Senja di Malioboro
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Bruuk....
Suara pintu yang kubanting terdengar keras.
Dengan berurai air mata kutinggalkan kamar yang sedari tadi menjadi
perbincangan antara aku dan suamiku. Sudah jauh hari aku membujuk suamiku untuk
ikut acara study tour yang
diselenggarakan kantorku. Walau sudah aku tebak, pasti penolakan yang akan
kuterima. Bodohnya aku, kenapa berulang
kali memintanya untuk ikut serta.
“Tolonglah Mas ikut sekali ini saja.”
“Pergilah dengan anak-anak saja. Kau
kan sudah tau aku sibuk bekerja. Aku percaya koq sama kamu.”
“Bukan masalah percaya atau tidak Mas,
aku hanya kasihan sama anak-anak. Setiap pergi tak pernah sekali pun kau ikut.
Mas kan bisa cuti?”
“Tapi sungguh hari besok aku tidak
bisa cuti. Tak terbayangkan kalau aku cuti. Masalah di kantor pasti akan
menumpuk. Jangankan tiga hari, libur sehari saja, hancur lebur.”
“Ah, Kau egois hanya memikirkan
pekerjaanmu saja....”
Suamiku diam.
“Ya, mudah-mudahan tahun depan aku
bisa ikut yah,” suami meredam marahku.
Sebenarnya bukan alasan tidak bisa
mengambil cuti. Ini hanya perbedaan prinsip saja. Aku sebenarnya sudah tahu
bahwa suamiku memang selalu tidak mau untuk mencampur adukan masalah
pekerjaannya dengan pekerjaanku. Ia tak mau terlalu akrab dengan rekan di
kantorku. Karena ia tak mau sosoknya menjadi bahan gunjingan atau sekedar bahan
obrolan di kantorku. Jadi selama ini ia memang menjaga jarak dengan teman-teman
di kantorku. Cukup hanya mengantar dan menjemputku itu saja.
Maka sudah terbiasa aku mengikuti kegiatan
yang diselenggarakan kantorku seorang diri, paling bersama kedua anakku. Aku menjadi wanita yang mandiri dalam
menghadiri acara kantorku. Tapi pembicaraanku dengan Bu Maya kemarin siang begitu
memanaskan telinga dan menjadi beban pikiranku.
“Sama siapa piknik nanti?”
“Ya biasa paling sama anak-anak, Bu.”
“Mengapa suamimu itu tak pernah mau
ikut?”
“Maklum Bu, suamiku kan sibuk. Tiap
hari saja pulangnya malam.”
“Jangan...jangan ia mengambil
kesempatan ketika kau pergi.”
“Maksud Ibu?”
“Jaman sekarang istri harus bisa
memantau suami. Lengah sedikit saja ia bisa tergoda perempuan lain. Ya, seperti
suamiku dulu. Akhirnya aku harus merelakan ia berpaling ke wanita lain. Kini
hidupku sepi.”
*
Malam kian pekat, bintang di langit
berkelap-kelip. Memberikan cumbuan kecil pada pasangannya. Sang bintang asyik
bercinta, sesekali mengerling ke arahku yang
sedang dirundung duka. Aku iri melihat bintang yang tak pernah lelah memberi
sinar pada pasangannya. Aku iri pada sang rembulan yang memberi cahaya untukku,
untuk yang lain. Sementara seseorang yang senantiasa kurindu, kuharap cahayanya
di setiap waktu, tak mau mengabulkan keinginan. Dia sangat egois, batinku. Tak
pernah terbersit di hatinya tentang anak-anaknya, yang menyimpan rasa iri melihat
teman sebayanya bersama dengan orang tua lengkap di setiap acara. Kutatap Rey
dan Raka yang sedari tertidur pulas. Kukecup
mereka dengan cintaku. Kurebahkan badan di samping mereka. Berharap kegelisahan
dan duka yang
bersarang di hatiku
pupus. Kupejamkan mataku….
“Mama Rey, apakah Rey punya Papa?”
“Ya punya dong!”
“Koq ngak ikut.”
“Papa Rey kan kerja”
“Kerjanya berapa jam? lama yah?”
Aku tersenyum mendengar Kiki anak
Pak Andre teman sekantorku berkata pada saat acara mancing bersama
di bulan lalu. Aku bisa menebak apa
isi hatinya. Mungkin ia membandingkan dengan orang tuanya yang sibuk tapi selalu
ikut dalam acara yang ada di kantor. Sementara Rey, anakku belum pernah
sekalipun mengikuti acara dengan papanya. Umur Kiki dan Rey sama, 4 tahun, jadi
mereka begitu polos. Apalagi kalau
teman-temanku yang berargumen. Entah apa yang mereka pikirkan.
Ah, aku tak bisa menebak
isi hati mereka.
*
Setelah keberangkatan suamiku, aku mulai memersiapkan segala keperluan
untuk acara nanti malam. Anak-anak
bersikeras untuk membawa perbekalan mereka sendiri-sendiri.Tapi tak tega
rasanya, mengingat mereka yang umurnya masih imut. Maka demi menyenangkan
mereka buah hatiku. Kini aku rela mengambil semua barang mereka dan mengemasnya
ke dalam satu kantong besar.
“Biar aku aja yang bawanya Ma, Raka
kan sudah besar.”
“Iya Rey juga mau sendiri, Ma, kaya
Kaka!”
“Ya sudah cemilannya saja bawa ke
tas masing-masing.”
“Ya. Biar baju kami saja ya, yang menemani baju Mama, kan Papa ngak ikut.
Jadi Mamanya ngak kesepian. Hehe.” Raka berceloteh.
Deg...
Mendengarkan ia bicara serasa ulu
hati ini ada yang menikam. Tapi aku berusaha tersenyum di hadapan mereka, buah
hatiku tercinta. Aku tak mau mereka tahu bahwa hati ini memang benar dilanda
sepi yang teramat sangat. Hati ini begitu cemburu melihat kemesraan teman-teman
pabila tiap acara berlangsung. Tapi semua bayangan itu kupupus dan tak
kuhiraukan. Niatku hanya satu aku ingin membahagiakan anak-anakku. Biarlah hati
ini begitu pedih tapi anakku harus tetap bahagia.
*
“Asyik naik bus....” Rey mulai
bertingkah. Mulut mungilnya berceloteh.
Seakan tak ada habisnya ia membanggakan dirinya yang rekreasi ke Yogyakarta. Hmm
sepertinya, hanya ia saja yang berangkat.
“Duduk dong Rey,” kataku sambil
menutupkan gorden kaca tempat dudukku.
“Enggak ah...Rey mau berdiri, mau
lihat mobil yang bagus,” mulutnya monyong ke arahku.
“Iya deh, awas hati-hati. Pegangan yah,
nanti Rey kejedot.”
Kupandangi Raka yang duduk di tengah.
Ia rupanya kelelahan, tertidur pulas. Kuambilkan jaket dan kuselimutkan pada
badannya. Aku pun tak lupa memakai jaket di tubuhku. Udara malam ditambah AC
membuat badanku menggigil.
Malam kian merangkak. Satu persatu
semua penumpang mulai terlelap, dibuai dengan mimpi masing-masing. Hanya deru
mesin bus dan helaan nafas yang bersahutan kudengar. Mataku kulayangkan ke arah
depan. Kulihat Pak Sopir dengan piawainya membawa awak bus membelah jalan. Di
belakang Pak sopir, Kulihat Bu Wawat sudah terlelap. Kepalanya bersender ke
bahu Pak Soni suaminya, dan dengan mesra Pak Soni melingkarkan tangannya ke
pundak istrinya. Kembali mataku kulayangkan tepat di jok depan. Berada tepat di
depanku. Pak Umar dan istrinya disertai Gading anaknya yang umurnya sebaya
dengan Raka. Ah, betapa lengkap dan bahagianya mereka bisa datang kemanapun
bersama keluarga, batinku berkata.
Bus yang kutumpangi semakin kencang.
Membelah jalan. Kuusahakan mataku ini untuk terpejam, kukecup Rey dan Raka yang
berada di pinggirku. Selamat tidur anakku sayang. Pikirku kembali menerawang.
Semakin aku memandang teman-temanku semakin hatiku diliputi perasaan iri yang
demikian besar. Aku iri pada teman-temanku yang senantiasa datang bersama
pasangan utuhnya, tidak seperti aku yang senantiasa dilanda sepi.
“Nanti ke airnya bentar lagi, kalau
isi bensin, “Pak Yuda yang berada persis disampingku berkata pada istrinya.
Bahagia sekali Pak Yuda bisa datang
bareng dengan Bu Yasmi temanku. Padahal tadinya Bu Yasmin ngak akan ikut karena
sakit diabetes. Kemarin-kemarin waktu kami menengoknya ia begitu tak berdaya.
Tergolek lesu di rumah sakit, dengan kaki yang bengkak karena penyakitnya.
Syukurlah hari ini ia bisa ikut. Mungkin
sekarang kondisinya sedang stabil, batinku. Karena kalau kulihat
sekarang, secara fisik Bu Yasmin sama
sekali tidak terlihat sakit. Hanya memang ia seringkali diam di dalam bus, kalau bus berhenti. Tidak seperti orang lain
yang kerap kali ke luar mencari udara segar pabila bus berhenti sekejap saja.
*
“Asik ini Malioboro ya, Ma,” Rey
berkata. Tangannya dengan cekatan mengambil bawaannya.
“Simpan saja tasnya sayang. Toh, kita hanya jalan-jalan.”
“Ngak ah takut hilang,” ucapnya
gemas.
Kubiarkan ia mengambil ranselnya. Tas yang berisi mainan juga cemilan.
“Ngak ikut jalan-jalan Bu Yasmin?”
“Ngak ah. Cape. Nih kakiku sampai
bengkak gini. Biarlah bapaknya saja yang jalan-jalan,” ia tersenyum.
“Oh iya, aku turun dulu ya, Bu.” Aku
berlalu meninggalkan Bu Yasmin. Menuntun kedua anakku untuk menikmati indahnya
Malioboro. Malioboro di penghujung senja. Hem, begitu menyenangkan. Kulihat
puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang mulai menjelajahi trotoar Malioboro.
Manusia tumplek. Berkumpul di manapun. Saling menjajakan dagangan untuk
oleh-oleh dibawa pulang.
“Ayo Mbak, batiknya murah, dilihat
lihat dulu.” Suara ayu penjual terdengar di keriuhan orang.
“Ma, cape.”
“Iya aku pun lapar, Ma,” Raka
berkata.
“Iya ayo kita makan di lesehan sana
yah? Sambil istirahat,” aku membimbing
anakku yang memang sudah kelelahan. Hampir dua jam kami berkeliling di sekitar
Malioboro. tentu anakku begitu lelah.
Kudatangi tempat makan lesehan dan
segera memesan makanan. “Tunggu sebentar yah, Mama ke air dulu.”
Aku segera berlalu, mencari toilet. Kebetulan
letaknya tidak terlalu jauh dari tempat makan. Hanya satu belokan saja. Ketika
di belokan. Langkahku seketika terhenti dan segera mundur beberapa langkah.
Kulihat dengan mataku sendiri, Pak Yudha dengan mesranya menggandeng Bu Wawat,
sahabatku.
Seketika wajah suamiku berkelebat.
Aku yang selama ini menuntutnya untuk senantiasa bersama, menemaniku setiap
saat, begitu setia. Ah, kesetiaan memang tak pernah diukur dengan kedekatan.
Cinta tetap terjaga walau jarak begitu jauh. Rasa sayang tersembunyi dalam
lakumu, usah yang lain tahu. Maafkan aku suamiku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar