Langit
Menangis
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Tidittttt....
Sengaja kupijit klakson motorku ketika kulihat
Nita dengan terburu menuju kelas.
“Aw
berisik tau...!” Nita mendengus.
Aku
hanya tersenyum dan segera membuka helm.
“Hey
Bambang, keren,
motor baru nih?” Tanyanya sumringah ketika tahu aku yang membawa motor.
“Iya
dong.”
“Asyik
bisa nebeng nih.”
Seketika
lapangan yang kujadikan tempat parkir motor menjadi ramai. Kulihat wajah-wajah yang
tak asing lagi. Robi, Amran dan beberapa cewek
berada di sampingku sambil mengelilingi motorku.
“Akhirnya,
ibumu membelikan juga.” Robi berkata.
“Ayahmu
setuju, Bang?” Amran menimpali.
“Dengan
perjuangan besar,
akhirnya mereka memberikan
motor padaku… ha... ha....”
“Wah
dasar kamu, ada-ada saja ngakalin orang tua.” Mereka cengengesan mendengar akalku dalam
merayu orang tua untuk membelikan motor.
Hari
ini aku benar-benar merasa seperti arjuna. Apalagi di hadapan cewek. Mereka
yang biasanya acuh, kini rasa-rasanya mulai lengket, kaya permen karet. Nita
yang terkenal judes, kini kelihatan ngedeketin aku. Atau kulihat juga Rani yang
dari tadi senyum saja ke arahku. Gini
deh kalau di sekolah menjadi orang top. Pasti diperhatikan orang terus. Duh
geer nih.
Suasana kelas hari ini kurasakan berbeda.
Mungkin karena hatiku yang sedang
dilanda bahagia. Sehingga aku bisa menikmati pelajaran yang aku ikuti. Padahal biasanya
tidak. Aku teringat dengan janjiku pada Ibu, bahwa akan belajar giat
kalau mempunyai motor. Akan aku buktikan itu, Bu, bisikku dalam hati.
Tak
terasa bel berbunyi. Segera kukemasi buku dan siap meloncat menuju motor baru.
Di
tempat parkir telah menunggu Amran dan Robi.
“Hayu
mau ikut?” Robi bertanya.
“Ke mana?”
“Balapan
motor, sekalian ngetes motor barumu!”
“Ngak
ah malas, ibuku menungguku!”
“Duh
anak Mami.” Ledek Amran.
“Di mana?”
“Dekat
daerah Tarogong. Ayo gabunglah!
dijamin asyik.”
Sebenarnya
aku malas mengikuti ajakan Amran dan Robi, tapi mereka memaksa. Karena solidaritas,
akhirnya aku turut dengan mereka. Segera tiga buah motor melaju menuju daerah
Tarogong, tepatnya di sebuah lapangan yang besar. Ternyata di sana telah
berkumpul para pengguna motor.
“Kenalin
nih anak baru,” Amran mengenalkanku pada teman-teman yang ada di sana.
Aku
segera berbaur dengan mereka. Rasa riskan dan takut pertama kali bertemu
mereka, tidak kurasakan. Ternyata mereka begitu ramah dan terkesan friendly. Sehingga kali pertama di sini,
aku sudah merasa betah. Tadinya aku hanya akan sebentar berada di lapangan ini.
Aku ingat ibuku yang sudah wanti-wanti padaku agar tidak menghamburkan waktu untuk hal yang negatif.
Tapi hatiku panas,
ketika dalam satu kali putaran aku kalah dan mereka mengolokku.
“Wah
anak baru nih ngak becus kerja…!”
“Ayo
dong, Bang, masa motor baru sudah
kalah sama motor tua punyaku.”
Akhirnya
aku pun
memulai balapan bersama
mereka dengan segenap kemampuan.
Sampai akhirnya aku menang. Sampai aku merasa puas karena akhirnya mereka
memuji kemampuanku.
“Nah
gitu dong…ternyata kamu hebat juga, coy!” Seru
Alex.
*
Mempunyai
motor, membuatku mempunyai banyak teman. Terutama di tempat balapan itu. Dan
aku mulai menikmatinya. Tak pernah aku menduga dari awal, inilah kehidupanku mulai
berubah. Aku mulai merasakan indahnya hidup di jalanan. Keinginanku untuk
menjadi seorang Marco Simoncelli, idolaku kini menjadi
kenyataan.
Agar
aku tidak terlambat pulang ke rumah. Demi memuaskan nafsuku kini aku mulai bolos sekolah. Sekali, dua
kali tidak ketahuan oleh orang tuaku. Hingga akhirnya aku lebih menikmati hidup
di jalanan sebagai pembalab, ketimbang belajar. Ibu tak pernah tahu itu. Karena aku pulang
dengan tepat waktu.
Hingga
akhirnya semua terkuak.
Ibu menangis dan Ayah
marah besar, ketika ada surat panggilan dari sekolah yang isinya menyatakan aku
sudah lama membolos.
Dan aku hanya diam seribu basa.
“Ke mana saja kau selama ini,
Nak?”
“Dasar
anak tak tahu diuntung! sudah dibelikan motor malahan main seenaknya, mana
tanggung jawabmu?” Plak
tamparan Ayah
mendarat di pipiku.
“Sudah! jangan kau perlakukan dia
seperti itu!” Ibu
memelukku erat.
“Itulah
kalau kau memanjakan
anakmu itu. Coba mana buktinya?“ Ayah
marah pada Ibu.
Aku tak kuasa melihat
Ibu didamprat habis-habisan. Semua karena ulahku. Ibu
memelukku, dengan berurai air mata.
Aku pun
menangis. Pelukan Ibu membuat kehangatan yang luar biasa dalam
hatiku. Tamparan Ayah
yang panas tak sebanding dengan perasaan sesalku
menyaksikan Ibu
menangis karena tersakiti. Aku berjanji pada Ibu untuk tidak melakukannya
lagi.
Atas
kesalahan yang telah kulakukan. Aku harus menerima
konsekwensinya. Ke sekolah tidak dengan naik motor. Ya, Ayah sangat marah dan menjual motor. Alangkah sedihnya hatiku saat itu. Mengapa Ayah tidak memercayai niatku
untuk berubah. Aku ingin berubah dan membuktikan pada keluarga untuk menjadi
yang terbaik. Tapi semua harapan pupus,
walau aku telah menghiba, memohon pada Ayah
untuk tidak menjual motor tersebut. Ayah
tak bergeming dengan keputusannya. Ia
tetap menjual motor tanpa persetujuanku. Aku kecewa berat.
Yang
paling menyakitkan hatiku di sekolah. Tanpa motor Nita tak mau lagi jalan
bareng denganku. Walau kami sudah jadian. Tega-teganya dia berboncengan dengan si Jimmy hanya karena motor bebek
bututnya. Puih! dasar
perempuan matre. Ada uang Abang
sayang tak ada uang Abang
ditendang.
Untuk
menghindarkan penat dan rasa kecewaku aku tetap menyalurkan hobi membalapku. Aku meminjam dan menyewa motor
kepunyaan teman. Kini masa lalu,
masa bahagia di ajang sirkuit kembali lagi. Kebahagiaanku sebagai petualang
sejati di balapan melekat lagi pada diriku. Dan semua memberikan keasyikan,
memberikan nikmat di hati
yang luar biasa. Kini aku lupakan masa lalu. Aku lupakan tangisan Ibu yang memeluk dan memohon
agar aku kembali ke sekolah. Yang penting saat ini aku menjadi raja. Raja dari
segala nafsu yang telah memberiku cinta yang menghindarkan gundahku.
Suatu
hari seperti biasa aku menyewa motor milik Andre temanku. Saat itu, hujan baru saja reda. Rinai
hujan masih kentara membayang pada langit.
Gruuung…. Gruung….
Motor
melaju dengan kecepatan tinggi. Satu putaran tak terjadi apa-apa. Di putaran
kedua terjadi kejadian yang sungguh di luar kesadaranku. Entah karena tanah
yang licin atau karena motor Andre yang tidak laik jalan. Yang pasti saat itu
ketika motor berada di tikungan dengan kecepatan tinggi, motor terlalu rebah ke
kanan saat menikung dan sialnya
aku tidak bisa mengendalikan sepeda motor. Saking cepatnya motorku saat itu
menghantam lintasan jalan, aku terseret beberapa meter dari motor. Bruk…!
semuanya gelap.
Aku
tersadar ketika rasa sakit di sekujur tubuh menyapaku. Lantunan doa terdengar sayup
di telingaku. Kubuka mata perlahan. Di sana kulihat Ibu berurai air mata dengan
doanya yang terus ia lantunkan. Kutatap wajahnya. Betapa doanya begitu tulus dan mendayu.
Kugerakan bibirku tuk bicara dan mohon maaf pada Ibu, tapi tak mampu....
Rinai
hujan membasahi pekarangan rumahku. Aku menyaksikannya dari jendela kamar. Langit
menangis menyaksikan deritaku. Derita yang telah dibuat atas karma yang aku
lakukan sendiri. Langit menangis kehilangan sang pembalap sejatinya. Sama
halnya denganku yang kehilangan
pembalap sang Marco Simoncelli yang harus
gugur di arena sirkuit. Tapi aku masih beruntung, Tuhan masih memberiku kesempatan tuk
memperbaiki segalanya walau
dengan sebelah kakiku.***
Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:
Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa
Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh,
Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang,
Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar