Selasa, 30 Juni 2020

Semut di Atas Jaket

  
Dimuat di Koran Merapi Yogyakarta, 6 Juni 2020

Semut di Atas Jaket
Oleh Nina Rahayu Nadea

                “Tidiit.” Klakson motor Terdengar. Aku segera membukakan pintu. Mempersilakan Mas Han untuk segera masuk..
                “Ayo, Mas duduk. Aku ganti baju dahulu. Mas mau minum apa?”
                “Terserahmu. Yang penting enak.”
                Pagi itu aku berencana ke luar. Selain mencari udara segar. Hal lain yang penting adalah membeli peralatan untuk acara pernikahan kami nanti. Menyicil. Supaya  tidak kerepotan nantinya.
                Beruntung aku akan bersanding dengan Mas Han. Laki laki yang selalu memanjakan. Selalu menyanggupi keinginanku. Benar benar lelaki  yang mengerti keinginan wanita. Beberapa kali aku menjalin hubungan. Selalu kandas. Penyebabnya? karena mereka tak mampu mengerti keinginan wanita. Hingga pada akhirnya aku merasa tak cocok.
                “Nek, aku pergi dulu yah.” Aku memeluk Nenek yang sedang duduk di kursi.
                “Kemana?”
                “Pergi bareng Mas Han. Nyari sesuatu.”
                “Hati-hati. Ingat pulangnya bawa oleh-oleh yah.”
                “Iya. Nenek nanti mau dibelikan apa?”
                “Biasa. Kesukaan Nenek saja.”
*
                Aku  merapatkan badan. Memeluk pinggang Mas Han erat. Ketika motornya melaju dengan kencang. Mas Han begitu piawai menjalankan motor, meskipun ngebut, aku menyukainya. Namun tak urung aku terhenyak, ketika tetiba sebuah truk di depan berhenti mendadak. Badanku nyaris jatuh jika saja tak segera memegang kencang jaket Mas Han. Rem mendadak membuatku gemetar.
                “Jangan cepat-cepat jalannya, Mas. Santai saja. Lagian kita tak diburu waktu.”
                “Iya. Maaf. Tadi truknya berhenti mendadak.” Mas Han berkata. Mengurangi volume motornya untuk kemudian melaju dengan kecepatan sedang.
                Aku kembali bersandar di punggung Mas Han. Lebih enak. Lebih relax. Dengan leluasa anganku mengembara merasakan sesuatu di dalam hati. Ingin segera kulalui waktu tiga bulan ke depan. Ingin segera kuuntai. Aku ingin segera resmi menjadi seorang nyonya. Nyonya Handoko Wibowo. Seorang lelaki berpenampilan  sederhana, yang  memanjakanku setiap saat. Aku begitu salut. Meski pun bekerja di tempat yang tidak terlalu besar. Mas Han gemar menabung.  Menyisihkan uang untuk bekal masa depan.
                Dan ketika usia pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi. Ia pun segera bersiap.  Beragam keperluan mulai ditata  dan sedikit demi sedikit kami mulai membelinya. Tapi di akhir bulan ini, ada banyak sekali peralatan yang kami beli. Semula aku ragu untuk mengutarakan pada Mas Han. Namun kiranya ia mengerti, malah ia yang pertama kali bertanya tentang kebutuhan bulan ini. Hingga raguku hilang.   Malah dengan mudah Mas Han memberikan sejumlah uang yang kuperlukan.  
                “Mas, kita ke toko pakaian dulu yah. Beli baju tidur dulu.” Ucapku, mendongakan kepala ke arahnya, memegang pipi yang tiba tiba nyeri karena gigitan sesuatu. Ah, kiranya seekor semut. Aku membuang semut di pipi. Mengambil cermin dari tas untuk sekedar melihat keadaan pipiku. Hem, sedikit merah.
                “Ke toko pakaian dulu....” Suaraku lebih keras, ketika tak ada jawaban dari Mas Han.
                “Iya.”
                Aku bahagia mendengarnya. Sama bahagianya dengan semut semut yang tiba tiba saja menyembul ke luar dari jaket Mas Han. Ke luar bukan hanya satu, tapi belasan. Sementara aku menjadikannya sebagai tontonan yang unik. Aku menatap mereka-para semut yang berjalan beriringan. Bekerja sama. Lama kutatap mereka. Namun pada akhirnya aku membuangnya juga. Ah, semut itu  kiranya ingin menyaksikan kebahagiaanku. Seperti gaib, ia tiba tiba datang dan berada di atas jaket Mas Han.
                Maka ketika motor melewati sebuah pertokoan. Kami pun turun di sana. Masuk. Memiilih milih pakaian yang cocok dengan badanku. Tentu dengan pilihan Mas Han. Dan tentu aku tak boleh menolak. Demi menyenangkannya. Tidak terpaksa sebenarnya, karena aku pun akan menyukainya. Lagian pilihan Mas Han  senantiasa cocok untukku.
*
Nenekku sedang menangis ketika aku pulang dengan Mas Han. Menangis sejadinya. Layaknya anak kecil kehilangan mainan kesayangan.
                “Kenapa Nek? Ada apa dengan Nenek, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang merayu Nenek agar diam dari tangisnya.
                “Gigi palsu Nenek hilang, Rat.”
                “Nenek lupa nyimpen kali. Sudahlah jangan nangis dulu. Nanti Ratna cari dulu.” Ujarku berusaha menenangkannya. “Oh, iya, nih oleh-oleh buat Nenek. Kesukaan Nenek.” Aku membuka kantung belanjaan, memberikan sesuatu pada Nenek.
                Bukannya mengambil, Nenek malah marah dan membelakingiku.
                “Kenapa, Nek?”
                “Kamu malah meledek Nenek. Memberikan oleh-oleh segala!”
                “Tapi kan ini pesanan Nenek?” Aku bingung.
                “Kamu tau kan, gigi Nenek hilang.  Kalau ada, pasti gulali itu sudah Nenek makan sekarang. Kamu tahu kan Nenek sangat cinta gulali. Tanpa gigi palsu itu Nenek tak bisa mengunyahnya.” Nenek cemberut.
                “Sudahlan. Bu. Nanti sore kita ke dokter gigi yah. Kita buatkan gigi palsu yang baru.” Ibu berbicara halus.
                “Kamu tuh seperti ngak tau saja. Itu kan gigi pemberian bapakmu. Kenangan yang takan dilupa. Gigi emas yang susah didapatkan. Ah, lagian Nenek ngak mau gigi palsu baru. Nenek ingin gigi itu kembali sekarang.”
                “Iya...iya. sudahlah nanti kita cari dahulu.” Seisi rumah mulai kebingungan. Apalagi melihat Nenek yang menerus nangis. Yah, semua tahu. Bukan sekedar gigi sembarangan. Namun gigi palsu itu menyimpan banyak kenangan tentang almarhum Kakek. Menyimpan kenangan tentang aneka macam gulali yang dimakan. Itu  sebab mungkin yang membuat gigi Nenek rusak, hingga pada akhirnya di usia yang tidak terlalu tua, Nenek sudah menggunakan gigi palsu. Dengan gigi palsu itu pula Nenek sering mengisi lembaran lamunan. Membaca buku buku peninggalan Kakek, membuka lembaran poto poto. Sedari kecil Nenek pecinta gulali. Maka tak heran ke mana pun pergi, Nenek selalu membawa gulali.  Dan dengan gulali pula sedikit demi sedikit luka Nenek karena menerus mengingat Kakek sedikit terobati. Gigi palsu dan gulali adalah sebuah paket yang mungkin susah untuk dilepas. Kenangan yang terlalu mahal.
                Dengan membuka album kenangan lama. Nenek akan berlama lama duduk di kursi belakang rumah. Kursi di bawah pohon itu sengaja Ibu buatkan khusus untuk Nenek. Berlama lama di sana, membaca kenangan dahulu kala tanpa diganggu oleh banyak orang. Nenek suka menyendiri dengan kenangan di kepalanya. Dengan gulali di mulutnya.
                Maka ketika gigi palsu nenek hilang, semua orang menjadi bingung. Bingung karena Nenek bersikeras untuk mendapatkankan kenangannya kembali lewat gigi yang hilang. Namun tak mau menggantinya dengan yang baru.
                “Ya. Sudah. Sebaiknya Nenek beristirahat dahulu, yah. Nanti Ratna carikan. Pasti ketemu.“ Aku menuntun Nenek ke arah kamar. Diantara cucu yang lain Nenek memang lebih dekat denganku. Sedikit menurut. “Nenek jangan menangis dulu. Nanti Kakek sedih kalau lihat Nenek nangis.”Aku kembali berkata. Membuka pintu kamar dan menuntun Nenek ke arah tempat tidur. “Nenek tidur dahulu, yah. Pasti ketemu ketika Nenek bangun tidur.” Sebersit ide tiba tiba datang.
                Aku akan pergi ke dokter gigi sekarang juga. Mudah mudahan Dr. Doko. Dokter keluarga kami bisa membantu. Meski harus berbohong kepada Nenek. Kami berencana membuatkan gigi palsu untuk Nenek. Tanpa  perlu Nenek tahu. Bahwa itu adalah gigi baru.
                “Idemu bagus, Rat. Pergilah kau bersama Han.” Ibu mendukung ideku.
                “Di mana Mas Han, Bu?”
                “Lagi di air.”
                Segera aku menuju ke ruang tamu. Mengambil hasil belanjaan yang masih teronggok di sana.  Aha, semut itu... semut itu kembali terlihat di atas jaket Mas Han. Langkahku terhenti ketika melewati jaket Mas Han.
                “Semut lagi.” Gerutuku. Melihat dari arah mana sebenarnya semut itu datang. Kuikuti. Ternyata dari dalam saku jaket Mas Han. Persis di dalam jaket. Bukan di luarnya.
                Aku pun mengikuti gerak semut. Sambil membersihkannya.
                “Mungkin ada sesuatu dalam saku Mas Han.” Tanganku merogoh saku Mas Han. Sesuatu kuraba.  Dan segera kutarik ke luar. Kutelisik.
                “Hah. Gigi emas?” Aku  tercengang, gambaran aku kecil dan Nenek ketika mengunyah gulali bersama, menari di pelupuk mata.***


                Profil Penulis
Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Karyanya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Banyuwangi, Jabar Ekspres, Majalah Geliat, Rakyat Sultra-Sulawesi Tenggara,  Koran Pantura Probolinggo, Majalah Cianjur, Koran Haluan Sumatera, Medan Pos, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar