Selasa, 16 Juni 2020

Kenari

Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 29 Maret 2020


Kenari
Oleh Nina Rahayu Nadea
                “Hem, suaramu tambah manis saja.” Aku menatap tak berkedip. Memegang badannya dan mengelus perlahan. “Ingat besok adalah hari spesialmu dan kau harus bersuara merdu. Agar kau tetap menjadi juara.”
                “Kukuku...” Seolah mengerti, ia bersuara.
                “Hem... hebat... hebat, aku bangga padamu.” Lagi-lagi aku terkagum dengan Kenari.  Kenari yang selalu membuatku betah berlama-lama pabila telah berhadapan dengannya.
                “Wuh. Dari tadi main di sini saja. Ngak bosan?” suara istriku, membuyarkan kesenangan. Menganggu kebahagiaan saja, rutukku dalam hati.
                “Ada apa?” kusimpan kekesalan di dada. Membalikan badan dan menatap bibirnya yang ditekuk. Hem selalu seperti itu, pabila melihatku bercanda dengan Kenari. Bibir yang  dulu kugandrungi, kini begitu tak menarik di hadapanku, apalagi jika bersuara, membuat kepalaku pecah.  Lebih menarik Kenari, Kenari bersuara merdu,  Kenari penawar lesu lelahku. Yang kuharap selama ini bahwa istriku mengerti dan mendukung hobiku. Alih-alih mengerti ia malah cemburu buta.
                “Jangan Kenari melulu yang dipikirin.”
                “Cemburu?”
                “Siapa yag cemburu. Enak saja aku disamain dengan dia. Anak kita panas sudah dua hari.”
                “Lantas?” aku berpura bodoh.
                “Kapan kau bawa anak kita ke dokter.”
                “Biasanya kau yang bawa. Kenapa kau bertanya padaku. Kalau sakit ya, pasti bawa ke dokter.” Ucapku enteng.
                “Bukan begitu. Baiknya kita sama-sama pergi ke dokter. Biar Kenari tau bahwa bapaknya mempunyai perhatian.”
                “Perempuan itu deketnya sama ibunya. Jadi kau segeralah ke dokter.” Aku membalikan lagi badan. “Cepet pergilah. Aku  mandikan dulu Kenari.”
                “Ah, Mas ini.  Mandikan dia, sementara dirimu? Tengoklah, kotor begitu.”
                “Sudah... sudah, cepet pergilah. Kasihan anakmu.”
“Sampai kapan kau terus mengurusnya?”
                “Sampai mati.” Ucapku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Tetap asik bermain mata dengan Kenari.
*
                “Mas. Cepatlah pulang panas anak kita belum turun. Ia juga terus menerus memanggilmu.”
                “Sebentar lagi pulang. Aku sedang sibuk.” Kututup telepon dari istriku tanpa mau lagi menerima teleponnya yang terus berdering. Aku sibuk dengan Kenari, bertaruh dengan banyak orang bahwa Kenari pasti menang.
                Tiba di rumah dalam keadaan malam. Rumah kelam tak berderang lampu seperti biasanya. “Malas sekali istriku.” Tanganku segera menekan tombol saklar untuk menyalakan lampu. Benderang seketika rumah.
                “Bu.”
                Tak terdengar jawaban.
                “Bu... lihatlah apa yang ku bawa. Di mana Kenari? Nih aku bawakan sesuatu untuknya.” Aku tertawa riang. Membuka baju dan menggantinya dengan santai.  Piyama tepatnya. Agar aku dapat segera hilangkan penat setelah seharian beraktifitas.
                “Tak ke rumah sakit kau?” Suara dari balik pintu terdengar. “Anakmu sakit serius.” Bahlun tetanggaku menjulurkan kepala, menatap ke arahku yang sedang duduk santai.
“Ada apa, Lun? Santailah. Aku buatkan kopi?” tanyaku.
                “Kau ini, anak sakit masih saja bersantai.” Ia menutup pintu dan duduk di kursi berada di depanku
                “Siapa yang sakit?” Aku balik bertanya.
                “Jo... Jo. Tadi kan sudah kubilang anakmu sakit. Sakit beneran. Sekarang ada di rumah sakit.”
                “Bentar lagi mungkin balik. Iya dari tadi pagi emang udah sakit.”
                “Jadi kau sudah tau Kenari dirawat? Kenapa tak kau susul istrimu?”
                “Dirawat? Siapa yang dirawat? Anakku?”
                “Ya iyalah emang anakmu ada berapa. Kan anakmu cuman satu, Kenari. Ayo cepet berkemas. Kuantar kau ke rumah sakit. Kasihan istrimu menunggu.”
                “Emang sakit apa, koq harus dirawat?”
                “Perihal itu aku ngak tau. Tadi sore, adikmu  pulang, mengambil perlengkapan. Sepertinya ia begitu khawatir.  Ayo cepatlah, kuantar kau ke rumah sakit.” Ia bangkit dan tanpa menunggu perkataanku, Bahlun keluar dan segera menyalakan motor.
                Antara bingung dan tidak percaya dengan yang kudengar aku menguntit di belakangnya. Berusaha  diam agar tak mengganggu konsentrasi dalam menjalankan kendaraan.
                Pikiranku menerawang. Kenari harus dirawat? Gerangan apa yang terjadi dengannya. Diam-diam aku merapal doa. Dalam kepalan tangan ini  ribuan harapan aku pertaruhkan. Doa meluncur dari bibirku, berharap menepi ke langit dan didengar olehNya.
                “Mas. Kenari harus dirawat. Segera. Itu kata dokter...” istriku menyongsong dari ambang pintu.
                “Sakit apa? Kenapa harus dirawat?”
                “Radang otak, Mas. Sudah kuingatkan agar tak pernah memelihara Kenarimu. Lihatlah anak kita terkena virus mematikan.” Istriku mulai meracau sesunggukan. Meradang dan menyalahkan apa yang telah aku lakukan selama ini.
                “Kenapa aku kau salahkan. Jangan pernah pula kau salahkan Kenariku. Ingat tanpa kau sadari Kenari telah membuat ekonomi kita merangkak. Berapa puluh juta uang yang telah kita nikmati? Apa kau tak merasakan bahwa Kenari telah membuat ekonomi rumah tangga kita berubah. Tak ingatkah itu?” aku ikut meradang. Merasa tak enak dengan perkataan istriku.
                “Ssst. Sudahlah. Jangan ribut di sini malu. Lagian anak sakit kalian malah ribut.” Bahlun menyadarkan kami.
                Seketika kami terdiam menatap Kenari yang tertidur pulas dengan selang inpusan di sana sini.
                “Butuh berapa biayanya?” aku melunak ke arah istriku.
                “Harus segera dioperasi” itu kata dokter.
                “Ngak usah takut. Kebetulan tadi siang Kenari menang lomba. Nih, uangnya.” Dengan bangga aku menyerahkan amplop pada istriku. Amplop berisi uang. Makasih Kenari, bisikku dalam hati. Entah kenapa aku begitu berbunga karena Kenari dapat menolongku di saat situasi genting. Di saat keluargaku membutuhkan uang.
                “Berapa?”
                “Banyak. Pasti kau tak menyangka.”
                “Iya berapa?” tanya istriku kembali.
                “20 juta.” Ucapku bangga.
                “20 juta?” Istriku kaget.
                “Kenapa? Tak menyangka bahwa Kenari telah membawa uang sebanyak itu?”
                “Bukannya begitu, tapi...”
                “Tapi apa?”
                “Uangnya tak cukup, Mas.” Istriku menunduk lesu. Duduk di pinggir kursi dengan cucuran air mata.
                “Uang sebanyak itu tak cukup. Memang berapa biaya operasinya?”
                “50 juta, Mas. Kalau tak keberatan jual saja Kenarimu. Agar anak kita terselamatkan.” Istriku berkata pelan. Namun cukup membuat jantungku nyaris copot.
                “Dijual?” hatiku berkata. Teganya istriku menyuruh menjual Kenari. Apa tidak terdengar olehnya. Apa ia tidak merasakan bahwa hidupku... keluargaku semua terpenuhi dari Kenari.
                “Kalau kau tak keberatan. Aku beli Kenarimu itu dengan harga tinggi, Jo. 40  juta. Kebetulan dari dulu aku naksir Kenarimu. Mudah-mudahan saat ini bisa membantumu. Menambah biaya rumah sakit.”
                “Beneran kau mau beli burung kami?” Istriku tiba-tiba berkata. Ada riang dari wajahnya. Juallah.”Rayu istriku.
                “Hem... gimana. Nanti kupikir-pikir dulu, Lun.”
                “Mas ini, di saat genting begini masih berfikir juga. Kau tak sayang anakmu?”
                “Bukan begitu, kita nyari dulu yang tawarannya tinggi.” Bisikku di telinganya.
                “Lun, kau tau kan Kenariku selalu juara tiap tahun.  Teganya kau tawar Kenari dengan harga kecil. Jangan kau cari kesempatan dalam kesempitan dong. Harusnya kau bantu aku.”
“Aku hanya kasihan dengan anakmu. Tapi kalau kau tak mau, sudahlah. Tadinya kalau kau terima tawaranku. Sekarang juga aku ambil tuh Kenari, untuk  segera kukasih mantra.” Bahlun berkata. ”Lebih baik kau pikirkan dahulu tawaranku, dan jika kau berubah pikiran, datanglah besok pagi ke rumahku. Aku menerima dengan tangan terbuka.” Ia mengambil kunci motor.
                “Mau kemana?”
                “Pulang. Sudah larut. Aku duluan yah.”
                “Ya. Makasih ya. Lun.”
                Tak lama setelah Bahlun pulang. Aku pun berinisiatip pulang untuk beristirahat, setelah tak lupa aku berkata pada istriku bahwa semua akan baik-baik saja.
                Setiba di rumah. Kutemui Kenariku. Kenari... Kenari, tak tega rasanya aku harus berpisah denganmu. Aku mengusap bulunya yang lebat. Jangan sedih kau takan kujual.  
*
                “Sial, aku kesiangan.” Aku melihat jam  yang sudah menunjuk angka delapan. “Aneh koq, aku tak mendengar suara Kenari?” Aku bergegas ke depan. 
                “Kenari... Kenari.” Aku memanggilnya.
                Tak terdengar sahutan seperti biasa. Kandangnya pun tak bergerak. Diam.
                “Kenari... Kenari.” kudekati sangkar tempat dia tertidur. Segera kubelai bulunya.
                Deg....
                Kuambil HP untuk mengabarkan berita menyedihkan pada istriku. Belum sempet memijit tombol. HPku berdering. Dari istriku.
                “Mas.”
                “Ya.” Jawabku dengan sedih.
                “Kenari telah tiada.”
                “Kenariku juga.”***      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar