Minggu, 04 Januari 2015

Kasih Ibu

Dimuat di Koran Merapi, Yogyakarta. 21 Desember 2014. #Selamat Hari Ibu#





Kasih Ibu
Oleh Nina Rahayu Nadea
                “Apa? Mengalami kecelakaan?” tangan Ibu gemetar memegang HP.
                “Ada apa, Bu?”
                “Rin, ayo cepat kita ke rumah sakit. Bapak kecelakaan!” Ibu terburu. Berjalan cepat di depanku.
                Aku pun segera menyusul Ibu, menemui Bapak di rumah sakit. Kulihat Ibu segera menemui Bapak. Semula aku ikut ke dalam ruangan, memerhatikan wajah Bapak yang dipenuhi selang inpusan.
                “Ngak apa-apa, Pak?” tanya Ibu lembut.
                “Bagaimana Nita, apakah dia tidak apa-apa?”
                Ingin sekali muntah mendengar pertanyaan Bapak. Ah, Bapak. Tega-teganya kau bertanya seperti itu. Di saat kami begitu mengkhawatirkanmu. Di saat kami merapal doa, agar tidak terjadi apa-apa denganmu. Dan di saat siuman. Kau menanyakan perempuan genit itu. Memuakan.
                “Sudah jangan bercakap banyak dulu. Istirahatlah.”
                Segera kutinggalkan mereka berdua. Menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan tak menentu.
                “Gimana Rin, bapakmu tidak kenapa-napa?” Bu Yumi tetanggaku bertanya.
                “Alhamdulillah ia sudah siuman, Bu. Sekarang sedang ngobrol dengan Ibu.”
                “Dan Bu Nita, bagaimana?”
                Aku terdiam. Semua orang kini sudah tahu, bahwa Bapakku mengalami kecelakaan dengan perempuan itu. Selingkuhan Bapak.
                “Oh, maaf pertanyaanku. Bukan bermaksud....” Suara Bu Yumi datar. “Dirawat di ruang berapa bapakmu? Aku ke sana dulu sebentar.”
                Bu Yumi menghilang setelah kukatakan dimana ruangan Bapak dirawat.
*

                “Bu, aku berangkat dulu.” Aku mencium tangan Ibu.
                “Ya. Hati-hati. Salam dulu sama Bapakmu.”
                Aku berpura tak mendengar. Kuselendangkan tas yang bersandar di meja makan. Mengambil HP yang tergeletak dan menyimpannya di saku baju.
                “Rin!” Ibu menatap lembut. “Ayolah.”
                Dengan malas kuturuti perintah Ibu. Menemui Bapak yang sedang asik menonton tivi. Membuang sisa-sisa asap rokok yang telah dihisapnya. “Hem dasar malas,” batinku. “Pak, Rini berangkat dulu.”
                “Hem.” Bibir Bapak tetap mengatup.
                Ah, Ibu entah apa yang akan kau pertahankan. Aku saja yang mendengar langsung dari banyak orang tentang kelakuan Bapak. Tentang selingkuhan Bapak. Membuatku tak menyimpan lagi rasa hormat padanya. Sedangkan Ibu? Tak sedikit pun berlaku kasar dan membencinya. Ibu begitu menyayanginya. Pun padaku. Selalu mengajarkan kebaikan dan kepatuhan pada laki-laki itu. Semua kuturuti demi Ibu, walau hati tak mau.
                “Tidak ada apa-apa, Rin. Dia itu teman Ibu sewaktu kecil. Tak mungkinlah seperti itu.” Ibu menarik nafas panjang. ”Lagian Ibu sangat percaya pada Bapak. Dia laki-laki yang setia. Sudah Rin, jangan pernah kau berpikir masalah itu. Nanti kamu keburu tua gara-gara memikirkan masalah yang seharusnya tidak kau pikirkan. Ingat sekolah adalah nomor satu.”
                “Bu, apakah benar Ibu mencintai Bapak?” Tanyaku suatu hari.
                “Mengapa kau tanya itu, Rin.”
                “Habis Ibu seperti tak ada rasa cemburu. Cuek dan selalu mendiamkan Bapak, padahal Ibu tau Bapak  jalan dengan perempuan lain. Aku benci Bapak, Bu.”
                “Hus, tak baik berkata seperti itu. Seorang anak harus selalu menghormati orang tuanya.” Ibu mengusap kepalaku. “Rin, apakah kau mencintai Ibu.”
                “Tentu, Bu.”
                “Hormati dan sayangi Bapakmu. Itu tanda kau mencintai Ibu.”
                Aku mengusap tangan Ibu. “Benarkah Ibu mencintai Bapak?” Kembali aku bertanya.
                Ibu menatapku lembut. Memberi senyum padaku. “Rin. Cinta itu tak usah untuk diperlihatkan. Tapi yang pasti harus selalu dijaga demi sebuah keutuhan. Dan pastinya rasa itu tersimpan di sini.”  Ibu menyimpan tangannya di dada. “Kelak ketika kau sudah berumah tangga, akan kau rasakan betapa cinta itu begitu besar.”
                Senyap.  Aku mendiamkan gejolak yang bermuara di dada. Bapak, begitu tegakah kau memerlakukan Ibu. Seakan tak bosan dengan gunjingan orang, membuat malu saja. Ibu. Ah, mengapa Ibu diam saja. selalu Ibu tak percaya jika aku bilang berkali-kali bahwa Bapak telah berselingkuh. Kenapa Ibu tak bercerai saja dengan Bapak? Apa yang Ibu pertahankan dari Bapak? Secara, ekonomi Ibu lebih mapan. Ibu PNS dan Bapak hanya pegawai pabrik biasa. Tapi apa yang harus kukatakan? Buktinya Ibu tetap memertahankan rumah tangga. Bermain-main dengan cinta yang penuh dengan misteri.
                Ibu memang perempuan perkasa. Mampu menenangkanku ketika emosi  melihat kelakuan Bapak. Tanpa malu Bapak bermain mesra di depanku. Atau Bapak lupa?  bahwa aku sudah SMA. Dulu ketika aku kecil, mungkin aku tak mengerti dan tak peduli. Ketika Bapak sering menggendongku, membawa ke rumah perempuan cantik itu, dan aku gegas gembira ketika Bapak berbisik
                “Kita beli permen yu.”
                “Ke warung Bu Nita yah?”
                Bapak mengangguk. Seulas senyum hadir di sana. Aku tahu Bapak bahagia bisa membelikanku sebuah permen. Aku dengan leluasa bermain di warung Bu Nita berlama-lama. Dan Bapak? Asik bercanda. Sesekali terdengar tawa mereka.
Kini ketika aku dewasa.  Aku merasa ada sesuatu diantara mereka. Bukan hanya aku yang mengira. Tapi kiranya seluruh tetangga di desaku telah tahu, bahwa Bapak dan Bu Nita mempunyai hubungan khusus. Semuanya... ya semua orang selalu mengguncingkan mereka.
                Bayangkan, Bapak akan dengan sukarela mengantarkan Bu Nita ke pasar untuk berbelanja. Atau pun hanya sekedar ke dokter. Kenapa tidak menyuruh ojeg saja? Ia selalu nyaman berada dengan Bapak.  Apalagi ketika suaminya yang lama terserang struk meninggal dunia. Ia seperti terbebas.
               
*
                Air mata Ibu terus berderai, disaat resepsi pernikahanku.  Ia begitu bahagia melepas masa lajangku.
                “Ingat. Nak. Perhatikan selalu suami dan keluargamu. Perhatian keluarga adalah nomor satu dibandingkan dengan yang lain. Nak, Bram. Titip anak Ibu padamu.”
                Seminggu setelah menikah aku pun tinggal bersama dengan suami di rumah baru. Meninggalkan Ibu dan Bapak yang berada di luar kota. Bapak dan Ibu mengantarkanku ke rumah baru. Pun para tetangga. Tentu saja aku pun bahagia diantar oleh mereka. Sayang kehadiran  Bu Nita, menyebabkan kabahagiaan dalam hati terberai. Ingin sekali aku mengusir dirinya, karena telah merampas kebahagiaan. Sesekali tangannya menunjuk ke ruangan dalam rumahku. Bertanya pada Bapak tentang ruangan apa ini apa itu. Ah menyebalkan.  Sementara Ibu seperti biasa berpura tak tahu. Ia sibuk di dapur menyuguhi para tamu.
                Tepat satu tahu usia perkawinanku. Dua bulan usia anak pertamaku. Suatu hari aku dan suamiku berkunjung ke rumah Ibu.
                “Mana Bapak, Bu?”
                Ibu menghela nafas panjang.
                “Ibu baik-baik saja?”
                “Baik. Nak.” Seperti biasa Ibu tersenyum. Ada kesedihan yang kutangkap dalam guratan wajahnya.
                “Benar Ibu tidak apa-apa.?”
                “Tidak apa-apa. Namun ada sesuatu yang perlu Ibu bicarakan.”
                Entah kenapa hatiku tiba-tiba bertalu. Angin apa yang membuat Ibu mengajakku bicara serius. Apakah ada hubungannya dengan....
                “Rini. Kau sekarang telah berumah tangga. Dan telah mempuyai anak. Cucu Ibu.” Ibu mengusap lembut bayi di pangkuannya. “Ibu bahagia sekali bisa mempunyai cucu darimu. Bagaimana perasaanmu setelah menjadi Ibu? Apa kau bahagia?”
                “Tentu, Bu. Anak adalah harta yang tidak bisa terukur dengan materi.” Ucapku. Tanpa tahu gerangan ke arah mana pembicaraan  tertuju.
                “Syukurlah. Setiap Ibu memang begitu. Sedari anak lahir sampai kapan pun akan memberi cinta yang tulus. Dan tak akan pernah rela melihat anaknya berduka dan terluka. Seorang Ibu harus selalu menjaga agar anaknya dalam sebuah kedamaian.” Ibu mengusap matanya yang mengenang. “Rin. Kau sudah saatnya mengetahui.”
                “Mengetahui apa, Bu?”
                “Pernikahan Bapak dan Ibu telah usai.”
                “Bu. Maksud Ibu?” Aku tercekat.
                “Ya. Rin. Selama ini Ibu senantiasa bersabar. Menguatkan hati selalu demi dirimu. Ibu tak mau kau terluka, Ibu ingin melihatmu selalu bahagia.”
                “Ibu...!” aku merangkul Ibu yang telah menggadaikan kebahagiaannya demi aku, anaknya.
                Sesaat aku terdiam. Membiarkan air mata yang menetes di pipi. Kupeluk erat bayi dalam gendonganku. Menciumnya bertubi. “Ibu mengasihimu, Nak. Sangat.”***
               
               

Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah Guneman, Majalah Kandaga, Majalah Loka, Majalah HAI, dll 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar