Jumat, 25 Desember 2015

Ditikam Cerita

Dimuat di Sastra Sumbar, 9 Mei 2015


Ditikam Cerita
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Ombak bergemuruh. Suaranya meretas sampai ke langit. Bersorak kegirangan, menemani malam yang pekat. Malam yang bermisteri. Deburannya menghantam pesisir, kembali lagi ke laut, terkadang ke tengah terkadang ke samping, mengular. Sesekali lidahnya terulur membersihkan percikan darah di pesisir pantai. Darah misterius. Seakan  tak bosan  ombak itu terus mengumpat, bersuara, bergerak ke sana ke mari bergoyang berpesta  kemenangan.
                Samar-samar dari kejauhan terdengar suara. Terkadang tangisan sesunggukan, terkadang bersuara lantang memecah kesunyian malam yang gulita. Senyap. Kembali lagi kegaduhan terdengar.
                “Badrun! Dimana, kau?” ujar laki-laki itu. Duka membayang di wajahnya. “Mana anakku?!” Suaranya menguar, isaknya menjadi. Berontak. Ketika tangan-tangan mulai mencengkramnya. Memberinya air do’a untuk penenang.
                “Sabar Dende, nanti kita cari.”
                “Siapa orang yang berani mengambil anakku?” Mata membelalak. Mengusap air mata yang jatuh. Sakit hati dan kesepian bergumul di dadanya. “Paozan, kau harus cari kakakmu. Sampai ketemu!”
“Ya, akan saya cari, Pak.”
                “Sabar ya, Pak,” isak perempuan muda di sampingnya. Merangkul laki-laki itu.
                “Kamu yang harus lebih sabar, Imah. Bapak kuat. Kamu harus lebih kuat. Ingat sebentar lagi kau jadi mantuku, kau akan menikah dengan Bad....”
                Kalimatnya menggantung di ujung lidah. Termakan sedih yang tiada terkira. Ditikam luka yang begitu mendalam.  Kiranya ia lupa apa yang terjadi. Yah kesedihan, telah mencakar pikirannya, hingga perkataan terkadang melayang entah kemana. “Imah, do’akan mudah-mudahan calon suamimu cepat ketemu.”
                Saimah mengangguk. Wajahnya ia lipat ke dadanya, mengusap air mata. Beringsut menghindar dari orang lain. Menyepi.
                “Mah... Mah...nasibmu, baru saja kau akan bahagia karena akan menikah dengan anak orang kaya. Tapi....”
                “Ssst...jangan keras-keras, nanti terdengar,” seorang Ibu menyikut lengan. “Moga Badrun cepat ketemu.”
                “Ya moga saja. Jangan sampai nasibnya seperti  Sabrun, adiknya Dende, tak kembali sampai kini.”
*
                “Kumpul semuanya kumpul,”  suara kentongan dipukul peronda. Memecah kesenyapan, kampung menjadi riuh. Orang-orang yang sedang tertidur seketika bangun. Keriuhan tejadi di sana sini.
                “Ada apa?” tanya orang-orang dengan sedikit linglung. Matanya mengerjap terkena lampu. Kantuk masih menguasai mereka.
                “Badrun hilang.”
                “Hilang?”
                “Iya hilang misterius.”  
                “Barusan aku diutus Dende untuk mengumpulkan orang sekampung. Tugas kita sekarang, untuk mencari anaknya, mudah-mudahan ketemu. Dende berjanji akan memberikan hadiah yang besar bagi siapa saja yang menemukan anaknya.”
                Semua menelusuri jalan yang kiranya memudahkan penemuan. Menelusuri jejak yang nyata-nyata sudah ada. Jejak dari sebuah benda yang digusur  begitu  kentara. Jejak yang kemudian berakhir di pesisir pantai. Pantai Tanjung Menangis. Di pinggir pantai mereka terkesiap ketika melihat tetesan darah.
                “Apakah ini darah Badrun?”
                “Entahlah.”
                Semua orang mematung. Seribu tanya dan kecemasan memenuhi otaknya. Ketakutan mulai menguasai mereka. Ketika dilihatnya laut lepas. Laut yang seolah bersorak menyambut kedatangan mereka. Gemuruh. Sesekali terdengar suara-suara aneh. Desis yang aneh. Menyelusup ke setiap debar dada. Mereka saling berpandangan, menguasai perasaan masing-masing dengan gigil takut yang begitu menjadi.
                “Apa sebaiknya kita cari besok saja, Pa?”
                “Ya. Cuaca sedang tidak bersahabat,” sang tetua manggut. 
Sekampung sibuk bercerita, mulai merangkai kata  tentang gerangan sang pelaku. Tabir yang kini mengungkung  Pringgabaya. Tapi banyak diantara  mereka yang seakan tak mau bercakap. Memilih diam dan berselimut di balik cerita bermisteri. Ketakutan mulai bertamu di hatinya. Mereka diam dalam pikirannya sendiri, menutup cerita malam yang dipenuhi misteri. Misteri Badrun yang menghilang. Misteri  Pringgabaya yang menyimpan tabir.
Apakah sang penunggu meminta sesajen? Para tetua dan yang lainnya mulai berpikir ke arah mistik. Yah, Tanjung Menangis terlupakan. Bukankah selama ini leluhur telah mewanti-wanti agar senantiasa memberi sesajen secara rutin.
                Begitulah semenjak Badrun menghilang. Pringgabaya menjadi sepi. Setiap orang takut untuk ke luar rumah. Apalagi sang pelaku belum ditemukan. Mereka takut kalau-kalau pelaku itu datang ke rumah mereka dan mengambil paksa nyawa. Yang paling ditakutkan mereka,  pelakunya adalah benar-benar dari penguasa gaib yang  murka karena tak kunjung diberi sesajen.
                Mulai dari itu tetua mengumpulkan warga menyerukan keinginannya. Dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
                “Mulai sekarang kita bersama merawat dan melakukan ritual  seperti dulu lagi. Menyiapkan kerbau dan beberapa sesajen untuk sang penghuni laut yang murka. Mereka marah karena kita tak memberikan sesajen. Ritual rebo buntung nyaris kita lupakan.”
                “Tapi kerbau itu kan mahal?”
                “Saya tidak memaksa kalian. Saya hanya ingin ketentraman di sini.  Jangan sampai bencana itu terjadi lagi.”
 Semua diam. Tak berani mengelak. Karena demikian adanya. Takut begitu menguntit. Kematian seolah mengikuti kemanapun mereka pergi. Kematian yang tidak wajar. Badrun meninggal dengan cara yang tidak wajar. Dia diambil paksa oleh sang penguasa laut.
                “Ambil saja kerbauku berapa kalian mau,” Dende yang sedari tadi diam ikut bicara.” Aku tak mau nasib anak dan adikku menimpa kalian.”
                Semenjak itu, penduduk kampung mulai siaga dan berpatroli meningkatkan ritual yang sudah terlupa. Meruwat kampung juga pesisir pantai semua dilakukan dengan sungguh-sungguh. Yang diharap hanya satu. Keselamatan tetap ada dalam  kampung ini. Demi kenyamanan dan keamanan kampung, kegiatan ritual yang telah lama menghilang dilakukan kembali.
Hanya bercak darah di pesisir pantai yang menjadi saksi, gerangan apa yang terjadi dengan Badrun malam itu? Malam  petaka.
                Seseorang menatap jendela kamar. Dari kejauhan ia melihat ritual yang sedang dilakukan banyak orang. Dengan dada berdebar ia mengintip dari celah jendela bilik kamarnya. Suara deburan ombak sama seperti deburan hati. Sekilas diliriknya photo  ibunya yang telah tiada,  tergantung di sebelah lemari kamarnya.
                “Semoga kau tenang di sana,” ia menghapus air mata, sekilas dilihatnya lemari yang tertutup rapat. Ada yang berderit nyeri setiap melihat lemari yang tertutup rapat. Sangat rapat. Tapi kali ini seperti ada sesuatu yang menyuruhnya untuk membuka. Ia begitu merindu. Malam-malam seperti ini selalu mengingatkannya pada Ibu.
                Sejenak mematung di hadapan lemari. Lambat ia membuka pintu, mengeluarkan sesuatu dari lemarinya. Sesuatu yang ditutup kain putih. Dibuka dengan hati-hati. Semakin terbuka semakin terlihat darah yang sudah mengering kaku, mengeras. Diambilnya keris yang ada di sana. Keris yang berkarat karena telah memakan darah Badrun. Keris yang lapar, kini menyuruhnya untuk memangsa baru.

“Besok Subuh ketika fajar menyingsing. Kita akan kembali ke tanah Jawa. Aku tak mau kau teringat masalah yang telah terjadi.” Seseorang menyadarkannya.
Ia tersenyum. Meninggalkan kenangan di tanah Pringgabaya yang baru 3 tahun mereka jajaki. Yah, mereka ke sini sebagai penghuni baru. Karena ajakan seseorang untuk mengadu nasib.
                Tergambar jelas kepedihan dan duka ibunya ketika menceritakan siapa sebenarnya ayahnya. Ayah yang telah tega mengusir Ibu dari tanah kelahirannya. Yang lebih menyedihkan Ibu pergi ketika mengandung. Ibu dianggap pembawa bencana, telah mengotori tanah leluhurnya. Hingga akhirnya dengan perut  membuncit meninggalkan tanah kelahiran. Perbuatan laki-laki biadab yang tidak pernah mau bertanggung jawab.
                Langit gelap. Dari kejauhan terdengar lolongan anjing yang menakutkan. Ditatapnya kembali lekat wajah ibunya.
                “Aku mohon restu Ibu, aku akan membalas semua kepedihanmu. Aku ingin dia mati ditikam  cerita penuh misteri.” matanya nyalang memandang kejauhan. “Paozan malam ini kau akan menemani Badrun. Aku ingin menyaksikan laki-laki itu kesepian seumur hidup. Dende, kau tak layak kupanggil Ayah,” Saimah menggertak.***


Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah Guneman, Majalah Kandaga, Majalah Loka, Majalah HAI, dll 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar