Jumat, 25 Desember 2015

Kucing Ireng

Dimuat di Radar Bayuwangi, Minggu 8 November 2015



Kucing Ireng
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Semenjak suamiku mempunyai pekerjaan tetap, kini hari-hariku berubah. Tak lagi kudengar hinaan dan cemooh orang seperti dulu. Wajar, karena dulu aku kerap menyusahkan mereka,  terutama dalam hal keuangan.  Anak-anakku pun dapat dengan bebas dan tenang bersekolah, tanpa perlu memikirkan biaya. Tidak seperti dulu mogok sekolah karena malu. Malu ditagih pihak sekolah karena belum bayaran, juga dikucilkan teman-teman karena anak yang tidak mampu.
                Masih ingat saat itu, ketika suatu hari suamiku, Mas Joko datang ke rumah dengan tumpukan uang ditangannya. Senyum merona terlihat jelas dari pipinya.
                “Mas ini uang siapa?” Aku tertegun menatap tumpukan uang di atas meja. Seperti tak percaya berulang kali aku pegang. Seumur hidup ini kali pertama melihat uang sebanyak itu.
                “Uangku lah,”  ucapnya jelas dengan mata berbinar.
                “Uangmu? Mas, eneng-eneng wae,” mataku melotot. “Mas, uang dari mana? Aku tak mau kau melakukan...”
                “Tenang Lastri. Bojoku sing ayu. Mulai sekarang kita akan terbebas dari kemiskinan. Mulai sekarang orang yang selalu mencemooh, menghina kita kini akan bertekuk lutut. Dan menghormati kita.”
                “Aku semakin tidak mengerti, Mas. Jawab pertanyaanku. Ini uang  siapa? Aku tak mau kau menghidupi kami dengan harta haram,” aku bergegas ke kamar. Menangis sesunggukan.
                “Hei...hei.... Ojo nangis disik. Suami punya rejeki bukannya seneng malah nangis. Sampeyan eneng-eneng wae, De.”
                “Bukannya tak senang, tapi aku ingin Mas jujur.” Aku membalikan wajah. Membelakangi suamiku.
                “Ada seseorang yang ngasih modal padaku,” ucap Mas Joko. “Akan aku gunakan uang ini untuk membuat bengkel. Di tanah kita yang  di pasir sana. Hahaha. Akhirnya aku akan mendapatkannya. Lihat saja, bengkel Pak Mangidim sebentar lagi akan bangkrut karena ada saingan,” suamiku tertawa kegirangan.
                Mbo ya Istigfar, to Mas, ” aku mendiamkan tawanya.
                “Up lupa, saking bahagianya.”
                “Tapi siapa yang memberimu modal, Mas?”
                “Tak perlu kau tau, yang penting dengan uang ini kita akan membina hidup baru ke arah jalan yang baik. Sing penting awake dewe bahagia. Dadi wong sugih.”
                Begitulah pada akhirnya, semenjak keluarga kami memiliki bengkel di pasir itu, kehidupan kami membaik. Dapat hidup tenang. Orang-orang yang biasanya gemar memergunjingkan kami yang miskin. Bungkam. Malah kini berbalik. Menjadi baik dan hormat padaku, malah diantara mereka ada yang menjadi pekerja di bengkel kami. Bengkel yang bergerak dalam usaha bubut. Seperti miliknya Pak Mangidim. Bersaing.
                Kendati, aku sering kehilangan Mas Joko. Hatiku yang dulu bahagia karena senantiasa bersama. Bersama dalam kekurangan dan kesederhanaan. Tapi kini? Walau bergelimang harta ada sesuatu yang lain. Hatiku serasa senyap. Mas Joko kerap tak pulang ke rumah. Dalam satu minggu, selalu ada saja alasan untuk tidak pulang ke rumah. Ia lebih menyukai bermalam di bengkel. Mengatarkan orderan lah, menemani anak buah yang lemburlah dan lain-lain. Asalnya aku protes dan selalu menyuruhnya untuk pulang ke rumah.
                “Ingat, Las. Aku bekerja ini demi kamu. Untuk kebahagiaan anak-anak. Apa kau mau kita hidup sengsara lagi. Dihina orang lagi. Tak tau diri sekali,” suami berlalu dengan kemarahan terpancar jelas di wajahnya.
                Yo wis toh seliramu ora usah nesu.“ Tak mau pertengkaran berlanjut. Aku segera menyusul Mas Joko. Memeluknya. ”Aku nyaluk ngapuro, Mas. Aku hanya takut karena harta kau melupakan keluargamu sendiri,” aku menatap wajah suamiku. Menghapus keringat karena kemarahan di dahinya. Membuat marahnya menjadi mereda.
“Ngak mungkin aku lupa keluarga, Las. Aku bekerja siang malam hanya untuk kalian,” suaranya mereda.
”Ya sudah berangkatlah, jangan kau pikirkan ucapanku tadi ya, Mas,” aku melepas pelukanku, menghantarkan ia sampai ke gerbang pintu.
Semenjak itu aku tak pernah bertanya lagi tentang alasan dia tidak pulang ke rumah. Aku berusaha membuat batinku sendiri percaya, bahwa pekerjaan di bengkel begitu menumpuk dan membuat waktu  suamiku mepet, sehingga lupa untuk pulang. Aku begitu mengerti karena  aku pun merasakan orderan semakin hari semakin meningkat. Dan kini kurasakan, perolehan hasil dari bengkel, dapat dinikmati oleh aku juga anakku. Yang mengingatkanku akan kesepian yang menderaku adalah dengan membayangkan dan mengingat masa lalu yang susah. Masa dulu dimana aku harus bertemu tetangga untuk meminjam.
“Mau apa Lastri ke sini? Pasti mau ngutang yah,” selidik  bu Ngatiem.
Aku menunduk, memang begitu adanya aku akan meminjam beras. Kebetulan persediaan beras habis sama sekali. Sedang anak-anakku belum makan dari pagi. Tapi, akhirnya kuurungkan niat, ketika pernyataan bu Ngatiem membuat dadaku berdenyut, teramat sakit.
“Maaf ya Las, warung ini bukannya warung yang bebas kamu ambil isinya, tanpa pernah kau bayar. Kalau kau ambil setiap hari dengan gratis, bisa-bisa bangkrut warung ini.”
Aku membisu. Menghapus air mata di pipi.
“Ya sudah makasih ya, Bu.” Aku berlalu, meninggalkan  tatapannya yang begitu membuas. Hatiku semakin ngungun, ketika membayangkan anak-anakku di rumah menunggu kedatanganku. Berharap membawa segenggam beras yang mampu menghilangkan lapar yang bertamu. Berjalan gontai dengan isak tertahan, yang pada akhirnya hanya membuat sungai kependihan dan kemudian jatuh ke tanah yang gersang. Gersang, seumpana hati yang juga gersang kerontang.
***
                Malam semakin merangkak, jarum jam semakin bergerak cepat menunjuk ke angka 12. Lolongan anjing begitu terdengar. Di sana, di kejauhan. Terkadang dekat terkadang jauh. Samar-samar.  Kutatap anak bungsuku yang tertidur lelap.
                “Maafkan, Nak. Bila bapakmu akhir-akhir ini jarang sekali bermalam di rumah. Bercengkrama denganmu,” kukecup kening anakku yang tertidur lelap. Ya Alloh, sedang apakah Mas Joko kini, entah berapa malam ia tak datang ke rumah, batinku.  Kesepian kini merayapi hati memasuki lorong-lorong senyap yang tak tertabur rindu suami.
                Kubayangkan ketika dulu. Ketika kantukku tak segera datang padaku. Mas Joko akan dengan segera menemani. Mengajak bicara. Melepas rindu yang menjadi. Hingga akhirnya aku dapat tertidur pulas dalam pelukan Mas Joko. Tapi kini, di saat hati begitu gelisah, disaat kerinduan datang menghujam, tak seorang pun menghiburku. Menghilangkan gundah gulana.
                Aku terdiam dalam kehampaan. Sendirian menikmati rintikan hujan yang jatuh ke genting atap rumahku. Mengintip dari jendela kamarku. Tak puas menyirami dengan setitik kecil, hujan rintik berganti deras. Mengguyur.
                “Ya Tuhan jangan terjadi apa-apa dengan Mas Joko,” aku bergidik, ketika mengingat tadi pagi baru saja terjadi bencana yang besar. Rumah roboh karena  hujan yang begitu deras. Teringat waktu sebuah stasiun televisi menyiarkan aksi perampokan yang membuat penghuni rumah terbunuh.
Teringat ke sana. Tak memikirkan rasa takut.  Aku  bergerak. Gegas segera menuju bengkel yang berada di penghujung kampung ini.
                Langkahku ditemani dengan hujan deras. Sesekali lolongan anjing terdengar jelas. Tuhan lindungi suamiku, aku tak henti-hentinya berdo’a. Bayangan wajah suami yang kurindu menyemangati langkahku untuk mengalahkan rasa takut yang mendera hatiku. Tak kupedulikan hujan deras, dan lolongan anjing. Kuhilangkan rasa takutku.  Kini kuperhatikan atap bengkel mulai terlihat. Samar.
                Seakan ada tenaga, aku mempercepat langkahku yang sudah sedikit lemah. Tujuanku hanya satu, bertemu Mas Joko yang kurindu. Ingin melihat keadaannya baik-baik saja.
                “Mas...Mas...!” kuketuk pintu bengkel di depanku.
                Senyap.
                “Mas.... Mas...,”kuketuk kembali  semakin keras.
                Tapi lama aku mematung di depan pintu. Tak ada tanda-tanda suamiku akan membuka pintu. Batinku semakin dipenuhi kecemasan, menggunung. Bayangan laki-laki yang dibunuh berlumuran darah bermain di pelupuk mataku. “Semoga kau baik-baik saja, Mas,” gumanku.
                Aku berputar ke belakang. Mengedarkan pandangan ke kiri ke kanan. Gelap. Ada harapan yang besar, ketika aku menengadah. Melihat cahaya dari gudang yang berada di lantai 2. Mungkin Mas Joko ada di sana. Tapi jalan ke mana yah? Semua pintu terkunci.
                “Itu dia,” aku bersorak ketika kulihat sebuah tangga. “Mungkin ini dapat membantuku.” Dengan sekuat tenaga aku mengambil tangga itu. Menempatkannya tepat di bawah jendela gudang.
                Segera aku menaiki tangga, semakin atas aku semakin bersemangat, apalagi kulihat bahwa jendelanya sedikit terbuka. Akan memudahkanku masuk ke dalam gudang. Tapi pada saat langkahku mendekat ke bawah jendela. Aku sedikit terkejut ketika mendengar suara. Kupasangkan telingaku. Menyimak dengan seksama suara yang terdengar.
                “Ya Tuhan, jangan...jangan...,” aku menutup mulutku. Takut jerit halusku terdengar Mas Joko.  Suara itu.... Desah yang beradu. Menyatukan gelora asmara yang kian mengangkasa. Suara-suara dari dorongan sebuah birahi. Menyatukan dua insan yang saling menghangatkan cinta. Menyatukan rindu dari rindu yang bergelora. Nafasku memburu, dipenuhi kemarahan yang luar biasa, mengingat semua itu. Tega-teganya suami melakukan perbuatan nista. Pantaslah, berhari-hari tak pulang ke rumah karena ada seseorang yang membelainya. Memberinya cinta. Dengan kemarahan yang melanda aku membuka jendela tergesa. Kemarahan memuncak ketika melihat keadaan suamiku. Telanjang bermain cinta, bermain dalam kepedihan hatiku.
                “Mas,” aku berteriak.
                Suamiku terkejut, melihat ke arahku.
                Tak kusiakan waktu untuk segera masuk, melihat orang yang tega mengambil cinta Mas Joko, suamiku. Terlihat, nyata. Kucing ireng.***

Kucing Ireng= Kucing hitam
Mas, eneng-eneng wae= Mas, ada-ada saja
Bojoku sing ayu= Istriku yang cantik
Ojo nangis disik= Jangan nangis dulu
Sampeyan eneng-eneng wae, De= Kamu itu ada-ada saja, De
Mbo ya Istigfar, to Mas= Istigfar lah, Mas
Sing penting awake dewe bahagia. Dadi wong sugih= Yang penting kita bahagia. Jadi orang kaya
Yo wis toh seliramu ora usah nesu= Ya sudah kamu jangan marah lagi
Aku nyaluk ngapuro, Mas= Maafkan aku ya, Mas





             
Nina Rahayu Nadea. Lahir di Garut, 28 Agustus. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Majalah Bobo, Buletin jejak, Koran Sastra Sumbar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat,  dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar