Kamis, 25 Mei 2017

Mengetuk Pintu Langit

Dimuat di Koran Harian Cianjur, 28 April 2017. Alhamdulillah



Mengetuk Pintu Langit
Oleh Nina Rahayu Nadea
                Matahari menyengat. Panas memanggang tubuhku. Dan aku terus berjalan tanpa arah.  Terbayang Ema yang kerja banting tulang. Mengingatnya, batinku begitu perih, aku ingin Ema hidup bahagia. Entah berapa kali aku harus seperti ini. Mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Pekerjaan yang menurut orang lain begitu hina. Lantas, apakah aku akan mundur hanya karena mendengar hinaan orang? Tidak. Aku begitu menyayangi Ema. Aku akan terus berusaha mencari sesuatu. Kebahagiaan yang harus Ema dapatkan juga aku.
                Kendati caci yang kerap kudapat. Namun aku tak goyah. Terus melakukannya. Tak kuindahkan, meski Ema melarangku. Karena suatu harapan-kebahagiaan segera kuraih bersama orang yang begitu kucintai. Kebahagiaan bersama seseorang bernama Bapak.
Bukankah ia pernah berkata. Bahwa keinginan untuk menyatukan keluarga perlu perjuangan karena  harus ada penopang. Harus ada rumah yang akan meneduhkan dari panas dan dari hujan. Hingga sebuah keluarga akan utuh terasa.
                Bapak. Satu kata yang selalu terpatri. Aku ingin Bapak senang, aku ingin Bapak bangga padaku. Hingga suatu saat ia akan menyatukan keluarga. Mengajak Ema dalam kabahagiaan.   Pulang ke tempat yang baru dimana pengharapan besar yang sudah  diuntai akan menjadi milik kita bersama.
                Berulang kali Ema mencegah keinginanku. Namun aku tak peduli. Tangis Ema yang menjadi pun tak kuindahkan. Ema menghiba padaku agar tak melakukan perbuatan terkutuk itu. Ema lebih menginginkan aku berada di rumah. Menunggu Ema pulang dengan makanan seadanya yang Ema bawa sebagai upah buruh nyuci. Itu sudah cukup. Bagi Ema kebahagiaan itu adalah berdua. Aku dan Ema tetap bersama.
                Tapi maaf, Ema. Aku menginginkan yang lain. Aku ingin keluarga yang sempurna. Seorang laki laki yang dipanggil Bapak seperti yang lainnya. Aku tak mau dicap orang lain sebagai anak tak berbapak. Sungguh itu tak lesap dan batinku begitu terguncang. Bukan aku tak bahagia hidup bersama Ema. Karena sudah aku rasakan kasih Ema dari aku bayi hingga kini begitu besar. Namun aku ingin ada senyum Ema yang lain. Senyum karena di samping Ema ada Bapak. Aku tahu, Ema belum terbiasa dengan kehadiran Bapak. Namun apakah Ema tahu bahwa aku ingin merasakan kehadiran Bapak di tengah tengah kita. Kita bertiga, Ma. Bukan hanya kita- aku dan Ema saja.
                “Badrun, anakku. Tidak cukupkah kasih sayang Ema selama ini?” Ema menatapku, ketika aku berkemas menjalankan rutinitas seperti yang Bapak inginkan.
                “Aku sangat sayang Ema. Sayang sekali. Tapi aku pun sayang Bapak, Ma. Aku sayang Ema juga sayang Bapak. Sayang kalian.” Aku tersenyum. Mengambil mangkuk   pemberian Bapak.
                “Ema mengerti. Namun. Ema tak mau kau menjadi seperti ini. Meminta minta. Apakah kau yakin. Kebahagiaan nanti kau miliki, Nak?”
                “Aku yajin, Ma. Kebahagiaan akan menjadi milikku. Juga milik Ema. Milik kita, Ma.” Aku bersemangat. Membuka pintu dan melangkah ke luar rumah.
                “Ya. Terserahmu lah. Jagalah diri baik-baik.” Ema menatapku. Setelah menghapus air mata yang jatuh. Aku tahu Ema cemas. Karena ini kegiatan yang tidak biasa. Ema sangat membenci orang yang melakukan kegiatan sepertiku.   Meminta minta. Sekedar mengetuk hati mereka agar memberikan belas kasihnya untukku. Memberika beberapa receh uang ke dalam mangkuk yang kuulurkan. Ada harapan yang lebih besar dari itu selain meraup uang. Aku ingin Bapak menyayangiku. Berharap pintu langit kan terbuka. Mendengarkan doaku. Dan kemudian Bapak akan memberikan perhatiannya untukku. Dan ini semu kulakukan demimu. Bapak.
                Bapak Seorang laki laki yang tinggal di tempat kumuh. Namun diantara bangunan kumuh lain, bangunan rumah bapak terlihat kokoh. Menurut tetanggaku, Bapak meninggalkanku sejak aku bayi. Ia lebih suka melakukan pekerjaan hina ini. Meninggalkan Ema yang tak mau mengikuti jejak Bapak-menjadi pengemis. Kubayangkan Bapak akan menderita dengan hidupnya. Namun sama sekali tidak. Bahkan Bapak dianggap raja oleh para pengikutnya. Karena berkat Bapak  mereka hidup. Bapak mengatur semuanya. Agar anak-anak bekerja. Kata Bapak uang itu akan digunakan untuk membeli rumah. Hingga suatu hari mereka akan terbebas dari tempat kumuh ini. Menempati  tempat baru bernama rumah idaman.
                Itu janji Bapak. Ketika aku datang memintanya untuk pulang. Dapat hidup bersama. Kedatangannku diterima  olehnya dengan lapang dan bahagia.
                “Kemarilah, Nak. Bahagia pada akhirnya kau mau datang ke sini.”
                “Iya, Pak. Aku datang agar Bapak cepat pulang.”
                “Pulang?” Laki laki yang kusebut Bapak mengernyitkan kening.
                “Iya. Kembali berkumpul dengan aku dan Ema.”
                “Oooh... Bapak mengerti. Tapi banyak keinginan yang harus dilakukan untuk menuju ke arah sana.” Bapak berkata bijak.
                “Maksud Bapak...”
                “Begini... begini.” Ia membetulkan letak duduknya. “Aku tak mau kau juga emamu terlantar. Aku mau ketika kita berkumpul, kita sudah punya banyak uang. Punya rumah. Agar tak ada lagi yang mengusik kita.”
                “Aku pun menginginkannya, Pak. Aku ingin kita hidup bersama dengan tenang.”
                “Kelas berapa kau? Hem aku sampai lupa...” ia menepuk jidatnya sendiri.
                “Kelas 4.”
                “Mau kau meluluskan keinginan Bapak. Membantu Bapak? Agar harapan kita cepat terwujud?”
                “Jika aku bisa. Aku akan melakukanya, Pak.” Secercah harapan hadir di benakku.
                “Maukah kau mengamen. Seperti anak anak yang berkumpul di sini?”
                “Mengamen? Tapi, Pak.”
                “Bapak tau. Pasti kamu keberatan karena mengemis itu pekerjaan hina. Coba kau lihat anak seusiamu yang sekarang sedang tidur.” Bapak menunjuk ke depan dengan jarinya, ke arah di mana anak  tidur bergelimpangan. Anak rata rata seusiaku. Mereka tidur lelap.
                “Mereka menikmatinya. Bisa tidur pulas. Walau tanpa orang tua. Mereka datang ke sini dengan suka cita. Berbeda denganmu yang mempunyai keluarga. Sayang kalau kau tidak berbakti padaku.”
                “Ema pasti tak mengijinkamku, Pak.” Aku tertunduk.
                “Jangan kau tergantung pada Ema. Itu harus menurutmu. Ingat kalau kau sayang Bapak. Harus kau lakukan.”
                “Baiklah Pak. Akan aku lakukan. Tapi aku minta ijin satu hal.”
                “Apa?”
                “Aku melakukannya usai pulag sekolah. Aku ingin sekolah.”
                “Ya... ya itu lebih baik. Daripada tidak sama sekali.“ Bapak mengusap kepalaku. Dan itu sungguh membuatku  bahagia. Itu kali pertama Bapak memperlakukanku dengan lembut.
                Semenjak itu. Aku melakukan apa yang diperintah Bapak. Mengamen di jalanan. Atau terkadang aku berjalan dari rumah ke rumah. Mengetuk pintu dengan memberikan mangkuk ke arah mereka. Berharap selembar uang atau beberapa receh uang  masuk ke mangkuk. Aku ingin Bapak bahagia dan tetap menyayangiku.  Karena kalau satu hari saja tidak dapat uang, Bapak pasti marah. Dan tak segan memukulku. Aku tahu Bapak memperlakukanku seperti itu karena sayang. Sengaja kasar agar aku tidak cengeng.
                Entah berapa ratus hari aku besama Bapak. Aku mulai kehilangan kesempatan untuk bertemu Ema. Bapak melarangku  kembali ke rumah Ema. Aku terkurung dalam aturan Bapak.
                “Giat bekerja. Dan tidak memikirkan Ema. Ingat terus mencari uang, supaya keinginan kita  cepat tercapai. Kalau kau pulang terus. Berarti kesempatan untuk menjadi kaya hilang.” Itu selalu kata Bapak.
                Beberapa hari ini tidurku tak tenang. Wajah Ema menari nari. Ada sesuatu yang terjadi dengan Ema, itu firasatku. Maka aku memberanikan diri menghadap Bapak.
                “Pak. Izinkan aku pulang. Sehari saja. Aku ingat terus sama Ema.”
                “Ema lagi... Ema lagi. Kan sudah kuperingati. Jangan kau pikirkan tentang Ema. Begini ... kamu jadi cengeng.” Bentak Bapak.
                “Tapi, Pak. Aku ingin ketemu Ema.” Tetiba aku terisak.
                “Ingat jangan sekali kali berbicara tentang Ema. Dan jangan harap kau bisa bertemu dengan perempuan itu!” Ancam Bapak.
                Bapak begitu marah. Hingga aku dikurung dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Badanku begitu letih.
                Ah, Ema maafkan aku yang tak pernah menurutimu. Wajah  Ema kembali datang. Aku menggigil dengan gigi gemeletuk menahan dingin. Teringat kata-kata Ema. Agar aku tak datang pada laki-laki yang kusebut Bapak.
                “Jangan kau datangi laki-laki itu, Drun.”
                “Tapi... Ia itu Bapakku, Ma. Aku ingin Bapak pulang.”
                “Ema tahu. Nak. Tapi kiranya doa kita belum didengar. Kita masih harus banyak mengetuk pintu langit. Agar bapakmu sadar tentang kesalahannya. Suara Ema begitu dekat di telinga. Sangat dekat.***

Nina Rahayu Nadéa. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Bayuwangi, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar