Dimuat di Koran Pikiran Rakyat, 19 Januari 2020 |
SELEMBAR DAUN YANG JATUH KE BUMI
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Hatiku selembar daun melayang jatuh di
rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring
di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
Sapardi Djoko Damono
Sejak
saat itu. Sejak peristiwa yang membuat hatiku luka mengangga. Duka mengembun di
setiap relung hati. Menggumpal tak pernah terkikis. Begitu banyak waktu yang kuluangkan hanya sekedar untuk mengingatmu.
Aku takan pernah mau melupakanmu. Melupakanmu dalam sedetik adalah sebuah kebodohan.
Aku
ingin menjadi selembar daun yang terkadang dilupakan banyak orang, namun tanpa
disadari ia akan menjadi sebuah keberuntungan untuk kegemburan, tanpa pernah ia
berontak. Aku ingin menjadi selembar daun, tanpa ada penghalang berada di pusaramu. Kokoh
menemanimu dalam sebuah haribaan panjang,
walau terombang ambing terbawa angin, namun hakiki bersama dalam taman abadimu.
Melayang nyata ke mana pun tanpa beban.
Ke mana pun angin menerbangkannya dengan senang hati melayang tanpa sungkan. Aku ingin menjadi
selembar daun yang terbang ke mana pun sesuka angin datang dan pergi
melayang tanpa pernah ada yang
menghalang. Maka biarkan aku pergi tanpa ada beban yang bersarang.
Aku
buka jendela kamar. Menatap nanar pandangan ke depan. Angin yang terkadang
mendesir kadang menderu, mempermainkan dedaunan yang terlihat. Ada diantaranya
yang jatuh berguguran ke bumi. Selembar daun terakhir tak luput dari pandangan.
Ia jatuh ke bumi. Aku memandangnya lekat. Memandang daun yang baru saja jatuh.
Ah, aku jadi begitu mengingatmu. Aku ingin menjadi selembar daun....
Ingin
sebenarnya kusapu taman depan rumah ini sesuka hati. Namun aku masih ragu
kenangan tentang kita akan berakhir. Dan jangan pernah seseorang atau siapa pun
menyapu taman. Namun apakah aku harus menerus seperti ini. Sekedar ketakutan
untuk selalu jauh darimu. Sementara harapan yang besar belum aku kail. Harapan
tentang ketenangan hati. Seperginya dirimu hati ini selalu tak tenang. Ada
separuh hati yang hilang dan terus berulang membuatku gamang.
Selembar
daun yang jatuh itu aku pungut. Meraba menelisik dan menciumnya. Aku menjadi
suka daun yang jatuh. Ah, tiba-tiba saja aku menangis menatap langit biru dan
kemudian pindah ke pohon akasia. Di bawah pohon ini kita kerap bercanda,
bercerita masa depan dan masa yang akan kita lalui ketika sudah tua nanti.
Masih
ingat saat itu. Ketika duduk di sebuah
taman. Di bawah sebuah pohon besar. Bercerita banyak hal ditemani oleh semilir
angin. Daun daun mulai berjatuhan. Dan tetiba selembar daun jatuh ke kepalaku.
Sebelum jatuh ke bumi. Aku terhenyak,
segera mengambilnya dengan panik. Sekonyong-konyong aku meludahinya dan
kemudian membuangnya jauh.
“Kenapa
kau lakukan itu?” kau menatap heran.
“Aku
tak mau terjadi sesuatu. Perjalanan kita masih panjang. Aku tak mau kita
berpisah.” Aku menatap matanya, tanpa ragu memeluknya.
“Ah,
kau ini menjadi seperti ini. Ada apa
gerangan?”
“Kau
tau artinya selembar daun yang jatuh ke kepala?”
Kepalamu
menggeleng.
“Itu
pertanda bahwa orang tersebut akan segera meninggal dan aku tak mau terjadi.”
“Jadi
begitu?” Kau menatap kembali “Dan meludahinya?”
“Penangkal
agar kematian tak segera datang.”
Tiba-tiba
saja kau tertawa lebar. Menatap dan kembali tertawa.
“Mengapa?
Lucu?” Aku marah.
“Maaf...
maaf.” Kau berdehem. Duduk dengan
tenang. “Perihal kematian itu takan ada seorang pun yang tau. Jadi kau tak perlu takut. Tak perlu
mengada-ngada.” Kau memetik bunga dan menyelipkan di telingaku. ”Kematian
datang tanpa diundang, tak seorang pun bisa menjadi penghalang. Apakah dengan
meludahinya, kematian kan segera pergi? Jika pada waktunya. Ia tetap kan
datang. Jadi jangan risaukan tentang daun yang jatuh ke kepala.”
Kau
berdiri. Berjalan beberapa langkah dari tempatku. Mengambil kerikil dan
melemparnya ke kolam ikan. “Lihat kolam itu, riak airnya juga taman ini. Sangat
aku sukai. Itulah mengapa aku sering mengajakmu ke sini. Banyak kenangan
tentang kita. Jadi kau jangan menjadi galau hanya karena memikirkan hal
tersebut. Jangan-jangan daun itu hanya ingin mengintip keromantisan kita,”: candamu
nyaring, meredam cemas.
“Iya...iya...
aku tak takut lagi.” Aku berusaha tersenyum.
Kuenyahkan
kecemasan yang bersemayan. Mencerna apa yang kau katakan. Memang benar. Perihal kematian takan pernah
ada yang tahu dan perihal daun yang jatuh ke bumi itu pun aku tak tahu. Hanya Tuhan
yang mengetahui segalanya. Dan kita sebagai manusia tentu tidak pernah tahu apa
yang akan terjadi. Namun cerita tentang daun
begitu mengganggu.
“Jangan
pikirkan tentang daun yang jatuh ke kepala. Sebaiknya kita menata masa depan
kita, ingat sebulan lagi kita menikah.” Kau mengecup keningku.
“Semoga
semua lancar saja ya?”
“Iya
sayang.”
*
“Jangan
pergi sekarang. Hujan telah turun.” Cegahku. “Masuk dahulu.”
“Aku
ada perlu dulu. Janjian sama partner. Nga apala-alah kan ada jas hujan yang selalu
menemani” senyum tersungging dari bibir. “Salam sama Ibu dan Bapak. Maaf tak
masuk dulu,” kau menyalakan motor. Melaju perlahan.
“Ya.
Hatil-hatilah.” Aku melihat kepergiannya sampai hilang di telan persimpangan.
Aku
sedang menghayal. Merenda sebuah ikatan yang sebentar lagi akan terlaksana.
Sebulan lagi waktu yang mungkin cukup bagiku untuk mengenal sebuah mahligai
rumah tangga. Aku membaca banyak majalah. Agar tahu kiranya apa yang akan aku
lakukan setelah menikah. Apa yang harus kulakukan dari bangun tidur hingga
tertidur. Kubaca banyak buku sekedar untuk mengetahui dan menjadi bekalku pada
nantinya ketika sudah menikah.
“Yun.
Antar Ibu, yu.” Tiba-tiba Ibu berdiri di ambang pintu.
“Antar
ke mana?”
“Ke
rumah sakit.” Suara Ibu nyaris tak terdengar. Wajahnya tertunduk.
“Rumah
sakit? Siapa yang sakit.” Ada gemuruh yang tiba-tiba hadir di dada.
Lama
ibu terdiam tak berani menatapku.
“Siapa
yang sakit, Bu?” Aku mengguncang badan Ibu.
“Bram.”
“Bram?”
“Sabar,
ya, Nak. Bram tadi mengalami kecelakaan, sekarang dia di rumah sakit.” Ibu
tersedu. Memelukku. Aku mematung, tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Ayo,
kita ke rumah sakit.” Suara Ibu membuyarkan segalanya. Seketika aku menangis
dan menjerit.
“Sabar,
Nak. Berdoalah. Jangan kau siakan waktu untuk menangisi apa yang terjadi.”Lebih
baik kita segera ke rumah sakit.”
*
Bram.
Kiranya doa yang meluncur dari bibir ini kurang kuat atau mungkin tak terdengar
Tuhan. Karena ternyata kemudian kau dipanggil olehNya. Tanpa mengucap kata untukku. Hanya senyum indah yang kulihat dari
bibirmu. Kau bahagia melepas dunia.
Tanpa ada beban tanpa ada kegundahan. Tak ragu kau tinggalkan aku seorang diri
yang kuyup dengan duka.
Dan
tahukah kau, Bram. Sejak itu aku begitu memuja daun. Selembar daun yang jatuh
ke bumi selalu menjadi perhatianku. Aku ingin menjadi daun. Membiarkannya
terbang melayang ke mana pun tanpa beban. Membiarkan hati ini melayang pergi
entah kemana. Sepoi angin, desir angin kan selalu menata hati ini di sini.
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput. Nanti dulu, biarkan aku sejenak
berbaring di sini. Ada yang masih inginku pandang. Yang selama ini senantiasa luput.
Sesaat adalah abadi. Sebelum kau sapu taman setiap pagi.***
a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar