Kasih
Ibu
Oleh
Nina Rahayu Nadea
“Apa?
Mengalami kecelakaan?” tangan Ibu gemetar memegang HP.
“Ada
apa, Bu?”
“Rin,
ayo cepat kita ke rumah sakit. Bapak kecelakaan!” Ibu terburu. Berjalan cepat
di depanku.
Aku
pun segera menyusul Ibu, menemui Bapak di rumah sakit. Kulihat Ibu segera
menemui Bapak. Semula aku ikut ke dalam ruangan, memerhatikan wajah Bapak yang
dipenuhi selang inpusan.
“Ngak
apa-apa, Pak?” tanya Ibu lembut.
“Bagaimana
Nita, apakah dia tidak apa-apa?”
Ingin
sekali muntah mendengar pertanyaan Bapak. Ah, Bapak. Tega-teganya kau bertanya
seperti itu. Di saat kami begitu mengkhawatirkanmu. Di saat kami merapal doa,
agar tidak terjadi apa-apa denganmu. Dan di saat siuman. Kau menanyakan
perempuan genit itu. Memuakan.
“Sudah
jangan bercakap banyak dulu. Istirahatlah.”
Segera
kutinggalkan mereka berdua. Menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan tak
menentu.
“Gimana
Rin, bapakmu tidak kenapa-napa?” Bu Yumi tetanggaku bertanya.
“Alhamdulillah
ia sudah siuman, Bu. Sekarang sedang ngobrol dengan Ibu.”
“Dan
Bu Nita, bagaimana?”
Aku
terdiam. Semua orang kini sudah tahu, bahwa Bapakku mengalami kecelakaan dengan
perempuan itu. Selingkuhan Bapak.
“Oh,
maaf pertanyaanku. Bukan bermaksud....” Suara Bu Yumi datar. “Dirawat di ruang
berapa bapakmu? Aku ke sana dulu sebentar.”
Bu
Yumi menghilang setelah kukatakan dimana ruangan Bapak dirawat.
*
“Bu,
aku berangkat dulu.” Aku mencium tangan Ibu.
“Ya.
Hati-hati. Salam dulu sama Bapakmu.”
Aku
berpura tak mendengar. Kuselendangkan tas yang bersandar di meja makan. Mengambil
HP yang tergeletak dan menyimpannya di saku baju.
“Rin!”
Ibu menatap lembut. “Ayolah.”
Dengan
malas kuturuti perintah Ibu. Menemui Bapak yang sedang asik menonton tivi.
Membuang sisa-sisa asap rokok yang telah dihisapnya. “Hem dasar malas,”
batinku. “Pak, Rini berangkat dulu.”
“Hem.”
Bibir Bapak tetap mengatup.
Ah,
Ibu entah apa yang akan kau pertahankan. Aku saja yang mendengar langsung dari
banyak orang tentang kelakuan Bapak. Tentang selingkuhan Bapak. Membuatku tak
menyimpan lagi rasa hormat padanya. Sedangkan Ibu? Tak sedikit pun berlaku
kasar dan membencinya. Ibu begitu menyayanginya. Pun padaku. Selalu mengajarkan
kebaikan dan kepatuhan pada laki-laki itu. Semua kuturuti demi Ibu, walau hati
tak mau.
“Tidak
ada apa-apa, Rin. Dia itu teman Ibu sewaktu kecil. Tak mungkinlah seperti itu.”
Ibu menarik nafas panjang. ”Lagian Ibu sangat percaya pada Bapak. Dia laki-laki
yang setia. Sudah Rin, jangan pernah kau berpikir masalah itu. Nanti kamu
keburu tua gara-gara memikirkan masalah yang seharusnya tidak kau pikirkan.
Ingat sekolah adalah nomor satu.”
“Bu,
apakah benar Ibu mencintai Bapak?” Tanyaku suatu hari.
“Mengapa
kau tanya itu, Rin.”
“Habis
Ibu seperti tak ada rasa cemburu. Cuek dan selalu mendiamkan Bapak, padahal Ibu
tau Bapak jalan dengan perempuan lain.
Aku benci Bapak, Bu.”
“Hus,
tak baik berkata seperti itu. Seorang anak harus selalu menghormati orang
tuanya.” Ibu mengusap kepalaku. “Rin, apakah kau mencintai Ibu.”
“Tentu,
Bu.”
“Hormati
dan sayangi Bapakmu. Itu tanda kau mencintai Ibu.”
Aku
mengusap tangan Ibu. “Benarkah Ibu mencintai Bapak?” Kembali aku bertanya.
Ibu
menatapku lembut. Memberi senyum padaku. “Rin. Cinta itu tak usah untuk
diperlihatkan. Tapi yang pasti harus selalu dijaga demi sebuah keutuhan. Dan
pastinya rasa itu tersimpan di sini.”
Ibu menyimpan tangannya di dada. “Kelak ketika kau sudah berumah tangga,
akan kau rasakan betapa cinta itu begitu besar.”
Senyap. Aku mendiamkan gejolak yang bermuara di dada.
Bapak, begitu tegakah kau memerlakukan Ibu. Seakan tak bosan dengan gunjingan
orang, membuat malu saja. Ibu. Ah, mengapa Ibu diam saja. selalu Ibu tak
percaya jika aku bilang berkali-kali bahwa Bapak telah berselingkuh. Kenapa Ibu
tak bercerai saja dengan Bapak? Apa yang Ibu pertahankan dari Bapak? Secara,
ekonomi Ibu lebih mapan. Ibu PNS dan Bapak hanya pegawai pabrik biasa. Tapi apa
yang harus kukatakan? Buktinya Ibu tetap memertahankan rumah tangga. Bermain-main
dengan cinta yang penuh dengan misteri.
Ibu
memang perempuan perkasa. Mampu menenangkanku ketika emosi melihat kelakuan Bapak. Tanpa malu Bapak bermain
mesra di depanku. Atau Bapak lupa? bahwa
aku sudah SMA. Dulu ketika aku kecil, mungkin aku tak mengerti dan tak peduli.
Ketika Bapak sering menggendongku, membawa ke rumah perempuan cantik itu, dan
aku gegas gembira ketika Bapak berbisik
“Kita
beli permen yu.”
“Ke
warung Bu Nita yah?”
Bapak
mengangguk. Seulas senyum hadir di sana. Aku tahu Bapak bahagia bisa
membelikanku sebuah permen. Aku dengan leluasa bermain di warung Bu Nita
berlama-lama. Dan Bapak? Asik bercanda. Sesekali terdengar tawa mereka.
Kini ketika aku dewasa. Aku merasa ada sesuatu diantara mereka. Bukan
hanya aku yang mengira. Tapi kiranya seluruh tetangga di desaku telah tahu,
bahwa Bapak dan Bu Nita mempunyai hubungan khusus. Semuanya... ya semua orang
selalu mengguncingkan mereka.
Bayangkan,
Bapak akan dengan sukarela mengantarkan Bu Nita ke pasar untuk berbelanja. Atau
pun hanya sekedar ke dokter. Kenapa tidak menyuruh ojeg saja? Ia selalu nyaman
berada dengan Bapak. Apalagi ketika
suaminya yang lama terserang struk meninggal dunia. Ia seperti terbebas.
*
Air
mata Ibu terus berderai, disaat resepsi pernikahanku. Ia begitu bahagia melepas masa lajangku.
“Ingat.
Nak. Perhatikan selalu suami dan keluargamu. Perhatian keluarga adalah nomor
satu dibandingkan dengan yang lain. Nak, Bram. Titip anak Ibu padamu.”
Seminggu
setelah menikah aku pun tinggal bersama dengan suami di rumah baru. Meninggalkan
Ibu dan Bapak yang berada di luar kota. Bapak dan Ibu mengantarkanku ke rumah
baru. Pun para tetangga. Tentu saja aku pun bahagia diantar oleh mereka. Sayang
kehadiran Bu Nita, menyebabkan kabahagiaan
dalam hati terberai. Ingin sekali aku mengusir dirinya, karena telah merampas
kebahagiaan. Sesekali tangannya menunjuk ke ruangan dalam rumahku. Bertanya
pada Bapak tentang ruangan apa ini apa itu. Ah menyebalkan. Sementara Ibu seperti biasa berpura tak tahu.
Ia sibuk di dapur menyuguhi para tamu.
Tepat
satu tahu usia perkawinanku. Dua bulan usia anak pertamaku. Suatu hari aku dan
suamiku berkunjung ke rumah Ibu.
“Mana
Bapak, Bu?”
Ibu
menghela nafas panjang.
“Ibu
baik-baik saja?”
“Baik.
Nak.” Seperti biasa Ibu tersenyum. Ada kesedihan yang kutangkap dalam guratan
wajahnya.
“Benar
Ibu tidak apa-apa.?”
“Tidak
apa-apa. Namun ada sesuatu yang perlu Ibu bicarakan.”
Entah
kenapa hatiku tiba-tiba bertalu. Angin apa yang membuat Ibu mengajakku bicara
serius. Apakah ada hubungannya dengan....
“Rini.
Kau sekarang telah berumah tangga. Dan telah mempuyai anak. Cucu Ibu.” Ibu
mengusap lembut bayi di pangkuannya. “Ibu bahagia sekali bisa mempunyai cucu
darimu. Bagaimana perasaanmu setelah menjadi Ibu? Apa kau bahagia?”
“Tentu,
Bu. Anak adalah harta yang tidak bisa terukur dengan materi.” Ucapku. Tanpa tahu
gerangan ke arah mana pembicaraan tertuju.
“Syukurlah.
Setiap Ibu memang begitu. Sedari anak lahir sampai kapan pun akan memberi cinta
yang tulus. Dan tak akan pernah rela melihat anaknya berduka dan terluka.
Seorang Ibu harus selalu menjaga agar anaknya dalam sebuah kedamaian.” Ibu
mengusap matanya yang mengenang. “Rin. Kau sudah saatnya mengetahui.”
“Mengetahui
apa, Bu?”
“Pernikahan
Bapak dan Ibu telah usai.”
“Bu.
Maksud Ibu?” Aku tercekat.
“Ya.
Rin. Selama ini Ibu senantiasa bersabar. Menguatkan hati selalu demi dirimu.
Ibu tak mau kau terluka, Ibu ingin melihatmu selalu bahagia.”
“Ibu...!”
aku merangkul Ibu yang telah menggadaikan kebahagiaannya demi aku, anaknya.
Sesaat
aku terdiam. Membiarkan air mata yang menetes di pipi. Kupeluk erat bayi dalam
gendonganku. Menciumnya bertubi. “Ibu mengasihimu, Nak. Sangat.”***
Nina
Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya
dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia,
Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah
Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah
Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,
Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah Guneman,
Majalah Kandaga, Majalah Loka, Majalah HAI, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar