Dimuat di Koran Merapi Yogyakarta, 6 Juni 2020 |
Semut di Atas Jaket
Oleh Nina Rahayu Nadea
“Tidiit.”
Klakson motor Terdengar. Aku segera membukakan pintu. Mempersilakan Mas Han
untuk segera masuk..
“Ayo,
Mas duduk. Aku ganti baju dahulu. Mas mau minum apa?”
“Terserahmu.
Yang penting enak.”
Pagi
itu aku berencana ke luar. Selain mencari udara segar. Hal lain yang penting
adalah membeli peralatan untuk acara pernikahan kami nanti. Menyicil. Supaya tidak kerepotan nantinya.
Beruntung
aku akan bersanding dengan Mas Han. Laki laki yang selalu memanjakan. Selalu menyanggupi
keinginanku. Benar benar lelaki yang
mengerti keinginan wanita. Beberapa kali aku menjalin hubungan. Selalu kandas.
Penyebabnya? karena mereka tak mampu mengerti keinginan wanita. Hingga pada
akhirnya aku merasa tak cocok.
“Nek,
aku pergi dulu yah.” Aku memeluk Nenek yang sedang duduk di kursi.
“Kemana?”
“Pergi
bareng Mas Han. Nyari sesuatu.”
“Hati-hati.
Ingat pulangnya bawa oleh-oleh yah.”
“Iya.
Nenek nanti mau dibelikan apa?”
“Biasa.
Kesukaan Nenek saja.”
*
Aku
merapatkan badan. Memeluk pinggang Mas Han
erat. Ketika motornya melaju dengan kencang. Mas Han begitu piawai menjalankan
motor, meskipun ngebut, aku menyukainya. Namun tak urung aku terhenyak, ketika tetiba
sebuah truk di depan berhenti mendadak. Badanku nyaris jatuh jika saja tak
segera memegang kencang jaket Mas Han. Rem mendadak membuatku gemetar.
“Jangan
cepat-cepat jalannya, Mas. Santai saja. Lagian kita tak diburu waktu.”
“Iya.
Maaf. Tadi truknya berhenti mendadak.” Mas Han berkata. Mengurangi volume
motornya untuk kemudian melaju dengan kecepatan sedang.
Aku
kembali bersandar di punggung Mas Han. Lebih enak. Lebih relax. Dengan leluasa
anganku mengembara merasakan sesuatu di dalam hati. Ingin segera kulalui waktu tiga
bulan ke depan. Ingin segera kuuntai. Aku ingin segera resmi menjadi seorang
nyonya. Nyonya Handoko Wibowo. Seorang lelaki berpenampilan sederhana, yang memanjakanku setiap saat. Aku begitu salut.
Meski pun bekerja di tempat yang tidak terlalu besar. Mas Han gemar menabung. Menyisihkan uang untuk bekal masa depan.
Dan
ketika usia pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi. Ia pun segera
bersiap. Beragam keperluan mulai ditata dan sedikit demi sedikit kami mulai membelinya.
Tapi di akhir bulan ini, ada banyak sekali peralatan yang kami beli. Semula aku
ragu untuk mengutarakan pada Mas Han. Namun kiranya ia mengerti, malah ia yang
pertama kali bertanya tentang kebutuhan bulan ini. Hingga raguku hilang. Malah
dengan mudah Mas Han memberikan sejumlah uang yang kuperlukan.
“Mas,
kita ke toko pakaian dulu yah. Beli baju tidur dulu.” Ucapku, mendongakan
kepala ke arahnya, memegang pipi yang tiba tiba nyeri karena gigitan sesuatu. Ah,
kiranya seekor semut. Aku membuang semut di pipi. Mengambil cermin dari tas
untuk sekedar melihat keadaan pipiku. Hem, sedikit merah.
“Ke
toko pakaian dulu....” Suaraku lebih keras, ketika tak ada jawaban dari Mas
Han.
“Iya.”
Aku
bahagia mendengarnya. Sama bahagianya dengan semut semut yang tiba tiba saja
menyembul ke luar dari jaket Mas Han. Ke luar bukan hanya satu, tapi belasan.
Sementara aku menjadikannya sebagai tontonan yang unik. Aku menatap mereka-para
semut yang berjalan beriringan. Bekerja sama. Lama kutatap mereka. Namun pada
akhirnya aku membuangnya juga. Ah, semut itu kiranya ingin menyaksikan kebahagiaanku.
Seperti gaib, ia tiba tiba datang dan berada di atas jaket Mas Han.
Maka
ketika motor melewati sebuah pertokoan. Kami pun turun di sana. Masuk. Memiilih
milih pakaian yang cocok dengan badanku. Tentu dengan pilihan Mas Han. Dan
tentu aku tak boleh menolak. Demi menyenangkannya. Tidak terpaksa sebenarnya,
karena aku pun akan menyukainya. Lagian pilihan Mas Han senantiasa cocok untukku.
*
Nenekku sedang
menangis ketika aku pulang dengan Mas Han. Menangis sejadinya. Layaknya anak
kecil kehilangan mainan kesayangan.
“Kenapa
Nek? Ada apa dengan Nenek, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang merayu Nenek agar
diam dari tangisnya.
“Gigi
palsu Nenek hilang, Rat.”
“Nenek
lupa nyimpen kali. Sudahlah jangan nangis dulu. Nanti Ratna cari dulu.” Ujarku
berusaha menenangkannya. “Oh, iya, nih oleh-oleh buat Nenek. Kesukaan Nenek.”
Aku membuka kantung belanjaan, memberikan sesuatu pada Nenek.
Bukannya
mengambil, Nenek malah marah dan membelakingiku.
“Kenapa,
Nek?”
“Kamu
malah meledek Nenek. Memberikan oleh-oleh segala!”
“Tapi
kan ini pesanan Nenek?” Aku bingung.
“Kamu
tau kan, gigi Nenek hilang. Kalau ada,
pasti gulali itu sudah Nenek makan sekarang. Kamu tahu kan Nenek sangat cinta
gulali. Tanpa gigi palsu itu Nenek tak bisa mengunyahnya.” Nenek cemberut.
“Sudahlan.
Bu. Nanti sore kita ke dokter gigi yah. Kita buatkan gigi palsu yang baru.” Ibu
berbicara halus.
“Kamu
tuh seperti ngak tau saja. Itu kan gigi pemberian bapakmu. Kenangan yang takan
dilupa. Gigi emas yang susah didapatkan. Ah, lagian Nenek ngak mau gigi palsu
baru. Nenek ingin gigi itu kembali sekarang.”
“Iya...iya.
sudahlah nanti kita cari dahulu.” Seisi rumah mulai kebingungan. Apalagi
melihat Nenek yang menerus nangis. Yah, semua tahu. Bukan sekedar gigi
sembarangan. Namun gigi palsu itu menyimpan banyak kenangan tentang almarhum
Kakek. Menyimpan kenangan tentang aneka macam gulali yang dimakan. Itu sebab mungkin yang membuat gigi Nenek rusak,
hingga pada akhirnya di usia yang tidak terlalu tua, Nenek sudah menggunakan
gigi palsu. Dengan gigi palsu itu pula Nenek sering mengisi lembaran lamunan.
Membaca buku buku peninggalan Kakek, membuka lembaran poto poto. Sedari kecil Nenek
pecinta gulali. Maka tak heran ke mana pun pergi, Nenek selalu membawa gulali. Dan dengan gulali pula sedikit demi sedikit
luka Nenek karena menerus mengingat Kakek sedikit terobati. Gigi palsu dan
gulali adalah sebuah paket yang mungkin susah untuk dilepas. Kenangan yang
terlalu mahal.
Dengan
membuka album kenangan lama. Nenek akan berlama lama duduk di kursi belakang
rumah. Kursi di bawah pohon itu sengaja Ibu buatkan khusus untuk Nenek. Berlama
lama di sana, membaca kenangan dahulu kala tanpa diganggu oleh banyak orang.
Nenek suka menyendiri dengan kenangan di kepalanya. Dengan gulali di mulutnya.
Maka
ketika gigi palsu nenek hilang, semua orang menjadi bingung. Bingung karena Nenek
bersikeras untuk mendapatkankan kenangannya kembali lewat gigi yang hilang.
Namun tak mau menggantinya dengan yang baru.
“Ya.
Sudah. Sebaiknya Nenek beristirahat dahulu, yah. Nanti Ratna carikan. Pasti
ketemu.“ Aku menuntun Nenek ke arah kamar. Diantara cucu yang lain Nenek memang
lebih dekat denganku. Sedikit menurut. “Nenek jangan menangis dulu. Nanti Kakek
sedih kalau lihat Nenek nangis.”Aku kembali berkata. Membuka pintu kamar dan
menuntun Nenek ke arah tempat tidur. “Nenek tidur dahulu, yah. Pasti ketemu
ketika Nenek bangun tidur.” Sebersit ide tiba tiba datang.
Aku
akan pergi ke dokter gigi sekarang juga. Mudah mudahan Dr. Doko. Dokter
keluarga kami bisa membantu. Meski harus berbohong kepada Nenek. Kami berencana
membuatkan gigi palsu untuk Nenek. Tanpa
perlu Nenek tahu. Bahwa itu adalah gigi baru.
“Idemu
bagus, Rat. Pergilah kau bersama Han.” Ibu mendukung ideku.
“Di
mana Mas Han, Bu?”
“Lagi
di air.”
Segera
aku menuju ke ruang tamu. Mengambil hasil belanjaan yang masih teronggok di
sana. Aha, semut itu... semut itu kembali
terlihat di atas jaket Mas Han. Langkahku terhenti ketika melewati jaket Mas
Han.
“Semut
lagi.” Gerutuku. Melihat dari arah mana sebenarnya semut itu datang. Kuikuti. Ternyata
dari dalam saku jaket Mas Han. Persis di dalam jaket. Bukan di luarnya.
Aku
pun mengikuti gerak semut. Sambil membersihkannya.
“Mungkin
ada sesuatu dalam saku Mas Han.” Tanganku merogoh saku Mas Han. Sesuatu kuraba.
Dan segera kutarik ke luar. Kutelisik.
“Hah.
Gigi emas?” Aku tercengang, gambaran aku
kecil dan Nenek ketika mengunyah gulali bersama, menari di pelupuk mata.***
Profil Penulis
Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Sunda. Karyanya dimuat di:
Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa
Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh,
Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang,
Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar,
Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah
Guneman, Sastra Sumbar, Majalah Bobo,
Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Solo Pos, Joglo Semar,
Radar Banyuwangi, Jabar Ekspres, Majalah Geliat, Rakyat Sultra-Sulawesi
Tenggara, Koran Pantura Probolinggo,
Majalah Cianjur, Koran Haluan Sumatera, Medan Pos, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar