Dimuat di Sastra Sumbar, 9 Mei 2015
Ditikam Cerita
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Ombak
bergemuruh. Suaranya meretas sampai ke langit. Bersorak kegirangan, menemani
malam yang pekat. Malam yang bermisteri. Deburannya menghantam pesisir, kembali
lagi ke laut, terkadang ke tengah terkadang ke samping, mengular. Sesekali
lidahnya terulur membersihkan percikan darah di pesisir pantai. Darah misterius.
Seakan tak bosan ombak itu terus mengumpat, bersuara, bergerak
ke sana ke mari bergoyang berpesta kemenangan.
Samar-samar
dari kejauhan terdengar suara. Terkadang tangisan sesunggukan, terkadang
bersuara lantang memecah kesunyian malam yang gulita. Senyap. Kembali lagi
kegaduhan terdengar.
“Badrun!
Dimana, kau?” ujar laki-laki itu. Duka membayang di wajahnya. “Mana anakku?!”
Suaranya menguar, isaknya menjadi. Berontak. Ketika tangan-tangan mulai
mencengkramnya. Memberinya air do’a untuk penenang.
“Sabar
Dende, nanti kita cari.”
“Siapa
orang yang berani mengambil anakku?” Mata membelalak. Mengusap air mata yang
jatuh. Sakit hati dan kesepian bergumul di dadanya. “Paozan, kau harus cari
kakakmu. Sampai ketemu!”
“Ya,
akan saya cari, Pak.”
“Sabar
ya, Pak,” isak perempuan muda di sampingnya. Merangkul laki-laki itu.
“Kamu
yang harus lebih sabar, Imah. Bapak kuat. Kamu harus lebih kuat. Ingat sebentar
lagi kau jadi mantuku, kau akan menikah dengan Bad....”
Kalimatnya
menggantung di ujung lidah. Termakan sedih yang tiada terkira. Ditikam luka
yang begitu mendalam. Kiranya ia lupa
apa yang terjadi. Yah kesedihan, telah mencakar pikirannya, hingga perkataan
terkadang melayang entah kemana. “Imah, do’akan mudah-mudahan calon suamimu cepat
ketemu.”
Saimah
mengangguk. Wajahnya ia lipat ke dadanya, mengusap air mata. Beringsut menghindar
dari orang lain. Menyepi.
“Mah...
Mah...nasibmu, baru saja kau akan bahagia karena akan menikah dengan anak orang
kaya. Tapi....”
“Ssst...jangan
keras-keras, nanti terdengar,” seorang Ibu menyikut lengan. “Moga Badrun cepat
ketemu.”
“Ya
moga saja. Jangan sampai nasibnya seperti
Sabrun, adiknya Dende, tak kembali sampai kini.”
*
“Kumpul
semuanya kumpul,” suara kentongan dipukul
peronda. Memecah kesenyapan, kampung menjadi riuh. Orang-orang yang sedang
tertidur seketika bangun. Keriuhan tejadi di sana sini.
“Ada
apa?” tanya orang-orang dengan sedikit linglung. Matanya mengerjap terkena
lampu. Kantuk masih menguasai mereka.
“Badrun
hilang.”
“Hilang?”
“Iya
hilang misterius.”
“Barusan
aku diutus Dende untuk mengumpulkan orang sekampung. Tugas kita sekarang, untuk
mencari anaknya, mudah-mudahan ketemu. Dende berjanji akan memberikan hadiah yang
besar bagi siapa saja yang menemukan anaknya.”
Semua
menelusuri jalan yang kiranya memudahkan penemuan. Menelusuri jejak yang
nyata-nyata sudah ada. Jejak dari sebuah benda yang digusur begitu
kentara. Jejak yang kemudian berakhir di pesisir pantai. Pantai Tanjung
Menangis. Di pinggir pantai mereka terkesiap ketika melihat tetesan darah.
“Apakah
ini darah Badrun?”
“Entahlah.”
Semua
orang mematung. Seribu tanya dan kecemasan memenuhi otaknya. Ketakutan mulai menguasai
mereka. Ketika dilihatnya laut lepas. Laut yang seolah bersorak menyambut
kedatangan mereka. Gemuruh. Sesekali terdengar suara-suara aneh. Desis yang
aneh. Menyelusup ke setiap debar dada. Mereka saling berpandangan, menguasai
perasaan masing-masing dengan gigil takut yang begitu menjadi.
“Apa
sebaiknya kita cari besok saja, Pa?”
“Ya.
Cuaca sedang tidak bersahabat,” sang tetua manggut.
Sekampung sibuk bercerita, mulai
merangkai kata tentang gerangan sang
pelaku. Tabir yang kini mengungkung Pringgabaya.
Tapi banyak diantara mereka yang seakan
tak mau bercakap. Memilih diam dan berselimut di balik cerita bermisteri. Ketakutan
mulai bertamu di hatinya. Mereka diam dalam pikirannya sendiri, menutup cerita
malam yang dipenuhi misteri. Misteri Badrun yang menghilang. Misteri Pringgabaya yang menyimpan tabir.
Apakah sang penunggu meminta
sesajen? Para tetua dan yang lainnya mulai berpikir ke arah mistik. Yah,
Tanjung Menangis terlupakan. Bukankah selama ini leluhur telah mewanti-wanti
agar senantiasa memberi sesajen secara rutin.
Begitulah
semenjak Badrun menghilang. Pringgabaya menjadi sepi. Setiap orang takut untuk
ke luar rumah. Apalagi sang pelaku belum ditemukan. Mereka takut kalau-kalau pelaku
itu datang ke rumah mereka dan mengambil paksa nyawa. Yang paling ditakutkan
mereka, pelakunya adalah benar-benar
dari penguasa gaib yang murka karena tak
kunjung diberi sesajen.
Mulai
dari itu tetua mengumpulkan warga menyerukan keinginannya. Dan menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi.
“Mulai
sekarang kita bersama merawat dan melakukan ritual seperti dulu lagi. Menyiapkan kerbau dan
beberapa sesajen untuk sang penghuni laut yang murka. Mereka marah karena kita tak
memberikan sesajen. Ritual rebo buntung nyaris kita lupakan.”
“Tapi
kerbau itu kan mahal?”
“Saya
tidak memaksa kalian. Saya hanya ingin ketentraman di sini. Jangan sampai bencana itu terjadi lagi.”
Semua diam. Tak berani mengelak. Karena
demikian adanya. Takut begitu menguntit. Kematian seolah mengikuti kemanapun
mereka pergi. Kematian yang tidak wajar. Badrun meninggal dengan cara yang
tidak wajar. Dia diambil paksa oleh sang penguasa laut.
“Ambil
saja kerbauku berapa kalian mau,” Dende yang sedari tadi diam ikut bicara.” Aku
tak mau nasib anak dan adikku menimpa kalian.”
Semenjak
itu, penduduk kampung mulai siaga dan berpatroli meningkatkan ritual yang sudah
terlupa. Meruwat kampung juga pesisir pantai semua dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Yang diharap hanya satu. Keselamatan tetap ada dalam kampung ini. Demi kenyamanan dan keamanan
kampung, kegiatan ritual yang telah lama menghilang dilakukan kembali.
Hanya bercak darah di pesisir
pantai yang menjadi saksi, gerangan apa yang terjadi dengan Badrun malam itu?
Malam petaka.
Seseorang
menatap jendela kamar. Dari kejauhan ia melihat ritual yang sedang dilakukan
banyak orang. Dengan dada berdebar ia mengintip dari celah jendela bilik
kamarnya. Suara deburan ombak sama seperti deburan hati. Sekilas diliriknya photo
ibunya yang telah tiada, tergantung di sebelah lemari kamarnya.
“Semoga
kau tenang di sana,” ia menghapus air mata, sekilas dilihatnya lemari yang
tertutup rapat. Ada yang berderit nyeri setiap melihat lemari yang tertutup
rapat. Sangat rapat. Tapi kali ini seperti ada sesuatu yang menyuruhnya untuk
membuka. Ia begitu merindu. Malam-malam seperti ini selalu mengingatkannya pada
Ibu.
Sejenak
mematung di hadapan lemari. Lambat ia membuka pintu, mengeluarkan sesuatu dari
lemarinya. Sesuatu yang ditutup kain putih. Dibuka dengan hati-hati. Semakin
terbuka semakin terlihat darah yang sudah mengering kaku, mengeras. Diambilnya keris
yang ada di sana. Keris yang berkarat karena telah memakan darah Badrun. Keris
yang lapar, kini menyuruhnya untuk memangsa baru.
“Besok Subuh ketika fajar
menyingsing. Kita akan kembali ke tanah Jawa. Aku tak mau kau teringat masalah
yang telah terjadi.” Seseorang menyadarkannya.
Ia tersenyum. Meninggalkan
kenangan di tanah Pringgabaya yang baru 3 tahun mereka jajaki. Yah, mereka ke
sini sebagai penghuni baru. Karena ajakan seseorang untuk mengadu nasib.
Tergambar
jelas kepedihan dan duka ibunya ketika menceritakan siapa sebenarnya ayahnya. Ayah
yang telah tega mengusir Ibu dari tanah kelahirannya. Yang lebih menyedihkan Ibu
pergi ketika mengandung. Ibu dianggap pembawa bencana, telah mengotori tanah
leluhurnya. Hingga akhirnya dengan perut membuncit meninggalkan tanah kelahiran. Perbuatan
laki-laki biadab yang tidak pernah mau bertanggung jawab.
Langit
gelap. Dari kejauhan terdengar lolongan anjing yang menakutkan. Ditatapnya
kembali lekat wajah ibunya.
“Aku
mohon restu Ibu, aku akan membalas semua kepedihanmu. Aku ingin dia mati
ditikam cerita penuh misteri.” matanya
nyalang memandang kejauhan. “Paozan malam ini kau akan menemani Badrun. Aku
ingin menyaksikan laki-laki itu kesepian seumur hidup. Dende, kau tak layak
kupanggil Ayah,” Saimah menggertak.***
Nina
Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya
dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia,
Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah
Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah
Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,
Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah Guneman,
Majalah Kandaga, Majalah Loka, Majalah HAI, dll