![]() |
Dimuat di Kompas, 30 Agustus 2015 :) |
Engklek dan Kancing Ajaib
Oleh: Nina Rahayu Nadea
“Aneh
koq tidak ada, padahal biasanya di sini?” Ibu membuka beberapa laci, menengok
ke sana ke mari. “Kemarin kapur, sekarang kancing besar yang hilang.”
“Mungkin
Ibu lupa menyimpannya.” Kata Bapak.
“Lupa
bagaimana? Jelas-jelas Ibu taruh di sini. Entahlah, Ibu juga aneh koq peralatan
jahit Ibu akhir-akhir ini sering hilang.”
*
Dengan
mengendap Risma membuka pintu setelah sebelumnya tengok kiri dan kanan. Ia
takut Ibu melihat. Aman, pikirnya dalam hati ketika dipastikan Ibu tidak ada di
rumah, kakinya berinjit menuju pintu kamarnya.
“Risma!”
Aw...aw....
Langkah Risma terhenti seketika. Baru saja kegembiraanya akan ia luapkan dengan
bersorak, kini Ibu memanggilnya. Haduh....
“Iya,
Bu.” Dengan takut Risma memutar badan menghadap ibunya. Beribu alasan sudah ia
susun dalam hati agar Ibu memercayainya.
Dan yang pasti Ibu tidak memarahinya.
“Sudah
Sholat Duhur?” Ibu bertanya dengan lembut.
Risma
mengangguk
“Syukurlah,
cepat ganti baju dan segera makan. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu.” Ibu
meninggalkan Risma yang terlongo. Seakan tak percaya dengan pendengarannya. Ibu
tidak memarahinya. Syukurlah, hati Risma
bersorak girang.
Segera
ia melepas seragamnya dan berganti dengan baju rumah. Segera berlari ke meja makan.
“Eits,
cuci tangan dulu.” Suara Ibu menahan Risma yang akan mengambil makanan.
“Oo.
Lupa.” Risma melengos dan menuruti perkataan Ibu.
Tanpa
diperintah lagi Risma langsung melahap makanan. Dan Ibu memerhatikan dari
seberang sana sambil menyelesaikan jahitan.
“Ris, sudah selesai
makannya?” Tanya Ibu ketika dilihat Risma sudah beres.
“Sudah,
Bu.”
“Ayo
bantu Ibu memasang kancing.”
“Baik,
Bu.”
“Cepat
pasangin, yah. Nanti hilang lagi.”
“Hilang?”
Dahi Risma berkerut.
“Iya.
Ibu juga aneh. Perlengkapan jahit Ibu akhir-akhir ini suka hilang. Tiga hari
yang lalu kapur Ibu hilang. Kemarin kancing tuk bantal ini hilang satu. Dan
tadi pagi waktu Ibu akan memasangnya, hilang lagi dua. Jangan-jangan ada
hantunya, yah... hi takut.” Ibu merinding, memerhatikan raut muka Risma.
“Kata
Ibu ngak boleh percaya ada hantu. Paling
manusia yang ngambilnya.”
“Iya.
Risma mungkin tau?”
Risma
tak menjawab. Kepalanya menunduk.
“Risma
tau sesuatu?” Ibu bertaya kembali. Melihat perubahan Risma Ibu berusaha untuk
mengungkap. “Ibu tak akan marah koq, asal Risma jujur pada Ibu.” Ibu berkata
dengan lembut. Dari kemarin sebenarnya Ibu sudah curiga dengan prilaku Risma
yang telat pulang. Dan di hari yang sama Ibu menemukan kapur jahit di belakang
rumah. Ibu tahu, pasti Risma yang membawanya. Tapi Ibu ingin kejujuran Risma.
“Ibu
ngak akan marah?” Risma balik bertanya.
“Buat
apa marahin Risma. Memang Risma punya salah. Kan sudah Ibu bilang, belajar
jujur.” Ibu menatap Risma dan meyakinkan.
“Bu...”
“Ya.”
“Sebenarnya.
Yang ngambil kapur itu... eu.”
“Siapa?”
“Aku?”
“Dan
kancing itu?”
“Aku
juga. Maafin Risma ya. Bu.”
“Tapi
untuk apa?”
“Kancing
itu kancing ajaib, Bu.”
“Kancing
ajaib? Ah, Ibu tak mengerti. Ayo ceritalah.” Ibu menggeser kursi, mendekat ke
arah Risma.
“Sudah
seminggu ini Risma menonton permainan engklek di rumah Pak Misbah. Risma ingin
sekali gabung dengan mereka. Kata mereka
kalau mau ikutan, harus punya benda berupa potongan genting. Aku berusaha
mencarinya tapi tak ketemu. Dan aku
hanya menemukan kancing besar kepunyaan Ibu.”
“Maksudmu
kancing ajaib?” Ibu tak sabar.
“Iya.
Berkat kancing ini aku menjadi juara karena sering mendapat banyak bintang
dalam permainan engklek. Tapi aku jadi bingung ketika mereka meminta kancing
yang sama sepertiku. Jadinya aku ngambil lagi kancing kepunyaan Ibu.”
“Oh,
jadi itu alasan Risma selalu pulang telat.”
“Iya.
Ibu ngak marah kan?”
“Oh
iya, kenapa Ibu menemukan kapur ini di belakang rumah kita?”
“Kemarin
aku nyoba main sendiri. Tapi ternyata ngak asyik main sendirian.”
“Kenapa
tak bilang sama Ibu. Ibu kan tak akan khawatir. Atau bila perlu ajaklah mereka
bermain di halaman belakang rumah kita. Rumah Pak Misbah kan sempit?”
“Takut
Ibu marah.”
“Ngak
akan marah asal kewajibanmu sudah dilaksanakan.”
*
Kini
Ibu tak cemas lagi karena Risma selalu pulang tepat. Rumahnya pun menjadi ramai
karena selalu dipakai anak-anak bermain engklek. Ibu bahagia melihat anak-anak berbahagia. Ah,
andaikan semua anak menyukai permainan tradisional seperti ini. Mungkin tidak
ada lagi anak bermain game di warnet yang membuat banyak orang tua cemas.***
Keterangan:
Permainan
engklek merupakan permainan tradisional dengan cara melompat pada bidang datar
yang digambar diatas tanah, dengan membuat gambar kotak – kotak. Kemudian
melompat dengan satu kaki dari kotak satu ke kotak berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar