Selasa, 27 Desember 2016

Senja di Malioboro

Kado terindah di ulang tahunku. Alhamdulillah. Makasih Mas Ismet. Makasih Merapi. Dimuat di Koran merapi Yogyakarta, Agustus 2016


Senja di Malioboro
Oleh: Nina Rahayu Nadea

Bruuk....
Suara pintu yang kubanting terdengar keras. Dengan berurai air mata kutinggalkan kamar yang sedari tadi menjadi perbincangan antara aku dan suamiku. Sudah jauh hari aku membujuk suamiku untuk ikut acara study tour yang diselenggarakan kantorku. Walau sudah aku tebak, pasti penolakan yang akan kuterima. Bodohnya aku, kenapa  berulang kali memintanya untuk ikut serta.  
            “Tolonglah Mas ikut sekali ini saja.”
            “Pergilah dengan anak-anak saja. Kau kan sudah tau aku sibuk bekerja. Aku percaya koq sama kamu.”
            “Bukan masalah percaya atau tidak Mas, aku hanya kasihan sama anak-anak. Setiap pergi tak pernah sekali pun kau ikut. Mas kan bisa cuti?”
            “Tapi sungguh hari besok aku tidak bisa cuti. Tak terbayangkan kalau aku cuti. Masalah di kantor pasti akan menumpuk. Jangankan tiga hari, libur sehari saja, hancur lebur.”
            “Ah, Kau egois hanya memikirkan pekerjaanmu saja....”
            Suamiku diam.
            “Ya, mudah-mudahan tahun depan aku bisa ikut yah,” suami meredam marahku.
            Sebenarnya bukan alasan tidak bisa mengambil cuti. Ini hanya perbedaan prinsip saja. Aku sebenarnya sudah tahu bahwa suamiku memang selalu tidak mau untuk mencampur adukan masalah pekerjaannya dengan pekerjaanku. Ia tak mau terlalu akrab dengan rekan di kantorku. Karena ia tak mau sosoknya menjadi bahan gunjingan atau sekedar bahan obrolan di kantorku. Jadi selama ini ia memang menjaga jarak dengan teman-teman di kantorku. Cukup hanya mengantar dan menjemputku itu saja.
            Maka sudah terbiasa aku mengikuti kegiatan yang diselenggarakan kantorku seorang diri, paling bersama kedua anakku.  Aku menjadi wanita yang mandiri dalam menghadiri acara kantorku. Tapi pembicaraanku dengan Bu Maya kemarin siang begitu memanaskan telinga dan menjadi beban pikiranku.
            “Sama siapa piknik nanti?”
            “Ya biasa paling sama anak-anak, Bu.”
            “Mengapa suamimu itu tak pernah mau ikut?”
            “Maklum Bu, suamiku kan sibuk. Tiap hari saja pulangnya malam.”
            “Jangan...jangan ia mengambil kesempatan ketika kau pergi.”
            “Maksud Ibu?”
            “Jaman sekarang istri harus bisa memantau suami. Lengah sedikit saja ia bisa tergoda perempuan lain. Ya, seperti suamiku dulu. Akhirnya aku harus merelakan ia berpaling ke wanita lain. Kini hidupku sepi.”
*
            Malam kian pekat, bintang di langit berkelap-kelip. Memberikan cumbuan kecil pada pasangannya. Sang bintang asyik bercinta, sesekali mengerling ke  arahku yang sedang dirundung duka. Aku iri melihat bintang yang tak pernah lelah memberi sinar pada pasangannya. Aku iri pada sang rembulan yang memberi cahaya untukku, untuk yang lain. Sementara seseorang yang senantiasa kurindu, kuharap cahayanya di setiap waktu, tak mau mengabulkan keinginan. Dia sangat egois, batinku. Tak pernah terbersit di hatinya tentang anak-anaknya, yang menyimpan rasa iri melihat teman sebayanya bersama dengan orang tua lengkap di setiap acara. Kutatap Rey dan Raka yang sedari tertidur pulas. Kukecup mereka dengan cintaku. Kurebahkan badan di samping mereka. Berharap kegelisahan  dan duka yang bersarang di hatiku pupus. Kupejamkan mataku….
            “Mama Rey, apakah Rey punya Papa?”
            “Ya punya dong!”
            “Koq ngak ikut.
            “Papa Rey kan kerja”
            “Kerjanya berapa jam? lama yah?”
            Aku tersenyum mendengar Kiki anak Pak Andre teman sekantorku berkata pada saat acara mancing bersama di bulan lalu.  Aku bisa menebak apa isi hatinya. Mungkin ia membandingkan dengan orang tuanya yang sibuk tapi selalu ikut dalam acara yang ada di kantor. Sementara Rey, anakku belum pernah sekalipun mengikuti acara dengan papanya. Umur Kiki dan Rey sama, 4 tahun, jadi mereka begitu polos. Apalagi kalau teman-temanku yang berargumen. Entah apa yang mereka pikirkan. Ah, aku tak bisa menebak isi hati mereka.
*
            Setelah keberangkatan suamiku,  aku mulai memersiapkan segala keperluan untuk  acara nanti malam. Anak-anak bersikeras untuk membawa perbekalan mereka sendiri-sendiri.Tapi tak tega rasanya, mengingat mereka yang umurnya masih imut. Maka demi menyenangkan mereka buah hatiku. Kini aku rela mengambil semua barang mereka dan mengemasnya ke dalam satu kantong besar.
            “Biar aku aja yang bawanya Ma, Raka kan sudah besar.”
            “Iya Rey juga mau sendiri, Ma, kaya Kaka!”
            “Ya sudah cemilannya saja bawa ke tas masing-masing.”
            “Ya. Biar baju kami saja ya,  yang menemani baju Mama, kan Papa ngak ikut. Jadi Mamanya ngak kesepian. Hehe.” Raka berceloteh.
            Deg...
            Mendengarkan ia bicara serasa ulu hati ini ada yang menikam. Tapi aku berusaha tersenyum di hadapan mereka, buah hatiku tercinta. Aku tak mau mereka tahu bahwa hati ini memang benar dilanda sepi yang teramat sangat. Hati ini begitu cemburu melihat kemesraan teman-teman pabila tiap acara berlangsung. Tapi semua bayangan itu kupupus dan tak kuhiraukan. Niatku hanya satu aku ingin membahagiakan anak-anakku. Biarlah hati ini begitu pedih tapi anakku harus tetap bahagia.
*
            “Asyik naik bus....” Rey mulai bertingkah. Mulut mungilnya  berceloteh. Seakan tak ada habisnya ia membanggakan dirinya yang rekreasi ke Yogyakarta. Hmm sepertinya, hanya ia saja yang  berangkat.
            “Duduk dong Rey,” kataku sambil menutupkan gorden kaca tempat dudukku.
            “Enggak ah...Rey mau berdiri, mau lihat mobil yang bagus,” mulutnya monyong ke arahku.
            “Iya deh, awas hati-hati. Pegangan yah, nanti Rey kejedot.”
            Kupandangi Raka yang duduk di tengah. Ia rupanya kelelahan, tertidur pulas. Kuambilkan jaket dan kuselimutkan pada badannya. Aku pun tak lupa memakai jaket di tubuhku. Udara malam ditambah AC membuat badanku menggigil.
            Malam kian merangkak. Satu persatu semua penumpang mulai terlelap, dibuai dengan mimpi masing-masing. Hanya deru mesin bus dan helaan nafas yang bersahutan kudengar. Mataku kulayangkan ke arah depan. Kulihat Pak Sopir dengan piawainya membawa awak bus membelah jalan. Di belakang Pak sopir, Kulihat Bu Wawat sudah terlelap. Kepalanya bersender ke bahu Pak Soni suaminya, dan dengan mesra Pak Soni melingkarkan tangannya ke pundak istrinya. Kembali mataku kulayangkan tepat di jok depan. Berada tepat di depanku. Pak Umar dan istrinya disertai Gading anaknya yang umurnya sebaya dengan Raka. Ah, betapa lengkap dan bahagianya mereka bisa datang kemanapun bersama keluarga, batinku berkata.
            Bus yang kutumpangi semakin kencang. Membelah jalan. Kuusahakan mataku ini untuk terpejam, kukecup Rey dan Raka yang berada di pinggirku. Selamat tidur anakku sayang. Pikirku kembali menerawang. Semakin aku memandang teman-temanku semakin hatiku diliputi perasaan iri yang demikian besar. Aku iri pada teman-temanku yang senantiasa datang bersama pasangan utuhnya, tidak seperti aku yang senantiasa dilanda sepi.
            “Nanti ke airnya bentar lagi, kalau isi bensin, “Pak Yuda yang berada persis disampingku berkata pada istrinya.
            Bahagia sekali Pak Yuda bisa datang bareng dengan Bu Yasmi temanku. Padahal tadinya Bu Yasmin ngak akan ikut karena sakit diabetes. Kemarin-kemarin waktu kami menengoknya ia begitu tak berdaya. Tergolek lesu di rumah sakit, dengan kaki yang bengkak karena penyakitnya. Syukurlah hari ini ia bisa ikut. Mungkin  sekarang kondisinya sedang stabil, batinku. Karena kalau kulihat sekarang, secara fisik  Bu Yasmin sama sekali tidak terlihat sakit. Hanya memang ia seringkali diam di dalam bus,  kalau bus berhenti. Tidak seperti orang lain yang kerap kali ke luar mencari udara segar pabila bus berhenti sekejap saja.
*
            “Asik ini Malioboro ya, Ma,” Rey berkata. Tangannya dengan cekatan mengambil bawaannya.
            “Simpan saja tasnya sayang. Toh, kita hanya jalan-jalan.”
            “Ngak ah takut hilang,” ucapnya gemas.
            Kubiarkan ia mengambil  ranselnya. Tas yang berisi mainan juga cemilan.
            “Ngak ikut jalan-jalan Bu Yasmin?”
            “Ngak ah. Cape. Nih kakiku sampai bengkak gini. Biarlah bapaknya saja yang jalan-jalan,” ia tersenyum.
            “Oh iya, aku turun dulu ya, Bu.” Aku berlalu meninggalkan Bu Yasmin. Menuntun kedua anakku untuk menikmati indahnya Malioboro. Malioboro di penghujung senja. Hem, begitu menyenangkan. Kulihat puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang mulai menjelajahi trotoar Malioboro. Manusia tumplek. Berkumpul di manapun. Saling menjajakan dagangan untuk oleh-oleh dibawa pulang.
            “Ayo Mbak, batiknya murah, dilihat lihat dulu.” Suara ayu penjual terdengar di keriuhan orang.
            “Ma, cape.”
            “Iya aku pun lapar, Ma,” Raka berkata.
            “Iya ayo kita makan di lesehan sana yah? Sambil istirahat,”  aku membimbing anakku yang memang sudah kelelahan. Hampir dua jam kami berkeliling di sekitar Malioboro. tentu anakku begitu lelah.
            Kudatangi tempat makan lesehan dan segera memesan makanan. “Tunggu sebentar yah, Mama ke air dulu.”
            Aku segera berlalu, mencari toilet. Kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari tempat makan. Hanya satu belokan saja. Ketika di belokan. Langkahku seketika terhenti dan segera mundur beberapa langkah. Kulihat dengan mataku sendiri, Pak Yudha dengan mesranya menggandeng Bu Wawat, sahabatku.
            Seketika wajah suamiku berkelebat. Aku yang selama ini menuntutnya untuk senantiasa bersama, menemaniku setiap saat, begitu setia. Ah, kesetiaan memang tak pernah diukur dengan kedekatan. Cinta tetap terjaga walau jarak begitu jauh. Rasa sayang tersembunyi dalam lakumu, usah yang lain tahu. Maafkan aku suamiku.***





Nina Rahayu Nadea. Lahir di Garut, 28 Agustus. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Majalah Bobo, Buletin jejak, Koran Sastra Sumbar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat,  dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar