Perkalian
Oleh
Nina Rahayu Nadea
“Delapan
kali sembilan?”
“Eu....
63, Bu.”
“Tuh salah lagi.” Ibu menghela nafas. “Radit
delapan kali sembilan itu 72. Masa belum hapal juga. Uang jajannya ibu potong
500 rupiah. Besok tidak boleh salah lagi.” Ibu memberikan uang pada Radit.
“Ah.
Ibu dipotong terus.” Radit bersungut.
“Makanya
belajar. Ayo nanti kesiangan sekolahnya.” Ibu mengelus rambut Radit.
Itulah
kebiasaan Ibu setiap hari. Sebelum Radit berangkat sekolah. Ibu menguji Radit
dengan perkalian. Beruntung kalau Radit bisa menjawab pertanyaan. Uang jajan
penuh, tapi kalau salah? Ibu tak segan memotong
uang jajan.
Radit
malas sebenarnya mengikuti perintah Ibu untuk belajar. Tapi Radit kemudian
memaksakan diri untuk menghapal perkalian. Bukan karena kata Ibu perkalian
adalah dasar untuk Matematika selanjutnya. Radit tidak pernah memikirkan itu.
Yang Radit pikirkan sebenarnya adalah uang jajan. Ya, Radit tidak mau uang jajannya
berkurang.
Dan
kini? Radit sudah terbiasa menghadapi rutinitas setiap pagi. Menghadapi Ibu
untuk bertanya. Walau tetap saja dada Radit selalu dagdigdug. Karena takut uang
jajannya berkurang.
*
Bel
berbunyi di sekolah. Dan seperti biasa anak-anak berbaris di depan kelas. Lho,
koq barisannya lemot gini, tidak maju-maju, batin Radit
“Cepet
maju dong,” bisik Radit pada Yanwar yang berada di depannya.
“Diem
dulu. Macet dari depan. Tau ada apa nih.” Yanwar memanjangkan lehernya, melihat
ke arah depan.
“Koq,
kamu ngak masuk ke kelas. Malah balik ke sini?” Radit bertanya pada Yandi.
“Pak
guru menguji tes perkalian. Aku ngak hapal. Suruh menghapal dulu.” Jawab Yandi sambil
menggerakkan jarinya. Mulutnya komat kamit, menghapal perkalian.
“Haduh
ditest perkalian. Aku ngak hapal.” Sontak anak-anak riuh. Baru tahu, Pak guru
ternyata memberi tes dadakan. Di saat masuk kelas pula. Kalau belum hapal. Pak
guru akan membiarkan mereka di luar.
Radit
pun gugup. Menunggu gilirannya.
“Tujuh
kali tujuh?”
Bayangan
Ibu tiba-tiba berkelebat. Pertanyaan itu sama persis dengan pertanyaan Ibu tadi
pagi.
“49.”
Jawab Radit mantap.
“Hebat,
ayo masuk.”
Radit
pun lega.
Mulai
hari itu Pak guru terus menerus menguji anak dengan perkalian. Anak-anak pun
semakin giat menghapal. Dalam satu minggu mengikuti tes perkalian, hanya Radit
yang belum pernah dikeluarkan Pak guru.
“Kamu
hebat, Dit. Dapat menjawab terus pertanyaan Bapak dengan tepat.” Pak guru
menepuk pundak. “Di rumah sering berlatih yah?”
Radit
mengangguk
“Di
rumah kamu belajar sama siapa?”
“Sama
Ibu. Pertanyaan dari Bapak selalu sama dengan pertanyaan Ibu.”
”Coba
anak-anak, kalian harus lebih giat menghapal perkalian. Lihat Radit. Selama
satu minggu ini, dia terus menerus menjawab pertanyaan dengan tepat. Yang
lainnya masih ada yang salah.”
“Radit
hebat, hapal terus perkalian.”
“Nih,
Radit hadiah dari Bapak. Tiga buku tulis.”
“Makasih,
Pak.” Radit bahagia menerima buku dari Pak
guru.
Anak-anak
pun bergerombol mengerumuni Radit.
“Bukunya
keren!”
“Dit,
kamu hebat hapal terus perkalian. Gimana caranya.” Yaswin mendekat.
“Setiap
pagi mau berangkat ke sekolah. Aku selalu dites Ibu. Kalau jawabanku salah ibu
akan memotong uang jajanku.”
“Dipotong?”anak-anak
heran.
“Pernah
dipotong?” Heni ikutan bertanya.
“Dulu
sering sih. Tapi kalau sekarang tidak lagi. Uang jajanku bisa utuh,” Radit
berkata dengan bangga.
*
“Bu,
makasih telah mengajari Radit ya.” Kata Radit ketika di rumah.
“Terima
kasih untuk apa, Dit? Tumben nih jagoan Ibu datang dengan senyum mengembang?”
“Radit
lagi bahagia, Bu.” Radit mengeluarkan buku dari dalam tasnya. “Nih lihat. Bagus kan?” Radit memamerkan buku.
“Bagus
sekali. Kamu dapat dari mana?”
“Hadiah
dari Pak guru. Karena Radit menjawab tepat perkalian.”
“Betul
kan kata Ibu? Menghapal perkalian itu sangat bergguna.”
“Berarti
besok sudah tidak dites lagi kan, Bu? Kan Radit sudah bisa.”
Ibu
menggeleng.”Tetap dites dong. Kan ada pembagian."
“Ah,
Ibu.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar