Selasa, 16 Juni 2020

Sepasang sandal di belakang gudang

Radar Bromo Probolinggo, 1 Desember 2019

Sepasang Sandal di Belakang Gudang
Oleh Nina Rahayu Nadea
                Pagi itu aku mencari bola yang kemarin sore hilang. Kemarin sudah ingin mencari sampai ketemu. Sayang Ibu memanggilku. Menyuruhku masuk karena hari mulai gelap. Aku  melirik ke kiri kanan yang memang sudah gelap. Juga teman temanku yang tadinya riuh berada di lapang dekat rumah tak terlihat batang hidungnya. Mereka langsung pulang ketika bola ini melayang jauh. Dan tugasku mencarinya. Tapi  kuurungkan tugasku. Masuk ke rumah tanpa bola di tangan.
                “Masuk ke rumah. Hari sudah gelap.” Kata Ibu ketika aku berkata bahwa tadi aku mencari bola.
                “Ya.” Aku mengangguk setelah menerjemahkan gerakan bibir juga tangan Ibu.
                Aku memang terlahir difabel. Kurang pendengaran sejak kecil. Praktis mengganggu suaraku.  Tak heran jika  aku dewasa aku tak banyak teman. Aku sering menyendiri di rumah. Apalagi Ibu sering melarangku pergi jauh jauh.
                Dan kemarin waktu ada anak anak bermain bola. Bahagia sekali rasanya meski aku hanya sebagai pengambil bola yang jatuh. Berlari mencari bola. Kemudian mengembalikannya pada mereka yang bermain.
                “Cepat masuk nanti kau dimakan sandekala.” Ibu berkata keras.  Ucapan Ibu membuat aku merinding.  Sejak dulu Ibu memang rajin mengingatkan perihal sandekala atau hantu. 
                Aku percaya bahwa di bumi ini ada mahluk lain. Mahluk gaib yang akan marah  apabila tempatnya diganggu. Makanya aku selalu mengingat kata-kata Ibu untuk tak pernah menganggu tempat di mana mahluk gaib itu berada.  Apalagi masuk ke gudang. Itu sangat tidak mungkin. Tempatnya begitu angker.
                Tapi subuh ini aku terpaksa melanggar omongan Ibu. Aku berinjit ke belakang rumah. Mendekati gudang tepatnya. Lagian jam sudah menunjukan pukul lima kurang lima belas menit.   Adan subuh telah berkumandang.  Mana mungkin sandekala atau mahluk gaib itu berada  di sana.  Aku pun sudah berniat untuk hati hati saat masuk ke sana. Tanpa berisik. Aku berinjit mendekati gudang belakang rumah tentu dengan membaca jampe jampe atau doa doa agar mahluk itu tak mengganggu.
                Angin berdesir. Dingin. Kudukku berdiri. Desir angin itu menyapaku. Ah, jangan kau datang padaku. Jangan... aku gemetar. Berkata dalam hati, menguatkan kaki agar terus melangkah. Mendekat ke arah gudang. Kalau saja itu bukan bola kepunyaan Adi. Maka aku tak mau datang ke sini. Tak mau menyerahkan nyawaku. Tapi aku tak mau dimarahi Adi. Takut bola itu hilang yang pada akhirnya menguatkan aku mendekat ke gudang.  Ketika aku mendekat, kulihat ada bayangan dari pintu gudang yang kebetulan terbuka.  Badanku panas dingin. Serasa kaku. Peluh dingin mulai mengucur. Tidak... tidak... aku tak boleh mengambilnya ke dalam. Aku berbalik arah. Tak lagi melanjutkan langkah.
                “I... Ibu.” Aku berlari ke arah dapur. Memanggil Ibu. Tapi ibu tak ada. Ah, pagi buta memang Ibu selalu ke pasar. Membeli aneka kebutuhan. Aku lupa. Pagi ini, ibu pasti memberikan pesanan kepada Bu Jamilah tetangga yang terhalangi tiga rumah.
                “Besok subuh Ibu mau ke pasar. Sekalian membeli tiga kilo ikan untuk Bu Jamilah. Ada acara sukuran. Jadi jangan mencari kalau Ibu tak ada.”
Aku baru ingat ucapan Ibu semalam. Akhirnya aku terpekur sendiri di ruangan.
                Tak lama Ibu datang. Dengan tangan penuh barang bawaan. Aku menyambutnya bahagia.
                “Bu, benarkah mahluk gaib itu ada?” Aku menggerakan tangan. Agar Ibu mengerti dengan apa yang kubicarakan.
                “Kenapa kau tanyakan itu. Yus?”  Ibu melangkah ke dapur. Setelah melihat ke arahku.
                “Aku melihat bayangan ke luar dari dalam gudang.”
                “Kau ke sana?” Selidik Ibu.
                Aku mengangguk.
                “Iya. Hantu itu ada. Dia ada di sekitar kita. Jadi jangan datang ke sana.”
                “Tapi aku mau bola. Bola punya Adi.”
                “Ya. Sudah nanti Ibu belikan.” Ibu menuntas obrolan.
*
                Benarkah apa yang dikatakan Ibu? Batin ini dipenuhi tanya. Karena setiap kali aku berkata. Berkata tentang mahluk gaib. Mang Danu adik bapakku, sering menertawakanku. Mamang menganggap aku penakut. Penurut pada Ibu. Dan apakah aku harus tetap percaya pada Ibu tentang mahluk gaib itu. Karena ternyata bola itu telah kembali. Ibu bilang bola itu ditemukan di dapur tepatnya. Ah, tapi aku tak percaya. Bukankan bola itu jatuhnya di gudang. Bukan di dapur? Lantas apakah mahluk gaib itu sengaja memindahkan bola dari gudang ke dapur. Untuk membantuku, agar aku tidak ke gudang. Mungkin mahluk halus itu sengaja memberikannya kepada kita. Itu jawaban Ibu ketika aku bertanya. Kenapa bola itu ditemukan di dapur. Dan aku memercayainya. Percaya ucapan Ibu.
                “Ini bolanya, Yus. Ibu tadi membelinya.” Kata Ibu.
                “Ini bola Adi? Ibu tidak membelinya?”  Aku memperlihatkan sebuah tanda. Tanda hitam bekas cat. Kemarin aku ingat bola itu jatuh ke dinding yang baru saja di cat. Warna hitam.
                “Iya. ibu tidak membelinya, koq. Sudahlah yang penting bolamu sudah kembali.”
                “Ibu menemukanya dari mana?” Selidikku.
                “Di dapur.”
                “Dapur?”
                “Yuswin jangan kau pikirkan tentang bola itu. Mungkin mahluk gaib itu kasihan sama kamu. Sama ibu. Sehingga secara gaib ia menyimpannya di dapur.”.
                “Aku pergi dahulu, Bu?”
                “Ke mana?”
                “Ke rumah Adi.”
                “Iya, Ingat jangan main bola deket gudang lagi.”
                Ibu memang tak memperbolehkan anak anak  main bola di dekat rumah. Meskipun ada tanah kosong.  
                “Nanti penunggu marah.“
*
                Batinku begitu tertekan. Omongan Mang Danu tadi pagi ketika aku menyerahkan bola ke rumah Adi. Terngiang di telingaku.
                “Ah, dasar anak bodoh. Mau saja dibohongin Ibu.”
                “Aku tak bodoh?’” Aku marah. Karena Mang Danu berkata seperti itu.
                “Bukan... kamu tidak bodoh.” Mang Danu segera meralat ucapannya. Mengusap kepalaku, tanda menyesal. “Tapi kau harus tahu. Tidak ada hantu di rumahmu. Tepatnya di gudang rumah. Kau sudah besar. Jangan kau selalu percaya pada Ibumu. Begitu kelakuannya dari dahulu, tak pernah berubah. Makanya bapakmu sampai meninggalkannya. Dia tak tahan dengan kelakuan Ibumu.”
                “Bapak?” Aku tertegun. Aku tiba tiba kangen dengan Bapak. Menurut orang memang Bapak pergi ketika aku kecil. Namun aku masih mengingat rupanya, meski lewat poto. Dan menurut Ibu, Bapak adalah laki laki tak bertanggung jawab. Meninggalkan ia dan aku dalam kesusahan. Itu sebab aku tak pernah mau mengingat Bapak. Bapak jahat. Tapi kini omongan Mang Danu, sedikit membuka ingatan tentang Bapak. Apa yang Ibu katakan berbeda dengan yang Mang Danu katakan. Ah, aku menjadi bingung.
                “Ke mana Bapak? Kenapa Bapak pergi, Bu?”
                “Sudah. Jangan kau tanyakan lagi tentang bapakmu. Dia memang laki laki tak tahu diri.” Itu jawaban ibu. Ketika suatu hari kutanyakan tentang Bapak.
                “Mamang tau? Kenapa Bapak pergi?” kali ini aku mencoba bertanya pada Mang Danu.
                Mamang menarik nafas panjang. “Carilah bapakmu ke dalam gudang.” Mang Danu ngeloyor pergi. Meninggalkanku yang termangu.
                “Mungkin itu, Bapak.” Aku beranjak dari tempat tidur ketika suatu malam. Ketika aku melihat dari jendela kamar, ada bayangan yang masuk ke gudang.
                Kuenyahkan rasa takut. Demi kerinduanku kepada Bapak. Aku berinjit mendekati gudang. Melewati dapur. Ya, Bapak pasti telah kembali. Aku girang ketika di belakang gudang kutemukan sepasang sandal. Tanpa bersuara aku membuka pintu gudang. Perlahan.  Udara panas sekali, aku pun membuka baju. Seperti yang Ibu lakukan saat itu. Ibu tak menyadari kehadiranku. Aku memerhatikan  Ibu yang sedang tertawa. Bahagia sekali. Dan Bapak. Bapak yang membelakangiku juga ikutan tertawa. Karena kulihat tengkuknya naik turun. 
                “Ba... ba... pak?” Dengan susah. Akhirnya aku dapat berkata. Sontak laki laki itu melihat ke arahku. Aku terkejut. Karena laki laki itu adalah orang lain.  Aku segera berlari. Dengan dada tak karuan. Hantu itu benar benar ada. Tapi aku ingin menjadi hantu. Agar aku bisa memeluk Ibu. Seperti yang hantu itu lakukan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar