Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 29 Maret 2020 |
Kenari
Oleh Nina Rahayu Nadea
“Hem,
suaramu tambah manis saja.” Aku menatap tak berkedip. Memegang badannya dan
mengelus perlahan. “Ingat besok adalah hari spesialmu dan kau harus bersuara
merdu. Agar kau tetap menjadi juara.”
“Kukuku...”
Seolah mengerti, ia bersuara.
“Hem...
hebat... hebat, aku bangga padamu.” Lagi-lagi aku terkagum dengan Kenari. Kenari yang selalu membuatku betah
berlama-lama pabila telah berhadapan dengannya.
“Wuh.
Dari tadi main di sini saja. Ngak bosan?” suara istriku, membuyarkan kesenangan.
Menganggu kebahagiaan saja, rutukku dalam hati.
“Ada
apa?” kusimpan kekesalan di dada. Membalikan badan dan menatap bibirnya yang
ditekuk. Hem selalu seperti itu, pabila melihatku bercanda dengan Kenari. Bibir
yang dulu kugandrungi, kini begitu tak
menarik di hadapanku, apalagi jika bersuara, membuat kepalaku pecah. Lebih menarik Kenari, Kenari bersuara
merdu, Kenari penawar lesu lelahku. Yang
kuharap selama ini bahwa istriku mengerti dan mendukung hobiku. Alih-alih
mengerti ia malah cemburu buta.
“Jangan
Kenari melulu yang dipikirin.”
“Cemburu?”
“Siapa
yag cemburu. Enak saja aku disamain dengan dia. Anak kita panas sudah dua
hari.”
“Lantas?”
aku berpura bodoh.
“Kapan
kau bawa anak kita ke dokter.”
“Biasanya
kau yang bawa. Kenapa kau bertanya padaku. Kalau sakit ya, pasti bawa ke
dokter.” Ucapku enteng.
“Bukan
begitu. Baiknya kita sama-sama pergi ke dokter. Biar Kenari tau bahwa bapaknya
mempunyai perhatian.”
“Perempuan
itu deketnya sama ibunya. Jadi kau segeralah ke dokter.” Aku membalikan lagi badan.
“Cepet pergilah. Aku mandikan dulu Kenari.”
“Ah,
Mas ini. Mandikan dia, sementara dirimu?
Tengoklah, kotor begitu.”
“Sudah...
sudah, cepet pergilah. Kasihan anakmu.”
“Sampai kapan kau
terus mengurusnya?”
“Sampai
mati.” Ucapku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Tetap asik bermain mata
dengan Kenari.
*
“Mas.
Cepatlah pulang panas anak kita belum turun. Ia juga terus menerus
memanggilmu.”
“Sebentar
lagi pulang. Aku sedang sibuk.” Kututup telepon dari istriku tanpa mau lagi
menerima teleponnya yang terus berdering. Aku sibuk dengan Kenari, bertaruh
dengan banyak orang bahwa Kenari pasti menang.
Tiba
di rumah dalam keadaan malam. Rumah kelam tak berderang lampu seperti biasanya.
“Malas sekali istriku.” Tanganku segera menekan tombol saklar untuk menyalakan
lampu. Benderang seketika rumah.
“Bu.”
Tak
terdengar jawaban.
“Bu...
lihatlah apa yang ku bawa. Di mana Kenari? Nih aku bawakan sesuatu untuknya.”
Aku tertawa riang. Membuka baju dan menggantinya dengan santai. Piyama tepatnya. Agar aku dapat segera
hilangkan penat setelah seharian beraktifitas.
“Tak
ke rumah sakit kau?” Suara dari balik pintu terdengar. “Anakmu sakit serius.”
Bahlun tetanggaku menjulurkan kepala, menatap ke arahku yang sedang duduk
santai.
“Ada apa, Lun?
Santailah. Aku buatkan kopi?” tanyaku.
“Kau
ini, anak sakit masih saja bersantai.” Ia menutup pintu dan duduk di kursi
berada di depanku
“Siapa
yang sakit?” Aku balik bertanya.
“Jo...
Jo. Tadi kan sudah kubilang anakmu sakit. Sakit beneran. Sekarang ada di rumah
sakit.”
“Bentar
lagi mungkin balik. Iya dari tadi pagi emang udah sakit.”
“Jadi
kau sudah tau Kenari dirawat? Kenapa tak kau susul istrimu?”
“Dirawat?
Siapa yang dirawat? Anakku?”
“Ya
iyalah emang anakmu ada berapa. Kan anakmu cuman satu, Kenari. Ayo cepet
berkemas. Kuantar kau ke rumah sakit. Kasihan istrimu menunggu.”
“Emang
sakit apa, koq harus dirawat?”
“Perihal
itu aku ngak tau. Tadi sore, adikmu pulang, mengambil perlengkapan. Sepertinya ia
begitu khawatir. Ayo cepatlah, kuantar
kau ke rumah sakit.” Ia bangkit dan tanpa menunggu perkataanku, Bahlun keluar
dan segera menyalakan motor.
Antara
bingung dan tidak percaya dengan yang kudengar aku menguntit di belakangnya. Berusaha diam agar tak mengganggu konsentrasi dalam
menjalankan kendaraan.
Pikiranku
menerawang. Kenari harus dirawat? Gerangan apa yang terjadi dengannya.
Diam-diam aku merapal doa. Dalam kepalan tangan ini ribuan harapan aku pertaruhkan. Doa meluncur
dari bibirku, berharap menepi ke langit dan didengar olehNya.
“Mas.
Kenari harus dirawat. Segera. Itu kata dokter...” istriku menyongsong dari
ambang pintu.
“Sakit
apa? Kenapa harus dirawat?”
“Radang
otak, Mas. Sudah kuingatkan agar tak pernah memelihara Kenarimu. Lihatlah anak
kita terkena virus mematikan.” Istriku mulai meracau sesunggukan. Meradang dan menyalahkan
apa yang telah aku lakukan selama ini.
“Kenapa
aku kau salahkan. Jangan pernah pula kau salahkan Kenariku. Ingat tanpa kau
sadari Kenari telah membuat ekonomi kita merangkak. Berapa puluh juta uang yang
telah kita nikmati? Apa kau tak merasakan bahwa Kenari telah membuat ekonomi
rumah tangga kita berubah. Tak ingatkah itu?” aku ikut meradang. Merasa tak
enak dengan perkataan istriku.
“Ssst.
Sudahlah. Jangan ribut di sini malu. Lagian anak sakit kalian malah ribut.”
Bahlun menyadarkan kami.
Seketika
kami terdiam menatap Kenari yang tertidur pulas dengan selang inpusan di sana
sini.
“Butuh
berapa biayanya?” aku melunak ke arah istriku.
“Harus
segera dioperasi” itu kata dokter.
“Ngak
usah takut. Kebetulan tadi siang Kenari menang lomba. Nih, uangnya.” Dengan
bangga aku menyerahkan amplop pada istriku. Amplop berisi uang. Makasih Kenari,
bisikku dalam hati. Entah kenapa aku begitu berbunga karena Kenari dapat
menolongku di saat situasi genting. Di saat keluargaku membutuhkan uang.
“Berapa?”
“Banyak.
Pasti kau tak menyangka.”
“Iya
berapa?” tanya istriku kembali.
“20
juta.” Ucapku bangga.
“20
juta?” Istriku kaget.
“Kenapa?
Tak menyangka bahwa Kenari telah membawa uang sebanyak itu?”
“Bukannya
begitu, tapi...”
“Tapi
apa?”
“Uangnya
tak cukup, Mas.” Istriku menunduk lesu. Duduk di pinggir kursi dengan cucuran
air mata.
“Uang
sebanyak itu tak cukup. Memang berapa biaya operasinya?”
“50
juta, Mas. Kalau tak keberatan jual saja Kenarimu. Agar anak kita terselamatkan.”
Istriku berkata pelan. Namun cukup membuat jantungku nyaris copot.
“Dijual?”
hatiku berkata. Teganya istriku menyuruh menjual Kenari. Apa tidak terdengar
olehnya. Apa ia tidak merasakan bahwa hidupku... keluargaku semua terpenuhi
dari Kenari.
“Kalau
kau tak keberatan. Aku beli Kenarimu itu dengan harga tinggi, Jo. 40 juta. Kebetulan dari dulu aku naksir Kenarimu.
Mudah-mudahan saat ini bisa membantumu. Menambah biaya rumah sakit.”
“Beneran
kau mau beli burung kami?” Istriku tiba-tiba berkata. Ada riang dari wajahnya. Juallah.”Rayu
istriku.
“Hem...
gimana. Nanti kupikir-pikir dulu, Lun.”
“Mas
ini, di saat genting begini masih berfikir juga. Kau tak sayang anakmu?”
“Bukan
begitu, kita nyari dulu yang tawarannya tinggi.” Bisikku di telinganya.
“Lun,
kau tau kan Kenariku selalu juara tiap tahun. Teganya kau tawar Kenari dengan harga kecil.
Jangan kau cari kesempatan dalam kesempitan dong. Harusnya kau bantu aku.”
“Aku hanya kasihan
dengan anakmu. Tapi kalau kau tak mau, sudahlah. Tadinya kalau kau terima
tawaranku. Sekarang juga aku ambil tuh Kenari, untuk segera kukasih mantra.” Bahlun berkata. ”Lebih
baik kau pikirkan dahulu tawaranku, dan jika kau berubah pikiran, datanglah besok
pagi ke rumahku. Aku menerima dengan tangan terbuka.” Ia mengambil kunci motor.
“Mau
kemana?”
“Pulang.
Sudah larut. Aku duluan yah.”
“Ya.
Makasih ya. Lun.”
Tak
lama setelah Bahlun pulang. Aku pun berinisiatip pulang untuk beristirahat, setelah
tak lupa aku berkata pada istriku bahwa semua akan baik-baik saja.
Setiba
di rumah. Kutemui Kenariku. Kenari... Kenari, tak tega rasanya aku harus berpisah
denganmu. Aku mengusap bulunya yang lebat. Jangan sedih kau takan kujual.
*
“Sial,
aku kesiangan.” Aku melihat jam yang
sudah menunjuk angka delapan. “Aneh koq, aku tak mendengar suara Kenari?” Aku
bergegas ke depan.
“Kenari...
Kenari.” Aku memanggilnya.
Tak
terdengar sahutan seperti biasa. Kandangnya pun tak bergerak. Diam.
“Kenari...
Kenari.” kudekati sangkar tempat dia tertidur. Segera kubelai bulunya.
Deg....
Kuambil
HP untuk mengabarkan berita menyedihkan pada istriku. Belum sempet memijit
tombol. HPku berdering. Dari istriku.
“Mas.”
“Ya.”
Jawabku dengan sedih.
“Kenari
telah tiada.”
“Kenariku
juga.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar