Kamis, 09 April 2015

Cerpen

Dimuat di Koran Tribun Jabar. Alhamdulillah. Keep Write :)

Anak Sagara
Oleh Nina Rahayu Nadea
                Adalah dongeng Ema yang senantiasa membuat Sri terlelap. Tertidur pulas dalam dekapan dan dengkuran halus setelah  dongeng Ema meluncur dari bibir. Dongeng yang sama namun tak membuat bosan.  Dongeng tentang anak sagara. Konon, kata Ema bahwa ada anak sagara yang berkeliaran. Anak penunggu laut yang nantinya akan membuat semua orang penduduk pesisir  dihargai. Titisan sang gaib yang  akan  datang ketika penduduk Pangandaran mengalami kesulitan.
                Cerita Ema  menurut Sri begitu mengada-ngada. Membantu tiap penduduk dalam kesulitan? Buktinya tak pernah didengar. Kesulitan tentang para nelayan kecil yang kesusahan karena tergilas para pengusasa bermodal, tetap saja tak bisa tertangani. Mana buktinya?
“Kelak dia akan datang. Tanpa seorang pun tahu kapan ia akan datang.” Jawab Ema ketika Sri  bertanya.                “Dia akan berenang cepat, melebihi kemampuan manusia. Dia akan mempunyai aura yang luar biasa. Menyelesaikan masalah dengan cepat dan kilat. Hingga semua orang sadar bahawa titisan sang penunggu laut telah merasuk dalam sukmanya. Dan takan ada seorang pun yang berani menghalangnya.”
                “Apakah ia ada di sini, Ma?”
                “Tentu saja. Makanya kamu harus selalu berhati-hati dalam bergaul. Ingat sang penunggu siap mencengkram, pabila terjadi kebatilan di sini.” Ema memeluk erat. Sangat erat.
                Cerita Ema selalu diingat,  dan itu membuat Sri tak berani bermain  dengan yang lain.  senang menyendiri.  Menyenangi indahnya panorama dalam kesepian. Menyesapi sepi seorang diri. Ya, dongeng Ema menjadi cerita yang selalu diingat. Agar Sri tak pernah berbaur dengan yang lain. Cukup hanya dengan Ema, teman Sri.
                Seiring pertumbuhan, Sri mulai memberanikan diri bermain ke laut sendirian. Rutinitas  pesisir  dirapal dan dihapal. Mulai dari para nelayan menebarkan jalanya. Mempersiapkan perahu-perahu layar untuk mencari rezeki di lautan. Semua terekam dalam ingatan Sri,  tanpa seorang pun membuyarkan lamunannya.
                Hidup dalam kesendirian telah membuatnya  mandiri. Tak pernah tergantung pada orang lain dalam segala hal. Alam dan lingkungan adalah guru. Sri menjadi pribadi kokoh dan  disegani. Ditepisnya duka karena dalam hati sebenarnya ingin berkoloni dengan yang lain. Tapi kiranya mereka enggan tuk mendekat. Membiarkan Sri lesap dalam kesendirian.
                Waktu semakin beranjak. Sri semakin menggebu berlatih berenang. Lihatlah, ia mampu menandingi mereka, para tetua yang sudah lihai merasakan asam garam dalam gelombang lautan. Menapaki gegas dalam kesendirian dan rutinitas keseharian seorang diri tidak membuat Sri berkecil hati. Tapi meyakinkan diri bahwa Sri bisa menaklukan keangkuhan sagara.
                Ya, diam-diam kini di hati mereka muncul kebanggaan. Sri yang terkucilkan dan  terpinggirkan. Kini di dekatnya? mereka mampu berdecak kagum.
                “Ayo, Sri bertandinglah denganku.” Seorang mendekat. Sri memandang laki-laki di depannya. Tidak dikenal.  Tato di sekitar otot tangannya, melingkar dengan jelas. “Apakah ini titisan penunggu sagara yang diceritakan Ema?” guman Sri dalam hati. Tapi bukankah ia datang untuk menolong bukan sebagai pencari keributan.
                Sri menatapnya lama.  Kulit hitam, otot kekar menyembul dari tulang-tulangnya yang menonjol.
                “Mengapa takut?” Ejeknya. ”Bukankah kamu perenang hebat? Gurumu adalah alam, ayo bertandinglah denganku.”
                Sri melengos. Tak menggubris perkataannya. Terngiang kata Ema. Agar  jangan pernah berbuat ulah. Jangan sampai penunggu sagara menjadi murka.
                “Jangan sampai ombak melampaui rumah-rumah kita?”
                “Kenapa, Ma?”
                “Penunggu sagara bertanda marah. Mereka tak menyukai keributan tentang sagara yang terjamah oleh manusia. Hingga akhirnya kemurkaannya akan menyebabkan orang di bumi ini menjadi sengsara. Tak  terbayangkan jika penunggu sagara marah. Luluh lantaklah bumi kita ini, Sri.” Ibu mengusap kepala Sri pelan. ”Ingat, jangan pernah kau membuat sang  penunggu  marah.”
                “Iya, Ma. Sri anak yang baik. Tak mungkinlah berbuat marah penunggu.” Sri tersenyum. Merapatkan badan di tubuh Ema. Hangat Ema menjalar ke tubuhku.
*
                “Darmi terseret ombak... Darmi terseret ombak!” Penduduk di sekitar tepian pantai berlarian. Mareka yang asalnya bergumul menikmati pemandangan di sekitar pesisir, berpencar. Berlarian tak tentu arah. Saling berteriak. Kecemasan terlihat dari wajah-wajahnya.
                “Anakku. Tolong selamatkan anakku.” Ibu Darmi berteriak histeris. Tangannya meronta kian kemari. Para penduduk siaga untuk mengamankan Bu Darmi yang histeris.
                “Tenanglah, Bu. Lihatlah Daro, sang penyelam unggul sedang mencarinya. Pun kapal telah berlayar kembali  untuk mencari anakmu. Ibu tenang saja.” seorang Bapak  berkata.
                Sri melihat pemandangan itu dengan kepala sendiri. Entah ada dorongan darimana ketika  tiba-tiba saja tubuhnya melayang di udara, menceburkan diri ke lautan luas. Dalam bayangan hanya ada Darmi, bocah autis yang selalu menyendiri. Tak dipikirkannya ketika berpuluh pasang mata menyaksikan Sri yang gegas membelah laut hanya untuk mencari Darmi.
                “Ayo, Sri berenang terus. Carilah Darmi sampai ketemu.” Tiba-tiba penduduk bersuara. Mereka terlongo. Menyaksikan Sri yang berenang secepat kilat. Dalam sekejap tubuhnya telah berada jauh dari pandangan. Ibarat mata panah yang meluncur tak terhitung dari pandangan. Sri, menjadi bahan cerita seketika. Super hero yang sepertinya ditunggu dan menjadi harapan satu-satunya agar Darmi selamat.
                Apalagi ketika sekonyong-konyong datang Daro- sang pelaut sejati. Yang konon telah berpengalaman menyelami angkara sang lautan. Sang perenang sejati yang selama ini dielukan pendudukan, datang dengan tangan hampa.
                “Mana Darmi, Ro? Tidak kau dapatkan?” Tanya Bahlun tiba-tiba. Menyambut sahabatnya yang baru saja sampai.
                “Ombak di tengah sedang tidak bersahabat. Aku tak mungkin mencarinya lebih lama. Daripada aku menjadi korban. Ayo kerahkan  semua kapal, Lun.” Daro mengibaskan rambutnya. ”Ayo bubar. Ngapain kalian berada di pinggir laut. Sudah, nanti juga Darmi ketemu. Kapal sedang mencarinya.”
                “Semoga Sri menemukan anak kita. Pak?” sesunggukan seorang Ibu, menyadarkan Daro bahwa sang penyelamat tengah ditunggu para penduduk.
                “Apa benar anak sialan itu menceburkan diri ke lautan? Mencoba menjadi pahlawan?” tanyanya nyinyir pada Bahlun.
                “Iya. Semoga saja ia berhasil membawa Darmi.”
                “Hem... paling ia akan menjadi tumbal sagara.” Daro terkekeh.
                “Horee... Sri kembali. Lihat ia membawa Darmi kembali.” Sorak peduduk di tepi lautan.
                Daro terkejut. Meihat ke arah lautan. Lambat-lambat. Ia melihat sosok yang dikenalnya. Dengan kekar ia memanggul seseorang.
                “Hem.... dasar cari muka, kamu anak sialan.!” Daro mendekat. Melengos ketika tatapannya bersirobok dengan Sri sang penyelamat.
                “Wah, kamu jagoan Sri. Hebat! Berenangmu itu wah. Ckck, aku kagum padamu. Ternyata kau dapat mengalahkan sang jagoan legendrais daerah kita. Bang Daro.” Seseorang berkata. Dan ini membuat merah padam wajah Daro. Ia merasa diperolok.
                “Diam kau Bani. Ngapain kamu mengagungkan dia. Anak sialan ini.”
                “Ah, Abang ini apa tak lihat? Seharusnya kita bersyukur dan berbangga hati. Darmi akhirnya dapat terselamatkan berkat Sri.”
                “Pantas. Karena dia anak dari Penunggu sagara ini.” Daro berkata, meninggalkan kerumunan.
                Satu persatu penduduk mulai meninggalkan pesisir, setelah Darmi siuman dan dibawa ke rumahnya. Sri terjerembab oleh cerita Daro  yang baru saja didengar.
                Terpekur sendiri diiringi ombak yang bergemuruh. Ada air mata yang tiba-tiba mengalir. Anak sagara? Benarkah apa yang orang-orang ceritakan selama ini? terngiang kata-kata Ema. Suatu waktu, anak sagara akan ketika penduduk mengalami celaka. Anak bertato naga yang akan membawa perubahan penduduk menuju kebaikan.
                Diusapnya lelehan air mata. Memandang ke kejauhan, lepas ke sagara nan luas. Dilintingnya celana yang basah menutupi kakinya. Tato naga terlihat jelas di kakinya. Anak sagara benar-benar ada.***
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar