Kucing
Ireng
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Semenjak
suamiku mempunyai pekerjaan tetap, kini hari-hariku berubah. Tak lagi kudengar
hinaan dan cemooh orang seperti dulu. Wajar, karena dulu aku kerap menyusahkan
mereka, terutama dalam hal keuangan. Anak-anakku pun dapat dengan bebas dan tenang bersekolah,
tanpa perlu memikirkan biaya. Tidak seperti dulu mogok sekolah karena malu.
Malu ditagih pihak sekolah karena belum bayaran, juga dikucilkan teman-teman
karena anak yang tidak mampu.
Masih
ingat saat itu, ketika suatu hari suamiku, Mas Joko datang ke rumah dengan
tumpukan uang ditangannya. Senyum merona terlihat jelas dari pipinya.
“Mas
ini uang siapa?” Aku tertegun menatap tumpukan uang di atas meja. Seperti tak
percaya berulang kali aku pegang. Seumur hidup ini kali pertama melihat uang sebanyak
itu.
“Uangku
lah,” ucapnya jelas dengan mata
berbinar.
“Uangmu?
Mas, eneng-eneng wae,” mataku melotot.
“Mas, uang dari mana? Aku tak mau kau melakukan...”
“Tenang
Lastri. Bojoku sing ayu. Mulai sekarang
kita akan terbebas dari kemiskinan. Mulai sekarang orang yang selalu mencemooh,
menghina kita kini akan bertekuk lutut. Dan menghormati kita.”
“Aku
semakin tidak mengerti, Mas. Jawab pertanyaanku. Ini uang siapa? Aku tak mau kau menghidupi kami dengan
harta haram,” aku bergegas ke kamar. Menangis sesunggukan.
“Hei...hei....
Ojo nangis disik. Suami punya rejeki
bukannya seneng malah nangis. Sampeyan
eneng-eneng wae, De.”
“Bukannya
tak senang, tapi aku ingin Mas jujur.” Aku membalikan wajah. Membelakangi
suamiku.
“Ada
seseorang yang ngasih modal padaku,” ucap Mas Joko. “Akan aku gunakan uang ini
untuk membuat bengkel. Di tanah kita yang di pasir sana. Hahaha. Akhirnya aku akan
mendapatkannya. Lihat saja, bengkel Pak Mangidim sebentar lagi akan bangkrut
karena ada saingan,” suamiku tertawa kegirangan.
“Mbo ya Istigfar, to Mas, ” aku mendiamkan
tawanya.
“Up
lupa, saking bahagianya.”
“Tapi
siapa yang memberimu modal, Mas?”
“Tak
perlu kau tau, yang penting dengan uang ini kita akan membina hidup baru ke
arah jalan yang baik. Sing penting awake
dewe bahagia. Dadi wong sugih.”
Begitulah
pada akhirnya, semenjak keluarga kami memiliki bengkel di pasir itu, kehidupan
kami membaik. Dapat hidup tenang. Orang-orang yang biasanya gemar memergunjingkan
kami yang miskin. Bungkam. Malah kini berbalik. Menjadi baik dan hormat padaku,
malah diantara mereka ada yang menjadi pekerja di bengkel kami. Bengkel yang
bergerak dalam usaha bubut. Seperti miliknya Pak Mangidim. Bersaing.
Kendati,
aku sering kehilangan Mas Joko. Hatiku yang dulu bahagia karena senantiasa
bersama. Bersama dalam kekurangan dan kesederhanaan. Tapi kini? Walau
bergelimang harta ada sesuatu yang lain. Hatiku serasa senyap. Mas Joko kerap
tak pulang ke rumah. Dalam satu minggu, selalu ada saja alasan untuk tidak
pulang ke rumah. Ia lebih menyukai bermalam di bengkel. Mengatarkan orderan
lah, menemani anak buah yang lemburlah dan lain-lain. Asalnya aku protes dan
selalu menyuruhnya untuk pulang ke rumah.
“Ingat,
Las. Aku bekerja ini demi kamu. Untuk kebahagiaan anak-anak. Apa kau mau kita
hidup sengsara lagi. Dihina orang lagi. Tak tau diri sekali,” suami berlalu
dengan kemarahan terpancar jelas di wajahnya.
“Yo wis toh seliramu ora usah nesu.“ Tak
mau pertengkaran berlanjut. Aku segera menyusul Mas Joko. Memeluknya. ”Aku nyaluk ngapuro, Mas. Aku hanya takut
karena harta kau melupakan keluargamu sendiri,” aku menatap wajah suamiku.
Menghapus keringat karena kemarahan di dahinya. Membuat marahnya menjadi
mereda.
“Ngak mungkin aku lupa keluarga,
Las. Aku bekerja siang malam hanya untuk kalian,” suaranya mereda.
”Ya sudah berangkatlah, jangan kau
pikirkan ucapanku tadi ya, Mas,” aku melepas pelukanku, menghantarkan ia sampai
ke gerbang pintu.
Semenjak itu aku tak pernah
bertanya lagi tentang alasan dia tidak pulang ke rumah. Aku berusaha membuat
batinku sendiri percaya, bahwa pekerjaan di bengkel begitu menumpuk dan membuat
waktu suamiku mepet, sehingga lupa untuk
pulang. Aku begitu mengerti karena aku pun
merasakan orderan semakin hari semakin meningkat. Dan kini kurasakan, perolehan
hasil dari bengkel, dapat dinikmati oleh aku juga anakku. Yang mengingatkanku akan
kesepian yang menderaku adalah dengan membayangkan dan mengingat masa lalu yang
susah. Masa dulu dimana aku harus bertemu tetangga untuk meminjam.
“Mau apa Lastri ke sini? Pasti mau
ngutang yah,” selidik bu Ngatiem.
Aku menunduk, memang begitu adanya
aku akan meminjam beras. Kebetulan persediaan beras habis sama sekali. Sedang
anak-anakku belum makan dari pagi. Tapi, akhirnya kuurungkan niat, ketika
pernyataan bu Ngatiem membuat dadaku berdenyut, teramat sakit.
“Maaf ya Las, warung ini bukannya
warung yang bebas kamu ambil isinya, tanpa pernah kau bayar. Kalau kau ambil
setiap hari dengan gratis, bisa-bisa bangkrut warung ini.”
Aku membisu. Menghapus air mata di
pipi.
“Ya sudah makasih ya, Bu.” Aku berlalu,
meninggalkan tatapannya yang begitu
membuas. Hatiku semakin ngungun, ketika membayangkan anak-anakku di rumah menunggu
kedatanganku. Berharap membawa segenggam beras yang mampu menghilangkan lapar
yang bertamu. Berjalan gontai dengan isak tertahan, yang pada akhirnya hanya
membuat sungai kependihan dan kemudian jatuh ke tanah yang gersang. Gersang,
seumpana hati yang juga gersang kerontang.
***
Malam
semakin merangkak, jarum jam semakin bergerak cepat menunjuk ke angka 12.
Lolongan anjing begitu terdengar. Di sana, di kejauhan. Terkadang dekat terkadang
jauh. Samar-samar. Kutatap anak bungsuku
yang tertidur lelap.
“Maafkan,
Nak. Bila bapakmu akhir-akhir ini jarang sekali bermalam di rumah. Bercengkrama
denganmu,” kukecup kening anakku yang tertidur lelap. Ya Alloh, sedang apakah Mas
Joko kini, entah berapa malam ia tak datang ke rumah, batinku. Kesepian kini merayapi hati memasuki
lorong-lorong senyap yang tak tertabur rindu suami.
Kubayangkan
ketika dulu. Ketika kantukku tak segera datang padaku. Mas Joko akan dengan
segera menemani. Mengajak bicara. Melepas rindu yang menjadi. Hingga akhirnya
aku dapat tertidur pulas dalam pelukan Mas Joko. Tapi kini, di saat hati begitu
gelisah, disaat kerinduan datang menghujam, tak seorang pun menghiburku. Menghilangkan
gundah gulana.
Aku
terdiam dalam kehampaan. Sendirian menikmati rintikan hujan yang jatuh ke
genting atap rumahku. Mengintip dari jendela kamarku. Tak puas menyirami dengan
setitik kecil, hujan rintik berganti deras. Mengguyur.
“Ya
Tuhan jangan terjadi apa-apa dengan Mas Joko,” aku bergidik, ketika mengingat
tadi pagi baru saja terjadi bencana yang besar. Rumah roboh karena hujan yang begitu deras. Teringat waktu
sebuah stasiun televisi menyiarkan aksi perampokan yang membuat penghuni rumah
terbunuh.
Teringat ke sana. Tak memikirkan
rasa takut. Aku bergerak. Gegas segera menuju bengkel yang
berada di penghujung kampung ini.
Langkahku
ditemani dengan hujan deras. Sesekali lolongan anjing terdengar jelas. Tuhan lindungi
suamiku, aku tak henti-hentinya berdo’a. Bayangan wajah suami yang kurindu
menyemangati langkahku untuk mengalahkan rasa takut yang mendera hatiku. Tak kupedulikan
hujan deras, dan lolongan anjing. Kuhilangkan rasa takutku. Kini kuperhatikan atap bengkel mulai terlihat.
Samar.
Seakan
ada tenaga, aku mempercepat langkahku yang sudah sedikit lemah. Tujuanku hanya
satu, bertemu Mas Joko yang kurindu. Ingin melihat keadaannya baik-baik saja.
“Mas...Mas...!”
kuketuk pintu bengkel di depanku.
Senyap.
“Mas....
Mas...,”kuketuk kembali semakin keras.
Tapi
lama aku mematung di depan pintu. Tak ada tanda-tanda suamiku akan membuka
pintu. Batinku semakin dipenuhi kecemasan, menggunung. Bayangan laki-laki yang
dibunuh berlumuran darah bermain di pelupuk mataku. “Semoga kau baik-baik saja,
Mas,” gumanku.
Aku
berputar ke belakang. Mengedarkan pandangan ke kiri ke kanan. Gelap. Ada harapan
yang besar, ketika aku menengadah. Melihat cahaya dari gudang yang berada di
lantai 2. Mungkin Mas Joko ada di sana. Tapi jalan ke mana yah? Semua pintu
terkunci.
“Itu
dia,” aku bersorak ketika kulihat sebuah tangga. “Mungkin ini dapat membantuku.”
Dengan sekuat tenaga aku mengambil tangga itu. Menempatkannya tepat di bawah
jendela gudang.
Segera
aku menaiki tangga, semakin atas aku semakin bersemangat, apalagi kulihat bahwa
jendelanya sedikit terbuka. Akan memudahkanku masuk ke dalam gudang. Tapi pada
saat langkahku mendekat ke bawah jendela. Aku sedikit terkejut ketika mendengar
suara. Kupasangkan telingaku. Menyimak dengan seksama suara yang terdengar.
“Ya
Tuhan, jangan...jangan...,” aku menutup mulutku. Takut jerit halusku terdengar
Mas Joko. Suara itu.... Desah yang
beradu. Menyatukan gelora asmara yang kian mengangkasa. Suara-suara dari dorongan
sebuah birahi. Menyatukan dua insan yang saling menghangatkan cinta. Menyatukan
rindu dari rindu yang bergelora. Nafasku memburu, dipenuhi kemarahan yang luar
biasa, mengingat semua itu. Tega-teganya suami melakukan perbuatan nista.
Pantaslah, berhari-hari tak pulang ke rumah karena ada seseorang yang
membelainya. Memberinya cinta. Dengan kemarahan yang melanda aku membuka
jendela tergesa. Kemarahan memuncak ketika melihat keadaan suamiku. Telanjang bermain
cinta, bermain dalam kepedihan hatiku.
“Mas,”
aku berteriak.
Suamiku
terkejut, melihat ke arahku.
Tak
kusiakan waktu untuk segera masuk, melihat orang yang tega mengambil cinta Mas
Joko, suamiku. Terlihat, nyata. Kucing ireng.***
Kucing Ireng= Kucing hitam
Mas,
eneng-eneng wae= Mas, ada-ada saja
Bojoku sing
ayu= Istriku yang cantik
Ojo nangis
disik= Jangan nangis dulu
Sampeyan
eneng-eneng wae, De= Kamu itu ada-ada saja, De
Mbo ya
Istigfar, to Mas= Istigfar lah, Mas
Sing penting
awake dewe bahagia. Dadi wong sugih= Yang penting kita bahagia. Jadi orang kaya
Yo wis toh
seliramu ora usah nesu= Ya sudah kamu jangan marah lagi
Aku nyaluk
ngapuro, Mas= Maafkan aku ya, Mas
Nina
Rahayu Nadea. Lahir di Garut, 28 Agustus. Menulis dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:
Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa
Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh,
Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang,
Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Majalah Bobo, Buletin jejak, Koran
Sastra Sumbar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar