Ema. Milik kita, Ma.”
Aku bersemangat. Membuka pintu dan melangkah ke luar rumah.
“Ya.
Terserahmu lah. Jagalah diri baik-baik.” Ema menatapku. Setelah menghapus air
mata yang jatuh. Aku tahu Ema cemas. Karena ini kegiatan yang tidak biasa. Ema
sangat membenci orang yang melakukan kegiatan sepertiku. Meminta minta. Sekedar mengetuk hati mereka
agar memberikan belas kasihnya untukku. Memberika beberapa receh uang ke dalam
mangkuk yang kuulurkan. Ada harapan yang lebih besar dari itu selain meraup
uang. Aku ingin Bapak menyayangiku. Berharap pintu langit kan terbuka.
Mendengarkan doaku. Dan kemudian Bapak akan memberikan perhatiannya untukku.
Dan ini semu kulakukan demimu. Bapak.
Bapak
Seorang laki laki yang tinggal di tempat kumuh. Namun diantara bangunan kumuh
lain, bangunan rumah bapak terlihat kokoh. Menurut tetanggaku, Bapak
meninggalkanku sejak aku bayi. Ia lebih suka melakukan pekerjaan hina ini.
Meninggalkan Ema yang tak mau mengikuti jejak Bapak-menjadi pengemis. Kubayangkan
Bapak akan menderita dengan hidupnya. Namun sama sekali tidak. Bahkan Bapak
dianggap raja oleh para pengikutnya. Karena berkat Bapak mereka hidup. Bapak mengatur semuanya. Agar
anak-anak bekerja. Kata Bapak uang itu akan digunakan untuk membeli rumah.
Hingga suatu hari mereka akan terbebas dari tempat kumuh ini. Menempati tempat baru bernama rumah idaman.
Itu
janji Bapak. Ketika aku datang memintanya untuk pulang. Dapat hidup bersama.
Kedatangannku diterima olehnya dengan
lapang dan bahagia.
“Kemarilah,
Nak. Bahagia pada akhirnya kau mau datang ke sini.”
“Iya,
Pak. Aku datang agar Bapak cepat pulang.”
“Pulang?”
Laki laki yang kusebut Bapak mengernyitkan kening.
“Iya.
Kembali berkumpul dengan aku dan Ema.”
“Oooh...
Bapak mengerti. Tapi banyak keinginan yang harus dilakukan untuk menuju ke arah
sana.” Bapak berkata bijak.
“Maksud
Bapak...”
“Begini...
begini.” Ia membetulkan letak duduknya. “Aku tak mau kau juga emamu terlantar.
Aku mau ketika kita berkumpul, kita sudah punya banyak uang. Punya rumah. Agar
tak ada lagi yang mengusik kita.”
“Aku
pun menginginkannya, Pak. Aku ingin kita hidup bersama dengan tenang.”
“Kelas
berapa kau? Hem aku sampai lupa...” ia menepuk jidatnya sendiri.
“Kelas
4.”
“Mau
kau meluluskan keinginan Bapak. Membantu Bapak? Agar harapan kita cepat
terwujud?”
“Jika
aku bisa. Aku akan melakukanya, Pak.” Secercah harapan hadir di benakku.
“Maukah
kau mengamen. Seperti anak anak yang berkumpul di sini?”
“Mengamen?
Tapi, Pak.”
“Bapak
tau. Pasti kamu keberatan karena mengemis itu pekerjaan hina. Coba kau lihat
anak seusiamu yang sekarang sedang tidur.” Bapak menunjuk ke depan dengan jarinya,
ke arah di mana anak tidur bergelimpangan.
Anak rata rata seusiaku. Mereka tidur lelap.
“Mereka
menikmatinya. Bisa tidur pulas. Walau tanpa orang tua. Mereka datang ke sini
dengan suka cita. Berbeda denganmu yang mempunyai keluarga. Sayang kalau kau
tidak berbakti padaku.”
“Ema
pasti tak mengijinkamku, Pak.” Aku tertunduk.
“Jangan
kau tergantung pada Ema. Itu harus menurutmu. Ingat kalau kau sayang Bapak.
Harus kau lakukan.”
“Baiklah
Pak. Akan aku lakukan. Tapi aku minta ijin satu hal.”
“Apa?”
“Aku
melakukannya usai pulag sekolah. Aku ingin sekolah.”
“Ya...
ya itu lebih baik. Daripada tidak sama sekali.“ Bapak mengusap kepalaku. Dan
itu sungguh membuatku bahagia. Itu kali
pertama Bapak memperlakukanku dengan lembut.
Semenjak
itu. Aku melakukan apa yang diperintah Bapak. Mengamen di jalanan. Atau
terkadang aku berjalan dari rumah ke rumah. Mengetuk pintu dengan memberikan mangkuk
ke arah mereka. Berharap selembar uang atau beberapa receh uang masuk ke mangkuk. Aku ingin Bapak bahagia dan
tetap menyayangiku. Karena kalau satu
hari saja tidak dapat uang, Bapak pasti marah. Dan tak segan memukulku. Aku
tahu Bapak memperlakukanku seperti itu karena sayang. Sengaja kasar agar aku
tidak cengeng.
Entah
berapa ratus hari aku besama Bapak. Aku mulai kehilangan kesempatan untuk
bertemu Ema. Bapak melarangku kembali ke
rumah Ema. Aku terkurung dalam aturan Bapak.
“Giat
bekerja. Dan tidak memikirkan Ema. Ingat terus mencari uang, supaya keinginan
kita cepat tercapai. Kalau kau pulang
terus. Berarti kesempatan untuk menjadi kaya hilang.” Itu selalu kata Bapak.
Beberapa
hari ini tidurku tak tenang. Wajah Ema menari nari. Ada sesuatu yang terjadi
dengan Ema, itu firasatku. Maka aku memberanikan diri menghadap Bapak.
“Pak.
Izinkan aku pulang. Sehari saja. Aku ingat terus sama Ema.”
“Ema
lagi... Ema lagi. Kan sudah kuperingati. Jangan kau pikirkan tentang Ema.
Begini ... kamu jadi cengeng.” Bentak Bapak.
“Tapi,
Pak. Aku ingin ketemu Ema.” Tetiba aku terisak.
“Ingat
jangan sekali kali berbicara tentang Ema. Dan jangan harap kau bisa bertemu
dengan perempuan itu!” Ancam Bapak.
Bapak
begitu marah. Hingga aku dikurung dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Badanku
begitu letih.
Ah,
Ema maafkan aku yang tak pernah menurutimu. Wajah Ema kembali datang. Aku menggigil dengan gigi
gemeletuk menahan dingin. Teringat kata-kata Ema. Agar aku tak datang pada laki-laki
yang kusebut Bapak.
“Jangan
kau datangi laki-laki itu, Drun.”
“Tapi...
Ia itu Bapakku, Ma. Aku ingin Bapak pulang.”
“Ema
tahu. Nak. Tapi kiranya doa kita belum didengar. Kita masih harus banyak mengetuk
pintu langit. Agar bapakmu sadar tentang kesalahannya. Suara Ema begitu dekat
di telinga. Sangat dekat.***
Nina
Rahayu Nadéa.
Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan,
Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh,
Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah
Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid
Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka
Tasikmalaya, Majalah Guneman, Sastra
Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo
Semar, Radar Bayuwangi, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar