Anak Sagara
Oleh Nina Rahayu Nadea
Adalah dongeng Ema yang senantiasa
membuat Sri terlelap. Tertidur pulas dalam dekapan dan dengkuran halus setelah dongeng Ema meluncur dari bibir. Dongeng yang
sama namun tak membuat bosan. Dongeng
tentang anak sagara. Konon, kata Ema bahwa ada anak sagara yang berkeliaran.
Anak penunggu laut yang nantinya akan membuat semua orang penduduk pesisir dihargai. Titisan sang gaib yang akan
datang ketika penduduk Pangandaran mengalami kesulitan.
Cerita Ema menurut Sri begitu mengada-ngada. Membantu
tiap penduduk dalam kesulitan? Buktinya tak pernah didengar. Kesulitan tentang
para nelayan kecil yang kesusahan karena tergilas para pengusasa bermodal,
tetap saja tak bisa tertangani. Mana buktinya?
“Kelak dia akan datang. Tanpa seorang pun tahu kapan ia akan datang.”
Jawab Ema ketika Sri bertanya. “Dia akan berenang cepat,
melebihi kemampuan manusia. Dia akan mempunyai aura yang luar biasa. Menyelesaikan
masalah dengan cepat dan kilat. Hingga semua orang sadar bahawa titisan sang
penunggu laut telah merasuk dalam sukmanya. Dan takan ada seorang pun yang
berani menghalangnya.”
“Apakah ia ada di sini, Ma?”
“Tentu saja. Makanya kamu harus selalu
berhati-hati dalam bergaul. Ingat sang penunggu siap mencengkram, pabila
terjadi kebatilan di sini.” Ema memeluk erat. Sangat erat.
Cerita Ema selalu diingat, dan itu membuat Sri tak berani bermain dengan yang lain. senang menyendiri. Menyenangi indahnya panorama dalam kesepian.
Menyesapi sepi seorang diri. Ya, dongeng Ema menjadi cerita yang selalu diingat.
Agar Sri tak pernah berbaur dengan yang lain. Cukup hanya dengan Ema, teman
Sri.
Seiring pertumbuhan, Sri mulai
memberanikan diri bermain ke laut sendirian. Rutinitas pesisir dirapal dan dihapal. Mulai dari para nelayan
menebarkan jalanya. Mempersiapkan perahu-perahu layar untuk mencari rezeki di
lautan. Semua terekam dalam ingatan Sri, tanpa seorang pun membuyarkan lamunannya.
Hidup dalam kesendirian telah
membuatnya mandiri. Tak pernah tergantung
pada orang lain dalam segala hal. Alam dan lingkungan adalah guru. Sri menjadi
pribadi kokoh dan disegani. Ditepisnya
duka karena dalam hati sebenarnya ingin berkoloni dengan yang lain. Tapi
kiranya mereka enggan tuk mendekat. Membiarkan Sri lesap dalam kesendirian.
Waktu semakin beranjak. Sri
semakin menggebu berlatih berenang. Lihatlah, ia mampu menandingi mereka, para
tetua yang sudah lihai merasakan asam garam dalam gelombang lautan. Menapaki
gegas dalam kesendirian dan rutinitas keseharian seorang diri tidak membuat Sri
berkecil hati. Tapi meyakinkan diri bahwa Sri bisa menaklukan keangkuhan
sagara.
Ya, diam-diam kini di hati
mereka muncul kebanggaan. Sri yang terkucilkan dan terpinggirkan. Kini di dekatnya? mereka mampu
berdecak kagum.
“Ayo, Sri bertandinglah
denganku.” Seorang mendekat. Sri memandang laki-laki di depannya. Tidak dikenal.
Tato di sekitar otot tangannya,
melingkar dengan jelas. “Apakah ini titisan penunggu sagara yang diceritakan
Ema?” guman Sri dalam hati. Tapi bukankah ia datang untuk menolong bukan
sebagai pencari keributan.
Sri menatapnya lama. Kulit hitam, otot kekar menyembul dari
tulang-tulangnya yang menonjol.
“Mengapa takut?” Ejeknya.
”Bukankah kamu perenang hebat? Gurumu adalah alam, ayo bertandinglah denganku.”
Sri melengos. Tak menggubris
perkataannya. Terngiang kata Ema. Agar jangan pernah berbuat ulah. Jangan sampai
penunggu sagara menjadi murka.
“Jangan sampai ombak melampaui
rumah-rumah kita?”
“Kenapa, Ma?”
“Penunggu sagara bertanda marah.
Mereka tak menyukai keributan tentang sagara yang terjamah oleh manusia. Hingga
akhirnya kemurkaannya akan menyebabkan orang di bumi ini menjadi sengsara. Tak terbayangkan jika penunggu sagara marah. Luluh
lantaklah bumi kita ini, Sri.” Ibu mengusap kepala Sri pelan. ”Ingat, jangan
pernah kau membuat sang penunggu marah.”
“Iya, Ma. Sri anak yang baik.
Tak mungkinlah berbuat marah penunggu.” Sri tersenyum. Merapatkan badan di
tubuh Ema. Hangat Ema menjalar ke tubuhku.
*
“Darmi terseret ombak... Darmi
terseret ombak!” Penduduk di sekitar tepian pantai berlarian. Mareka yang asalnya
bergumul menikmati pemandangan di sekitar pesisir, berpencar. Berlarian tak
tentu arah. Saling berteriak. Kecemasan terlihat dari wajah-wajahnya.
“Anakku. Tolong selamatkan
anakku.” Ibu Darmi berteriak histeris. Tangannya meronta kian kemari. Para
penduduk siaga untuk mengamankan Bu Darmi yang histeris.
“Tenanglah, Bu. Lihatlah Daro,
sang penyelam unggul sedang mencarinya. Pun kapal telah berlayar kembali untuk mencari anakmu. Ibu tenang saja.”
seorang Bapak berkata.
Sri melihat pemandangan itu
dengan kepala sendiri. Entah ada dorongan darimana ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang di udara, menceburkan
diri ke lautan luas. Dalam bayangan hanya ada Darmi, bocah autis yang selalu
menyendiri. Tak dipikirkannya ketika berpuluh pasang mata menyaksikan Sri yang
gegas membelah laut hanya untuk mencari Darmi.
“Ayo, Sri berenang terus.
Carilah Darmi sampai ketemu.” Tiba-tiba penduduk bersuara. Mereka terlongo.
Menyaksikan Sri yang berenang secepat kilat. Dalam sekejap tubuhnya telah
berada jauh dari pandangan. Ibarat mata panah yang meluncur tak terhitung dari
pandangan. Sri, menjadi bahan cerita seketika. Super hero yang sepertinya
ditunggu dan menjadi harapan satu-satunya agar Darmi selamat.
Apalagi ketika sekonyong-konyong
datang Daro- sang pelaut sejati. Yang konon telah berpengalaman menyelami
angkara sang lautan. Sang perenang sejati yang selama ini dielukan pendudukan,
datang dengan tangan hampa.
“Mana Darmi, Ro? Tidak kau dapatkan?”
Tanya Bahlun tiba-tiba. Menyambut sahabatnya yang baru saja sampai.
“Ombak di tengah sedang tidak
bersahabat. Aku tak mungkin mencarinya lebih lama. Daripada aku menjadi korban.
Ayo kerahkan semua kapal, Lun.” Daro
mengibaskan rambutnya. ”Ayo bubar. Ngapain kalian berada di pinggir laut. Sudah,
nanti juga Darmi ketemu. Kapal sedang mencarinya.”
“Semoga Sri menemukan anak kita.
Pak?” sesunggukan seorang Ibu, menyadarkan Daro bahwa sang penyelamat tengah
ditunggu para penduduk.
“Apa benar anak sialan itu menceburkan
diri ke lautan? Mencoba menjadi pahlawan?” tanyanya nyinyir pada Bahlun.
“Iya. Semoga saja ia berhasil
membawa Darmi.”
“Hem... paling ia akan menjadi
tumbal sagara.” Daro terkekeh.
“Horee... Sri kembali. Lihat ia membawa
Darmi kembali.” Sorak peduduk di tepi lautan.
Daro terkejut. Meihat ke arah
lautan. Lambat-lambat. Ia melihat sosok yang dikenalnya. Dengan kekar ia
memanggul seseorang.
“Hem.... dasar cari muka, kamu
anak sialan.!” Daro mendekat. Melengos ketika tatapannya bersirobok dengan Sri
sang penyelamat.
“Wah, kamu jagoan Sri. Hebat! Berenangmu
itu wah. Ckck, aku kagum padamu. Ternyata kau dapat mengalahkan sang jagoan
legendrais daerah kita. Bang Daro.” Seseorang berkata. Dan ini membuat merah
padam wajah Daro. Ia merasa diperolok.
“Diam kau Bani. Ngapain kamu
mengagungkan dia. Anak sialan ini.”
“Ah, Abang ini apa tak lihat?
Seharusnya kita bersyukur dan berbangga hati. Darmi akhirnya dapat
terselamatkan berkat Sri.”
“Pantas. Karena dia anak dari
Penunggu sagara ini.” Daro berkata, meninggalkan kerumunan.
Satu persatu penduduk mulai
meninggalkan pesisir, setelah Darmi siuman dan dibawa ke rumahnya. Sri terjerembab
oleh cerita Daro yang baru saja didengar.
Terpekur sendiri diiringi ombak
yang bergemuruh. Ada air mata yang tiba-tiba mengalir. Anak sagara? Benarkah
apa yang orang-orang ceritakan selama ini? terngiang kata-kata Ema. Suatu waktu,
anak sagara akan ketika penduduk mengalami celaka. Anak bertato naga yang akan
membawa perubahan penduduk menuju kebaikan.
Diusapnya
lelehan air mata. Memandang ke kejauhan, lepas ke sagara nan luas. Dilintingnya
celana yang basah menutupi kakinya. Tato naga terlihat jelas di kakinya. Anak
sagara benar-benar ada.***:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar