Senin, 14 Desember 2015

Engklek dan Kancing Ajaib




Dimuat di Kompas, 30 Agustus 2015 :)



Engklek dan Kancing Ajaib
Oleh: Nina Rahayu Nadea

            “Aneh koq tidak ada, padahal biasanya di sini?” Ibu membuka beberapa laci, menengok ke sana ke mari. “Kemarin kapur, sekarang kancing besar yang hilang.”
            “Mungkin Ibu lupa menyimpannya.” Kata Bapak.
            “Lupa bagaimana? Jelas-jelas Ibu taruh di sini. Entahlah, Ibu juga aneh koq peralatan jahit Ibu akhir-akhir ini sering hilang.”
*
            Dengan mengendap Risma membuka pintu setelah sebelumnya tengok kiri dan kanan. Ia takut Ibu melihat. Aman, pikirnya dalam hati ketika dipastikan Ibu tidak ada di rumah, kakinya berinjit menuju pintu kamarnya.
            “Risma!”
            Aw...aw.... Langkah Risma terhenti seketika. Baru saja kegembiraanya akan ia luapkan dengan bersorak, kini Ibu memanggilnya. Haduh....
            “Iya, Bu.” Dengan takut Risma memutar badan menghadap ibunya. Beribu alasan sudah ia susun dalam hati agar Ibu  memercayainya. Dan yang pasti Ibu tidak memarahinya.
            “Sudah Sholat Duhur?” Ibu bertanya dengan lembut.
            Risma mengangguk
            “Syukurlah, cepat ganti baju dan segera makan. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu.” Ibu meninggalkan Risma yang terlongo. Seakan tak percaya dengan pendengarannya. Ibu tidak memarahinya.  Syukurlah, hati Risma bersorak girang.
            Segera ia melepas seragamnya dan berganti dengan baju rumah.  Segera berlari ke meja makan.
            “Eits, cuci tangan dulu.” Suara Ibu menahan Risma yang akan mengambil makanan.
            “Oo. Lupa.” Risma melengos dan menuruti perkataan Ibu.
            Tanpa diperintah lagi Risma langsung melahap makanan. Dan Ibu memerhatikan dari seberang sana sambil menyelesaikan jahitan.
“Ris, sudah selesai makannya?” Tanya Ibu ketika dilihat Risma sudah beres.
            “Sudah, Bu.”
            “Ayo bantu Ibu memasang kancing.”
            “Baik, Bu.”
            “Cepat pasangin, yah. Nanti hilang lagi.”
            “Hilang?” Dahi Risma  berkerut.
            “Iya. Ibu juga aneh. Perlengkapan jahit Ibu akhir-akhir ini suka hilang. Tiga hari yang lalu kapur Ibu hilang. Kemarin kancing tuk bantal ini hilang satu. Dan tadi pagi waktu Ibu akan memasangnya, hilang lagi dua. Jangan-jangan ada hantunya, yah... hi takut.” Ibu merinding, memerhatikan raut muka Risma.
            “Kata Ibu ngak  boleh percaya ada hantu. Paling manusia yang ngambilnya.”
            “Iya. Risma mungkin tau?”
            Risma tak menjawab. Kepalanya menunduk.
            “Risma tau sesuatu?” Ibu bertaya kembali. Melihat perubahan Risma Ibu berusaha untuk mengungkap. “Ibu tak akan marah koq, asal Risma jujur pada Ibu.” Ibu berkata dengan lembut. Dari kemarin sebenarnya Ibu sudah curiga dengan prilaku Risma yang telat pulang. Dan di hari yang sama Ibu menemukan kapur jahit di belakang rumah. Ibu tahu, pasti Risma yang membawanya. Tapi Ibu ingin kejujuran Risma.
            “Ibu ngak akan marah?” Risma balik bertanya.
            “Buat apa marahin Risma. Memang Risma punya salah. Kan sudah Ibu bilang, belajar jujur.”  Ibu menatap Risma dan meyakinkan.
            “Bu...”
            “Ya.”
            “Sebenarnya. Yang ngambil kapur itu... eu.”
            “Siapa?”
            “Aku?”
            “Dan kancing itu?”
            “Aku juga. Maafin Risma ya. Bu.”
            “Tapi untuk apa?”
            “Kancing itu kancing ajaib, Bu.”
            “Kancing ajaib? Ah, Ibu tak mengerti. Ayo ceritalah.” Ibu menggeser kursi, mendekat ke arah Risma.
            “Sudah seminggu ini Risma menonton permainan engklek di rumah Pak Misbah. Risma ingin sekali gabung dengan mereka.  Kata mereka kalau mau ikutan, harus punya benda berupa potongan genting. Aku berusaha mencarinya tapi tak ketemu.  Dan aku hanya menemukan kancing besar kepunyaan Ibu.”
            “Maksudmu kancing ajaib?” Ibu tak sabar.
            “Iya. Berkat kancing ini aku menjadi juara karena sering mendapat banyak bintang dalam permainan engklek. Tapi aku jadi bingung ketika mereka meminta kancing yang sama sepertiku. Jadinya aku ngambil lagi kancing kepunyaan Ibu.”
            “Oh, jadi itu alasan Risma selalu pulang telat.”
            “Iya. Ibu ngak marah kan?”
            “Oh iya, kenapa Ibu menemukan kapur ini di belakang rumah kita?”
            “Kemarin aku nyoba main sendiri. Tapi ternyata ngak asyik main sendirian.”
            “Kenapa tak bilang sama Ibu. Ibu kan tak akan khawatir. Atau bila perlu ajaklah mereka bermain di halaman belakang rumah kita. Rumah Pak Misbah kan sempit?”
            “Takut Ibu marah.”
            “Ngak akan marah asal kewajibanmu sudah dilaksanakan.”
*
            Kini Ibu tak cemas lagi karena Risma selalu pulang tepat. Rumahnya pun menjadi ramai karena selalu dipakai anak-anak bermain engklek.  Ibu bahagia melihat anak-anak berbahagia. Ah, andaikan semua anak menyukai permainan tradisional seperti ini. Mungkin tidak ada lagi anak bermain game di warnet yang membuat banyak orang tua cemas.***

Keterangan:
Permainan engklek merupakan permainan tradisional dengan cara melompat pada bidang datar yang digambar diatas tanah, dengan membuat gambar kotak – kotak. Kemudian melompat dengan satu kaki dari kotak satu ke kotak berikutnya.







Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Majalah Loka, Koran Merapi-Yogyakarta, Majalah HAI.  Tulisannya bisa dilihat di www.ninarahayunadea.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar