Kamis, 25 Mei 2017

Penyesalan Rara


Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat. Alhamdulillah :)
Penyesalan Rara
Oleh Nina Rahayu Nadea
                Rara sudah duduk di   kelas lima. Pintar dan senang bergaul. Sayang, Rara mempunyai sifat lain yang kurang disukai teman-temannya. Senang pamer. Ingin dilihat sempurna di mata teman-temannya.
                Ketika di sekolahnya sedang trend HP yang canggih. Yang banyak aplikasi gamenya maka ia pun tak ketinggalan untuk membelinya. Tak mau ketinggalan dengan yang lain.  Berulang kali merengek sama orang tua untuk dibelikan.
                “Boleh, tapi harus dari tabunganmu. Mama hanya menambah saja.” Ujar Mama Rara.
Sejak Rara kecil, memang orangtuanya membiasakan menabung.  Tak bisa berkelit, demi keinginannya itu Rara semakin giat menabung dan ketika jumlahnya sudah cukup, ia pun segera memberitahukan orangtuanya.
                Suatu hari di Hari Minggu Rara sudah berkemas. Berdandan cantik karena akan ke counter HP di sebuah mall.
                “Rara!” Tiba-tiba dari jalan terdengar teriakan. Dilihatnya Agnes anak Pamannya baru turun dari mobil.
                “Hai Agnes. Tumben pagi-pagi? Ada apa gerangan?”
                “Sengaja mau ngajakin kamu. Kamu mau ke mana, koq,  sudah rapi begitu?”
                “Mau beli HP.”
                “Beneran? Sama dong. Aku juga mau beli HP. Kita barengan, yu.”
                Maka pada akhirnya mereka pun berangkat bersama. Diantar Papa Agnes. Rara bahagia karena mau memiliki HP impian. Pun Agnes bahagia karena mempunyai teman berdiskusi perihal HP. Agnes tahu selera Rara yang selalu ingin nomor satu. Pilihan Rara pasti bagus itu menurut Agnes.
                Lama mereka memilih pada akhirnya sepakat untuk membeli HP dengan merk yang sama. Rara sebenarnya tidak terlalu suka dengan Agnes yang ingin membeli barang yang sama. Warna yang sama pula. Putih. Namun tak enak juga apalagi membeli dibarengi pamannya.
                “Beruntung. Agnes tidak satu sekolahan. Jadi HPku masih tetap nomor satu di mata teman –teman.” Gerutu Rara dalam hati.
                Setelah berhasil membeli HP Rara dan Agnes kembali ke rumah. Agnes  meminta izin untuk menginap satu malan di rumah Rara. Belajar menyalakan beragam aplikasi dari HP. Tentu karena Rara yang akan mengajarinya. Semalaman mereka asik mengobrol. Bercerita beragam hal.  Dari mulai sekolahan sampai pada HP barunya.
Pagi itu Agnes sudah berkemas. Ibu Rara menyiapkan sarapan pagi. Dan Rara masih asyik dengan HP barunya. Barulah setelah puas ia ke bawah berkumpul ke ruang makan. Sekonyong konyong langkah Rara terhenti ketika melihat sesuatu di atas meja tamu.  Earphone yang masih bersegel.  Rara tersenyum melihat ke earphone yang tengah dipakainya. Sudah tak bersegel. Semalam ia terburu ingin segera mencobanya, hingga tak sadar plastiknya terlepas. Padahal ia ingin memamerkan pada teman-temannya. Ingin dilihat baru. Teringat hal itu, Rara segera menukar earphone miliknya dengan milik Agnes. Agnes pasti takan tahu. Karena warnanya sama persis.  Ia tahu Agnes tak sedetail dia dalam memerhatikan barang.                
Pagi itu di meja makan. Ada banyak cerita yang meluncur dari mulut agnes. Agnes memang  periang dan selalu berguyon. Tak heran jika di pagi itu. Di rumah Rara dipenuhi dengan tawa. Hingga tibalah kepulangan Agnes. Setelah Papa Agnes menjemput. Semua menghantar keperegian sampai ke luar rumah.
                “Nanti kabar kabari yah... kalau dah di rumah. Jangan lupa kalau punya game yang baru kirimin ke aku.”
                “Pasti. Kita kan dah punya HP baru. Lebih canggih. Banyak aplikasiya lagi. Pasti gamenya juga lebih rame.” Agnes tertawa. Mengambil earphone dan memakainya.
                “Makasih ya, Rara. Sudah mengantar Agnes.” Papa Agnes berkata.
                Agnes mengangguk
                “Papa... earphonenya dah bagus, Pah. Suaranya sudah kedengaran jernih.” Agnes tertawa riang.
                “Memangnya earphone kamu kenapa?” Selidik Rara.
                “Semalan kan kucoba earphonenya. Ternyata suaranya tak jernih. Berisik kedengarannya. Rencanaya. Sebelum aku pulang, akan mampir di counter  yang kemarin kita datangi. Tapi ternyata ngak jadi. Earphone dah bagus.”
                “Koq, kamu ngak ngasih tahu aku?” .
                “Habisnya kamu asik dengan earphonnenya sih, aku manggil manggil. Malah diacuhkan.”
Mendengarnya Rara kecewa. Itu akibat ulahnya. Ingin memiliki barang yang bagus. Namun alhasil ia menerima barang yang tidak sempurna.  Rara menyesal. Namun nasi sudah menjadi bubur.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar