Secangkir Kopi di Atas Meja
Oleh Nina Rahayu Nadea
Pagi
telah menyapa aku segera buka jendela dapur. Berharap udara segar menyongsongku.
Bersegera datang mengganti udara malam
nan pekat dengan kesegaran yang siap bersemayam di paru paru. Setelah
sebelumnya melalui rongga hidung, laring, trakea dan bronkus. Sesaat aku berdiri, termangu di ambang jendela
menyaksikan aneka bunga yang sengaja aku tanam untuk menyegarkan udara serta
mengisi ruang kosong halaman hati, agar senantiasa indah berseri. Kutatap keluar kembali. Mataku sedikit
menyipit karena pancaran sang surya yang mulai masuk menerobos dedaunan dan
mengena ke daun jendela juga ke arahku. Aku tersenyum puas. Membalikan badan untuk
memulai rutinitas pagi ini. Secangkir kopi hitam segera tersaji di atas meja
makan.
Secangkir
kopi hitam. Itu yang selalu aku siapkan, mengakhiri pekerjaan lain sebagai ibu
rumah tangga. Hidangan khusus. Tersaji
dalam sebuah wadah yang antik. Mug cantik, tepatnya. Berwarna putih dengan gambar
pohon kopi. Ceceren biji kopi terlihat jelas di sana. Di bawah pohon. Mug yang
kadang berganti dengan yang lain,
berwarna hitam polos, selalu berada di sini. Di atas meja makan. Sepuluh tahun senantiasa kopi hitam itu terhidang
dan selalu dengan segera suamiku
menegaknya hingga tandas. Meski di awal ia akan menyeruputnya perlahan.
Menikmati setiap seruputnya serta memandang penuh cinta ke arahku.
Ketika kopinya
nyaris habis, ketika dedaknya terlihat. Ia akan segera menegaknya. Tandas.
Dengan beragam cerita yang senantiasa menemani kami. Ya, kopi hitam itu selalu
menjadi ikatan antara aku dan suamiku. Dari kopi hitam ini selalu bermula.
Perbincangan hangat akan mengalir sebelum keberangkatan ia bekerja. Kopi hitam
yang selalu menjaga kebersamaan kami. Mesra.
Sepuluh
tahun kopi itu selalu tandas tak
bersisa. Diselingi tawa dan cumbunya. Selalu. Seolah tak jemu ia menikmati kopi
hitam kemudian memandang ke arahku. Tak jarang kerjanya sedikit terlambat karena
sesuatu yang harus kulayani, usai bergulat dengan kopi hitam. Semua mengisi
hari hariku tanpa sepi. Karena kesukaannya itu.
Aku senantiasa menyediakan aneka kopi terbaik hanya untuk suamiku. Sesuatu yang membuat cinta kami berkecambah.
Seringkali
aku ke luar rumah, jalan jalan sekedar
untuk mencari kopi yang bagus. Kopi terbaik untuk menyenangkan suami. Aneka
kopi dari Jawa sampai kopi Papua pernah kubeli. Kopi hitam penyemangat hidup
itu selalu katamu.
Selama
ia menyeruput kopi. Aku selalu berada di sampingnya, menemaninya sampai yakin
bahwa kopi itu habis. Meyakinkan bahwa tak
ada yang dia perlukan dariku. Hingga akhirnya berdiri. Mengecup keningku
perlahan dan berangkat ke kantor, tentulah dengan senyum mengembang yang senatiasa
aku kenang.
Tak
lepas kupandangi wajah suamiku ketika menyeruput kopi. Takut. Sesuatu terjadi.
Dari raut muka saat ia mengecap di lidah, dapat kurasakan tentang sesuatu yang
terjadi. Kegembiraan, kegalauan,
kesedihan, semua tergambar dari raut wajahnya. Ya, aroma kopi adalah penentu
terhadap emosi suamiku. Raut muka yang selalu menyiratkan hati. Dan itu dapat
kubaca lewat kopi yang telah ia sesap.
Dan
ketika malam. Menjelang ia datang. Selalu sama. Kopi hitam itu harus terhidang
di atas meja makan. Dan aku akan menyambut kepulangan suami. Menyimpan tas
kerjanya. Membuka tutup cangkir dan menyerahkan padanya. Uap kopi akan segera
memenuhi ruangan kami. Ia pun kembali akan bercerita tentang kegiatannya di
kantor dari mulai A sampai Z. Dari kesedihan sampai kesenangan. Dan semua akan
kembali tenang ketika ia menyeruput kopi. Membicarakan segalanya ke arahku.
Tentu aku menimpalinya. Dari mulutku meluncur beberapa kalimat untuk menenangkannya
jika ia marah. Dan semua selalu berakhir dengan baik baik saja. Tidur dengan
tenang tanpa beban. Mengolah rasa bersama setelah aroma kopi kami pagut.
***
Seorang
perempuan cantik. Duduk di samping seorang lelaki gagah. Menikmati aroma kopi
berdua dengan penuh kehangatan. Sehangat kopi yang baru saja diseduh oleh sang
perempuan. Mereka berbicara banyak hal dari mulai rutinitas rumah sampai
kantoran. Juga tentang harapan yang akan mereka tuai setelah bayi lahir ke
dunia, merasakan kehangatan secangkir kopi.
“Semoga
anak kita menjadi kebahagiaan kita ya, Mas.” Ia menyandarkan kepala ke bahu
laki laki itu.
“Tentu
saja. Dia anak kesayanganku.”
“Anak
kesayanganku Mas.”
“Kesayangan
kita berdua.”
“Apakah
nantinya ia akan menyukai kopi sepertimu?” Dahi perempuan itu berkerut. Menatap
laki laki di hadapannya.
“Pastilah
kopi hitam yang nikmat. Lambang
keperkasaan lelaki. Meningkatkan semangat dalam segala hal.”
“Kopi
hitam?”
“Kopi
hitam bercampur susu.” Ralat laki laki itu.
Tak banyak cakap karena kemudian mereka telah tak bercakap. Bergelut
dengan secangkir kopi bersama mulutnya.
“Jangan
kau beri anakmu sejenis kopi.” Perempuan itu merenggut manja.
“Robusta...
Robusta Magdalena.” Lelaki itu meloncat
dari tempat duduknya. Kegirangan. “Terima kasih sayang. Kau telah memberiku
ilham tentang nama bayi kita.”
“Ah,
Mas, ini.”
“Perpaduan
yang indah antara aku dan kau. Aku pecinta kopi. Dan kau Lena, Magdalenaku
sayang.”’
Perempuan
itu tersenyum puas. Kendati tak suka dengan nama yang diberikan suaminya. Namun
setidaknya tahu, bahwa laki laki di hadapannya begitu mencintainya.
***
Tergopoh
aku buka pintu garasi. Menyambut suamiku pulang. Jam berdentang tiga kali, ketika
suamiku duduk dengan muka ditekuk.
“Ada
masalah di kantor Mas? Sebentar aku buatkan
kopi.”
“Ngantuk
terlalu berat. Bangunkan aku jam enam pagi.” Ia berdiri. Berjalan ke arah
kamar.
“Baiklah,
Mas.” Aku terdiam sesaat. Melihat punggungnya sampai hilang.
“Nanti
kubuatkan kopi spesial.” Suaraku mendesis. Tak mungkin didengar suamiku yang
telah menutup pintu kamarnya. Rapat.
Tak
kututup mataku sekedar untuk merebahkan diri atau beristirahat. Kumanfaatkan
waktu. Menunggu sampai fajar datang. Teringat pada amanatmu. Jam enam pagi. Ya,
tepat ketika jam berdentang enam kali. Akan kubangunkan kau dengan sajian
spesial untukmu. Aroma kopi yang menguar. Kopi yang akan membawamu terbang.
Hingga kesumat dalam dadamu mungkin juga kesumatku akan berkurang atau bahkan
hilang. Aku tersenyum puas. Mengingat pencarian kopi yang tak mudah. Kopi
antik. Pemburuan yang mahal, karena untuk mendapatkannya aku harus mengeluarkan
berlipat uang.
Aku berdiri
termangu di ambang jendela. menyaksikan aneka bunga yang sengaja aku tanam
untuk menyegarkan udara serta mengisi ruang kosong halaman hati, agar
senantiasa indah berseri. Berharap udara segar menyongsongku. Bersegera datang
mengganti udara malam nan pekat dengan
kesegaran yang siap bersemayam di paru paru. Setelah sebelumnya melalui rongga
hidung, laring, trakea dan bronkus. Seperti
biasa aku berdoa, semoga kebahagiaan senantiasa bersama. Bahagia?. Apakah
mungkin bahagia masih menjadi milikku esok hari. Sementara secangkir kopi hitam
di atas meja makan tak pernah tandas.
Jam
berdentang enam kali. Tergersa aku masuk kamar. Membangunkan ia dengan penuh cinta.
“Mas....”
“Hem..”.
“Jam
enam. Bangunlah.”
“Ah.
Mengapa kantuk ini tak mau pergi.”
“Bangunlah. Secangkir kopi hitam telah tersaji.”
Dengam
malas ia buka matanya. Tersenyum kaku ke arahku.
“Ya...
ya... aku bangun sayangku. Hari ini aku ada
meeting di kantor. Tak boleh
terlambat.”
Secangkir
kopi di atas meja makan. Telah tersedia,
ketika kau turun dengan pakaian lengkap untuk ke kantor. Wangi dari parfummu
menyeruak ke arah dapur. Bertempur dengan aroma kopi yang sebentar lagi siap
kau minum. Bersemayam dalam perutmu.
“Kopi
apa ini sayang. Begitu harum.” Ia duduk menghadap kopi.
“Pastilah
itu kopi terbaru, Mas. Kemarin aku sengaja membelinya.”
“Kau
memang pandai membahagiakanku, istriku.” Ia menatap ke arahku. Menyeruput
perlahan kopi. Berhenti. Dahinya mengernyit.
“Tapi
rasanya begitu beda. Mengapa kau tambah susu?” Kembali ia menyeruput kopi.
Menyecapnya di lidah lebih lama. “Kopi manis?” Ia tertegun.
“Sengaja
Mas. Mungkin kau sudah bosan dengan kopi hitam. Bukankah kau sekarang menyukai
kopi yang lain. Kopi manis?” Aku
tersenyum ke arahnya.
“Ka....
kau...” Matanya terbelalak.
“Ya.
Aku sudah tahu. Kopi manis dalam tasmu adalah jejak untukku. Ada seseorang yang
membuatmu menyukai kopi yang lain.”
“Maafkan
aku Lastri.” Buih keluar dari mulutnya.
Badannya rubuh.***
Nina
Rahayu Nadéa.
Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan,
Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh,
Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah
Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid
Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka
Tasikmalaya, Majalah Guneman, Sastra
Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo
Semar, Radar Banyuwangi, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar