Kamis, 09 April 2015

Puisi

Dimuat di Majalah Guneman No 5, Februari 2015. Alhamdulillah :)

PUISI
Do’a Ibu di Penghujung Senja
Oleh: Nina Rahayu Nadea

1/
Langit dengarlah bisikanku.  Bukankah kau sang pemayung sejati dari  kehidupan. Tolong jaga anak-anakku. Berikan ia waktu tuk terus berdiri menata kebajikan dari sang waktu yang terus memburu. Dari lara yang senantiasa menguntit jiwa. Bukankah kau sang pemberi damai abadi? senantiasa kau keringkan tubuh-tubuh anakku yang baru saja tersirami hujan yang meluluhkan semangatnya untuk maju. Dan sesekali kau cipratkan air do’a di tubuhnya yang  membara dari panas hati yang tercabik oleh nafsu dan dengki.

2/
Angin mendekatlah. Kau abstrak yang kunanti. Titip rindu untuk buah hatiku. Semaikanlah ridho di hatinya di kala aku pergi. Kuyakin kepadamu. Bukankah kau sang pemberi mimpi.  Ninabobokanlah anak-anakku dengan nyanyian indah lewat semilir yang mendayu hingga melupakan rasa sakit yang menggebu. Tapi kala tertidur lelap melupakan sang Kholik tamparlah ia dengan hembusan kerasmu, jangan kau biarkan mereka terlena dengan kenikmatan dunia sesaat. Jangan kau biarkan tangisnya membuncah hanya karena rasa rindu padaku.

3/
Hujan siramilah tubuhku yang kelu. Lihatlah satu persatu anakku yang menangis pilu. Bersujud di jasad yang membatu. Jangan kau biarkan tangisnya memberatkan langkahku. Aku yakin padamu bisa lenyapkan duka dari mata yang sembab dari air mata yang menganak sungai membuat getir di hidupnya. Jangan kau biarkan kolam air mata tergenang di hadapanku, buatlah hatinya luruh. Lenyapkan dukanya seperti halnya engkau yang mengguyur ribuan tanah terjal, meluluhlantakan tanah berbatu dan meresap ke dasaran bumi hanya sesaat. Jadikan airmatanya hanya untuk rasa bahagia.

4/
Wahai senja yang kunanti mendekatlah. Aku tlah siap menantimu. Antarkan aku ke nirwana segera. Jangan kau biarkan hatiku ragu berlalu. Yakinlah jiwaku tersebar mengitip dari langit dari celah mega dari rinai hujan dari lirih angin semua hanya tuk anakku terkasih

5/
Anakku terkasih hapus air matamu.  Do’a ibu bersamamu,  tlah kutitipkan kalian pada  Surya yang menghangatkan jiwamu pada Chandra yang meneduhkan batinmu pada Wisnu yang menghapus panas hatimu. Anak-anakku yakinlah do’a ibu senantiasa teruntai untukmu. Kalau kau rindu ibu nantilah senja yang kan menitimu pada titian  waktu



PUISI
Ketika Ibu Pergi
Oleh: Nina Rahayu Nadea

1/
Terima kasih air mataku  yang telah membasuh dahaga di kelopak mataku. Tahukah kau? betapa aku sangat terluka, betapa hati tercabik pilu.  Tahukah kau? tak pernah ada yang sanggup menghilangkan duka nestapa yang membahana dalam gelisah hati yang kian temaran. Terima kasih air mata karena kau, aku bisa terisak meratapi kemelut yang begitu membuncah dalam anganku mengibaskan sang kelana duka yang keluar dari rimba hatiku, hingga aku tetap berdiri pada pijakan. Tahukah kau? berkatmu aku menangis, tersedu dan sesunggukan teramat sangat, berkatmu aku mengerti dan menyadari betapa hidup sangat berguna.Tahukah kau aku begitu bahagia, bahwa ketika  hati yang begitu terluka kau masih setia menemaniku dalam kamar sempitku. Sementara orang-orang membiarkanku dalam kesendirian, melesapkanku dalam bawah sadar. Tapi berkatmu air mata, aku dapat merasakan pedih dan getirnya hidup yang tak pernah satu orang pun tahu tentang hatiku.

2/
Semenjak ibu pergi, hanya kau teman setiaku, dan aku begitu terlena. Kau antar aku pada kenangan terindah. Kau antar aku memunguti puzzle kenangan yang tercecer dalam uluran waktu yang telah berlalu, tapi dengan sabar kau tuntun aku hingga aku merasakan nikmat yang begitu dahsyat.  Kau buat kejutan untukku dengan menghadirkan puzzle utuh ‘kau hadirkan ibu di hadapanku’, dan ketika air mata tanda bahagia menemaniku, aku tersadar bahwa ibu telah tiada, ibu pergi tuk selamanya.


3/
Maafkan aku air mataku, jika kuhapus kau dari bibirku yang mengering, dari pipiku yang cekung dari mataku yang keropos. Aku harus bangkit dan berdiri. Aku harus merelakan ibuku pergi tuk selamanya. Lihatlah aku begitu terluka, kulihat anak-anakku, buah hatiku tercinta berdiri mematung di hadapanku. Dari matanya mengeluarkan air mata yang bercucuran tak berkesudahan. Mereka memanggil “Ibu...ibu”. Ah, baru aku tersadar betapa aku harus bangkit dari keterpurukan, laraku harus menjauh demi anakku.

Haturan Ibu, Miss you

1 komentar: