Radar Bromo Probolinggo, 1 Desember 2019 |
Sepasang Sandal di Belakang Gudang
Oleh Nina Rahayu Nadea
Pagi
itu aku mencari bola yang kemarin sore hilang. Kemarin sudah ingin mencari sampai
ketemu. Sayang Ibu memanggilku. Menyuruhku masuk karena hari mulai gelap.
Aku melirik ke kiri kanan yang memang
sudah gelap. Juga teman temanku yang tadinya riuh berada di lapang dekat rumah
tak terlihat batang hidungnya. Mereka langsung pulang ketika bola ini melayang
jauh. Dan tugasku mencarinya. Tapi
kuurungkan tugasku. Masuk ke rumah tanpa bola di tangan.
“Masuk
ke rumah. Hari sudah gelap.” Kata Ibu ketika aku berkata bahwa tadi aku mencari
bola.
“Ya.”
Aku mengangguk setelah menerjemahkan gerakan bibir juga tangan Ibu.
Aku
memang terlahir difabel. Kurang pendengaran sejak kecil. Praktis mengganggu
suaraku. Tak heran jika aku dewasa aku tak banyak teman. Aku sering
menyendiri di rumah. Apalagi Ibu sering melarangku pergi jauh jauh.
Dan
kemarin waktu ada anak anak bermain bola. Bahagia sekali rasanya meski aku
hanya sebagai pengambil bola yang jatuh. Berlari mencari bola. Kemudian
mengembalikannya pada mereka yang bermain.
“Cepat
masuk nanti kau dimakan sandekala.” Ibu berkata keras. Ucapan Ibu membuat aku merinding. Sejak dulu Ibu memang rajin mengingatkan
perihal sandekala atau hantu.
Aku
percaya bahwa di bumi ini ada mahluk lain. Mahluk gaib yang akan marah apabila tempatnya diganggu. Makanya aku
selalu mengingat kata-kata Ibu untuk tak pernah menganggu tempat di mana mahluk
gaib itu berada. Apalagi masuk ke
gudang. Itu sangat tidak mungkin. Tempatnya begitu angker.
Tapi
subuh ini aku terpaksa melanggar omongan Ibu. Aku berinjit ke belakang rumah.
Mendekati gudang tepatnya. Lagian jam sudah menunjukan pukul lima kurang lima
belas menit. Adan subuh telah berkumandang. Mana mungkin sandekala atau mahluk gaib itu
berada di sana. Aku pun sudah berniat untuk hati hati saat
masuk ke sana. Tanpa berisik. Aku berinjit mendekati gudang belakang rumah
tentu dengan membaca jampe jampe atau doa doa agar mahluk itu tak mengganggu.
Angin
berdesir. Dingin. Kudukku berdiri. Desir angin itu menyapaku. Ah, jangan kau
datang padaku. Jangan... aku gemetar. Berkata dalam hati, menguatkan kaki agar
terus melangkah. Mendekat ke arah gudang. Kalau saja itu bukan bola kepunyaan Adi.
Maka aku tak mau datang ke sini. Tak mau menyerahkan nyawaku. Tapi aku tak mau
dimarahi Adi. Takut bola itu hilang yang pada akhirnya menguatkan aku mendekat
ke gudang. Ketika aku mendekat, kulihat
ada bayangan dari pintu gudang yang kebetulan terbuka. Badanku panas dingin. Serasa kaku. Peluh
dingin mulai mengucur. Tidak... tidak... aku tak boleh mengambilnya ke dalam.
Aku berbalik arah. Tak lagi melanjutkan langkah.
“I...
Ibu.” Aku berlari ke arah dapur. Memanggil Ibu. Tapi ibu tak ada. Ah, pagi buta
memang Ibu selalu ke pasar. Membeli aneka kebutuhan. Aku lupa. Pagi ini, ibu
pasti memberikan pesanan kepada Bu Jamilah tetangga yang terhalangi tiga rumah.
“Besok
subuh Ibu mau ke pasar. Sekalian membeli tiga kilo ikan untuk Bu Jamilah. Ada
acara sukuran. Jadi jangan mencari kalau Ibu tak ada.”
Aku baru ingat
ucapan Ibu semalam. Akhirnya aku terpekur sendiri di ruangan.
Tak
lama Ibu datang. Dengan tangan penuh barang bawaan. Aku menyambutnya bahagia.
“Bu,
benarkah mahluk gaib itu ada?” Aku menggerakan tangan. Agar Ibu mengerti dengan
apa yang kubicarakan.
“Kenapa
kau tanyakan itu. Yus?” Ibu melangkah ke
dapur. Setelah melihat ke arahku.
“Aku
melihat bayangan ke luar dari dalam gudang.”
“Kau
ke sana?” Selidik Ibu.
Aku
mengangguk.
“Iya.
Hantu itu ada. Dia ada di sekitar kita. Jadi jangan datang ke sana.”
“Tapi
aku mau bola. Bola punya Adi.”
“Ya.
Sudah nanti Ibu belikan.” Ibu menuntas obrolan.
*
Benarkah
apa yang dikatakan Ibu? Batin ini dipenuhi tanya. Karena setiap kali aku
berkata. Berkata tentang mahluk gaib. Mang Danu adik bapakku, sering
menertawakanku. Mamang menganggap aku penakut. Penurut pada Ibu. Dan apakah aku
harus tetap percaya pada Ibu tentang mahluk gaib itu. Karena ternyata bola itu
telah kembali. Ibu bilang bola itu ditemukan di dapur tepatnya. Ah, tapi aku
tak percaya. Bukankan bola itu jatuhnya di gudang. Bukan di dapur? Lantas
apakah mahluk gaib itu sengaja memindahkan bola dari gudang ke dapur. Untuk
membantuku, agar aku tidak ke gudang. Mungkin mahluk halus itu sengaja memberikannya
kepada kita. Itu jawaban Ibu ketika aku bertanya. Kenapa bola itu ditemukan di
dapur. Dan aku memercayainya. Percaya ucapan Ibu.
“Ini
bolanya, Yus. Ibu tadi membelinya.” Kata Ibu.
“Ini
bola Adi? Ibu tidak membelinya?” Aku
memperlihatkan sebuah tanda. Tanda hitam bekas cat. Kemarin aku ingat bola itu
jatuh ke dinding yang baru saja di cat. Warna hitam.
“Iya.
ibu tidak membelinya, koq. Sudahlah yang penting bolamu sudah kembali.”
“Ibu
menemukanya dari mana?” Selidikku.
“Di
dapur.”
“Dapur?”
“Yuswin
jangan kau pikirkan tentang bola itu. Mungkin mahluk gaib itu kasihan sama
kamu. Sama ibu. Sehingga secara gaib ia menyimpannya di dapur.”.
“Aku
pergi dahulu, Bu?”
“Ke
mana?”
“Ke
rumah Adi.”
“Iya,
Ingat jangan main bola deket gudang lagi.”
Ibu
memang tak memperbolehkan anak anak main
bola di dekat rumah. Meskipun ada tanah kosong.
“Nanti
penunggu marah.“
*
Batinku
begitu tertekan. Omongan Mang Danu tadi pagi ketika aku menyerahkan bola ke
rumah Adi. Terngiang di telingaku.
“Ah,
dasar anak bodoh. Mau saja dibohongin Ibu.”
“Aku
tak bodoh?’” Aku marah. Karena Mang Danu berkata seperti itu.
“Bukan...
kamu tidak bodoh.” Mang Danu segera meralat ucapannya. Mengusap kepalaku, tanda
menyesal. “Tapi kau harus tahu. Tidak ada hantu di rumahmu. Tepatnya di gudang
rumah. Kau sudah besar. Jangan kau selalu percaya pada Ibumu. Begitu
kelakuannya dari dahulu, tak pernah berubah. Makanya bapakmu sampai meninggalkannya.
Dia tak tahan dengan kelakuan Ibumu.”
“Bapak?”
Aku tertegun. Aku tiba tiba kangen dengan Bapak. Menurut orang memang Bapak
pergi ketika aku kecil. Namun aku masih mengingat rupanya, meski lewat poto.
Dan menurut Ibu, Bapak adalah laki laki tak bertanggung jawab. Meninggalkan ia
dan aku dalam kesusahan. Itu sebab aku tak pernah mau mengingat Bapak. Bapak
jahat. Tapi kini omongan Mang Danu, sedikit membuka ingatan tentang Bapak. Apa
yang Ibu katakan berbeda dengan yang Mang Danu katakan. Ah, aku menjadi
bingung.
“Ke
mana Bapak? Kenapa Bapak pergi, Bu?”
“Sudah.
Jangan kau tanyakan lagi tentang bapakmu. Dia memang laki laki tak tahu diri.”
Itu jawaban ibu. Ketika suatu hari kutanyakan tentang Bapak.
“Mamang
tau? Kenapa Bapak pergi?” kali ini aku mencoba bertanya pada Mang Danu.
Mamang
menarik nafas panjang. “Carilah bapakmu ke dalam gudang.” Mang Danu ngeloyor
pergi. Meninggalkanku yang termangu.
“Mungkin
itu, Bapak.” Aku beranjak dari tempat tidur ketika suatu malam. Ketika aku
melihat dari jendela kamar, ada bayangan yang masuk ke gudang.
Kuenyahkan
rasa takut. Demi kerinduanku kepada Bapak. Aku berinjit mendekati gudang.
Melewati dapur. Ya, Bapak pasti telah kembali. Aku girang ketika di belakang
gudang kutemukan sepasang sandal. Tanpa bersuara aku membuka pintu gudang.
Perlahan. Udara panas sekali, aku pun
membuka baju. Seperti yang Ibu lakukan saat itu. Ibu tak menyadari kehadiranku.
Aku memerhatikan Ibu yang sedang tertawa.
Bahagia sekali. Dan Bapak. Bapak yang membelakangiku juga ikutan tertawa.
Karena kulihat tengkuknya naik turun.
“Ba...
ba... pak?” Dengan susah. Akhirnya aku dapat berkata. Sontak laki laki itu
melihat ke arahku. Aku terkejut. Karena laki laki itu adalah orang lain. Aku segera berlari. Dengan dada tak karuan. Hantu
itu benar benar ada. Tapi aku ingin menjadi hantu. Agar aku bisa memeluk Ibu.
Seperti yang hantu itu lakukan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar