Kamis, 25 Juli 2013

Cerpen, dimuat di Majalah Kartini, 11 Juli -26 Juli 2013


Kepak Sayap Burung Merpati
Oleh: Nina Rahayu Nadea
                Burung merpati mengepakan sayap. Sebebasnya, ia terbang menuju sagara kemerdekaan. Berputar, berkeliling memandang tuannya. Seperti ucap pamit. Pamit untuk pergi jauh ke antah- berantah.
                Rasanya baru kemarin mengurus dan merawat anakku, Intang. Adzan Shubuh berkumandang, menyambut sang bayi yang baru lahir, memberikan suasana  menjadi begitu bahagia. Mas Bram dengan segera mengangkat bayi mungil yang baru lahir. Dengan haru dan khidmat, suara adzan mampir di telinga bayi mungil. Tak hentinya aku mengucap syukur pada sang Kholik, betapa ia memberikan kejutan dari sebuah kesabaran dan penantian. Mengabulkan doa-doaku. Doa kami sekeluarga. Doa yang tak pernah terhenti dari orangtuaku, juga orang tua Mas Bram.
                Lima tahun telah berlalu selepas pernikahanku, aku bersujud syukur padaNya ketika aku dinyatakan hamil oleh dokter. Padahal aku tak mengira. Sudah tak pernah memikirkan lagi tentang momongan. Ya, di usia pernikahan yang telah lama, tanda-tanda kehamilan tak kunjung datang padaku. Aku begitu pesimis dan jujur menjadi kurang percaya diri. Berulang kali aku meminta Mas Bram untuk menikah kembali, dengan harapan ia segera mempunyai keturunan. Aku telah mengiklaskannya jika akhirnya aku harus dimadu.
                Pertimbangan itu aku lakukan karena aku tau  bagaimana perasaan orang tua Mas Bram, sesungguhnya. Mereka sangat mengharapkan hadirnya cucu dengan segera. Tiap berjumpa tak pernah lupa ia menanyakan apakan aku sudah berisi atau belum. Jujur pertanyaan itu menohok hatiku. Sebagai seorang wanita begitu perih di dada ketika  pertanyaan serupa,  tertuju untukku.
                Ah, setiap mereka bertanya seperti itu, guratan silet di hati kembali hadir,  tikaman godam bersarang di dada. Tapi Mas Bram menguatkanku, memberikan aku harapan dan kekuatan, serta  senantiasa melindungiku dengan cinta yang begitu besar.
                “Jangan kau pernah pikirkan ucapan mereka. Ingat aku menikahimu bukan hanya pertimbangan anak. Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Karena cinta, aku akan menerima keadaanmu. Juga jangan pernah kau berfikir aku akan menikah lagi. Istriku sekarang juga sampai akhir hayatku hanyalah kau,” Mas Bram merengkuh tubuhku, membenamkan kepalaku ke dada bidangnya. Memberi kesejukan yang teramat.
Dengan sabar ia membantuku bangkit dari perasaan rendah diri. Mas Bram menguatkan hatiku hingga akhirnya aku dapat berdiri di atas omongan orang yang menyakitkan. Kini, omongan mereka kuanggap biasa dan sangat biasa. Semua kuserahkan pada sang Kuasa. Apapun yang terbaik untuk kami kan kujalani dengan iklas.
                Ketika suatu hari aku mual terus menerus serta napsu makan berkurang. Kelihatan kecemasan Mas Bram begitu kentara. Dengan segera ia membawaku ke rumah sakit. Maag. Itulah prediksiku. Tapi begitu kagetnya aku, ketika dokter memberitahu bahwa aku hamil, seakan tak percaya mas Bram  meminta dokter untuk melakukan USG yang kedua kali. Sujud syukur serta air  mata bahagia menjadi saksi saat itu, ketika dokter berulang kali mengucap selamat atas kehamilan ini.
                Pun orang tua Mas Bram, dengan segera menyampaikan berita gembira kepada keluarga besar dan seluruh tetangga atas kebahagiaan yang kami miliki. Kebahagian yang meruah. Hingga begitu aku keluar dari rumah sakit, aku sedikit kaget ketika banyak orang. Tapi akhirnya mengerti ketika orang tua mas Bram berkata akan melakukan syukuran. Syukuran atas jabang bayi yang kukandung.
                Kehadiran Intang  membuat keluarga ini berubah. Lihat, betapa keluarga besar begitu bahagia. Menyambut Intang dengan penuh harap dan kebanggaan yang terkira. Penerus keluarga akhirnya ada dengan lahirnya Intang.
                Namun di tengah kebahagian keluarga besar yang meletup. Tak percaya ketika kebahagiaan lenyap seketika. Akarnya terampas seketika tiada bersisa. Tubuhku lunglai tak bertenaga. Ya, kebahagiaan yang baru saja kami nikmati musnah. Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kau hadirkan derita ketika bahagia baru bersemai di hati, menyiapkan taman bunga hati yang semerbak. Harumnya bersemilir meneduhkanku dan meneduhkan orang di sekelilingku.
                Telepon datang dengan tiba-tiba mengabarkan duka pada keluargaku. Tiada percaya, berulang kali aku bertanya kebenaran tentang kabar lewat telepon. Dan aku mengabaikannya. Baru aku percaya ketika suara ambulan datang ke rumah.
                “Siapa, Bu?” aku bertanya pada ibuku.
                Tak ada jawaban hanya air mata yang langsung membasahi pipi. Dan segera menyambut para tetamu yang datang pada saat itu.
                “Bersabarlah,” ucap ibu merangkul pundakku.
                “Jadi...!”
                “Benar. Suamimu telah tiada.”
                Gubrag. Langit runtuh seketika. Ternyata benar adanya. Orang yang memberitahu dan meneleponku berulang, bukan orang iseng yang biasa aku dengar selama ini. Bukan pula sandiwara yang kerap aku lihat di televisi.  Berulang kali kugigit bibir ini, berharap ini adalah mimpi. Aku sangsi. Dengan segera  berlari ke luar. Menyongsong usungan mayat yang telah terkafani.
                “Tidak. Dia bukan Mas Bram,” suaraku menguar membelah langit. Merasakan dada yang begitu sesak seperti dihimpit bumi. Tersakiti  tiada terkira. Dan aku  merasa bahwa diri ini takan mampu menyudahi derita.
                “Sabarlah Lastri,” ibu mertua memapahku.
                “Tidak, Bu.  Aku ingin bersama Mas Bram selamanya. Ia tidak meninggal. Mas Bram tadi pagi bersamaku, berkata bahwa aku harus menjaga Intang.”
                Aku tak pernah menyadari bahwa itu adalah ucapan Mas Bram untuk yang terkahir kali. Kini aku bertemu lagi dengannya. Dalam keadaan yang begitu berbeda. Tubuhnya terbungkus kafan.
                Hari-hari membelengguku. Aku menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Betapa Tuhan begitu tega, membuat diri menderita lara. Menyuguhkan kesunyian yang melesapkan angan hingga menggugurkan dedaunan ceria menjadi duka. Duka tiada terkira.
                Berhari-hari, berminggu bahkan berbulan-bulan aku hanya mengurung diri di kamar. Tanpa pernah mau melakukan apapun. Aku hidup dalam khayalku ditemani Mas Bram yang kurindu. Terkadang berkata tentang cinta. Terkadang memberi cerita yang kesemuanya sangatlah kusuka. Hingga akhirnya aku bertemu dengan sebuah kesadaran, ketika suatu waktu Intang anakku menangis keras. Menangis tiada henti.
                “Ada apa dengan Intang, Bu,” aku masuk ke kamar, menemui ibu.
                “Lastri?” ibu tertegun menatapku.
                “Kenapa Intang Bu. Sini aku gendong.”
                “Biar ibu saja,” Ia dengan segera mengangkat Intang yang tengah menangis, membiarkanku mematung di kamar sendiri.
                “Bu. Sini aku susui, aku menyusul langkah ibu.
                “Ya. Tapi rapikanlah dahulu pakaianmu. Mandilah,”’ Ibu menatap tajam bola mataku. Memberikan Intang pada pembantu. Berbisik sesuatu. Kemudian memapahku. ”Kau sudah sadar, Nak? Syukurlah.” Ibu memelukku. Air matanya tumpah ruah membasahi pipi.
                “Sadar?” aku terkejut. “Sadar apa, Bu. Aku tidak apa-apa koq.” Aku melangkah ke kamar mandi. “Handuknya mana, Bu? Biasanya tergantung di sini?”
                “Dalam lemari,” ibu berkata dan terus menguntitku.
                Aku kembali ke kamar. Tanpa banyak tanya  menuju lemari, membuka pintunya. Aku terkejut melihat isinya. Semua berubah. Padahal biasanya sebelah kanan adalah bajuku dan sebelah kiri adalah baju Mas Bram. Kini berubah. Sebelah kanan adalah bajuku dan sebelah kiri? Tak satupun kulihat baju Mas Bram. Hanya gundukan sepre dan handuk yang terlihat.
                “Bu, siapa yang  merubah ini semua? mana baju Mas Bram?”
                Ibu menangis tersedu. “Berkacalah, Nak,” Ibu menarik badanku. Mendekatkanku dalam cermin di depan. ”Lihat dirimu.”
                “Ibu...!” aku terkejut. Melihat perempuan yang berdiri di depanku. Seorang perempuan berbadan kurus. Rambut terurai panjang acak-acakan. Muka kehitaman, tak terawat. Benarkah itu aku? Padahal aku selama ini begitu menjaga penampilanku. Senantiasa segar dan bercahaya. Ulasan bedak dan lipstik tak pernah lupa aku poleskan walau  hanya tipis.”Itukah aku, Bu?”
                “Ya. Itulah engkau yang sekarang Lastri.”
                “Tapi mengapa? Man...mana baju Mas Bram?” aku balik bertanya. Ingatan mulai hadir berloncatan di hatiku. Mulai dari seorang mayat. Mas bram yang membelaiku. Juga Intang anakku.
                “Sudah ibu kasihkan. Ingat, Nak. Suamimu sudah meninggal 5 bulan lalu.”
                “Meninggal? Tapi kemarin ia bersamaku.  Malah ia megajariku menyetir mobil. Aku di belakang setir dan Mas Bram di sampingku sambil memangku Intang. Dan aku mulai bisa menyetir mobil, Bu. Tapi mayat itu...mayat siapa?”
                “Ya, Nak. Kamu sudah hampir 5 bulan berbaring di ranjang ini. Tepat di saat suamimu dipanggil yang Kuasa, kau menjadi lupa siapa dirimu. Juga Intang, anakmu.”
                “Intang tidak apa-apa? Mengapa tadi ia menangis keras?”
                “Tadi ia terjatuh. Sudahlah. Tadi Bi Murni sudah membawanya ke rumah mertuamu. “Ayo ibu bersihkan badanmu.”
                Baru aku tahu. Bahwa 5 bulan aku menghabiskan waktuku sendiri. Menutup diri. Itu karena kepedihan ditinggal Mas Bram. Kini, atas bantuan keluarga besarku sedikit-sedikit aku mampu berdiri. Apalagi melihat Intang yang membutuhkanku. Senyum polosnya begitu membahagiakanku. Ia mampu menghilangkan kemelut dan duka yang bersarang di hati. Ya, hanya Intang yang mampu mengobatiku lukaku.
                Dan sebagai seorang ibu. Aku tau keberadaanku sangat diperlukan untuk Intang. Anak semata wayangku. Aku tau ia membutuhkan teramat sangat. Maka mulailah aku menjadi seorang single parents yang  harus begitu mandiri dengan keadaan. Bekerja dengan giat serta mencurahkan segala perhatian hanya untuk semata wayangku. Walau aku dianggap terlalu protek. Bukan apa-apa. Semua hanya ingin yang terbaik. Aku tak mau anakku salah jalan. Ia adalah mutiara yang harus selalu kujaga agar tiada pernah tergores sedikitpun. Sungguh cinta dan perhatian ini hanya untuk mutiaraku seorang.
                Diri tersentak ketika Intangku. Anak semata wayangku tiba-tiba membawa seorang lelaki. Tersadar, ternyata anakku telah  menjadi seorang gadis yang jelita. Rasanya terlalu dini. Baru kemarin ia berada di pangkuanku, menyuapi nasi. Baru kemarin kuantar ia ke TK menemaninya bermain dan belajar. Dan baru kemarin aku mendaftarkan ke perguruan tinggi sesuai dengan keinginannya. Baru kemarin....
                “Siapa dia?” selidikku.
                “Teman,” ucapnya pelan.
                “Ingat. Kamu masih sekolah. Mama tak mau skripsimu terbengkalai karena laki-laki,” aku menatap lekat. “Jangan kau terlalu percaya pada lelaki. Mereka begitu manis di mulut. Habis manis sepah dibuang.”
                “Iya, Ma. Cuma teman,” katanya sambil berlalu. Memampirkan bibirnya mendarat di pipiku.
                Aku benci lelaki itu. Budi. Laki-laki yang merampas kebersamaan. Kesepian kerap bertamu.  Aku kehilangan masa bahagia bersama Intang. Biasanya tiap Maghrib kami menonton tivi bersama, makan cemilan serta bersenda gurau. Kini sepi. Cemilan yang aku sediakan hanya teronggok di lemari manakan, tanpa tersentuh anakku. Makan malam pun ia tak pernah mau lagi. Padahal aku sudah masak sedari sore hanya untuk Intangku seorang. Ah, intang sedang apa kau di sana. Mengapa kini kau menjadi lain. Di manakah kau yang dulu. 
                Banyak alasan yang Intang buat untuk menghindarkan kebersaman ini.  Sudah makan malam di jalan, sudah kenyang atau nanti saja. Atau kalaupun mau. Intang hanya sekedar menemaniku. Lebih banyak merenung dan terseyum sendiri dengan ponselnya. Jarang sekali bercakap denganku. Aku yang ada di sampingnya, teracuhkan.
*
                Intang mungkin marah padaku ketika Budi datang, meminta izin padaku untuk menonton film.
                “Apa tidak lihat ini jam berapa, Budi? Jam sepuluh malam. Waktunya untuk beristirahat. Intang sudah capek dengan tugas kuliah. Jangan jejali ia dengan kecapekan yang lain,” ucapku.
                “Intang tidak capek, Ma. Justru Intang senang. Nonton film bisa menghilangkan stress akibat kuliah,” Intang tiba-tiba datang.
                “Tidak! Mama tidak memberimu izin.”
                “Ah, Mama. Tidak mengerti,” Intang menangis, berlari ke kamar dan menguncinya.
                “Intang...Intang.”
                Suara ketuk tak berbalas. Yang kudengar hanya tangis sesunggukan. Ah, Intang, bukan mama tak menyetujui. Udara malam sangatlah tidak nyaman. Apalagi untuk perempuan. Mama tak mau terjadi apa-apa denganmu, aku membatin.
                Aku terpekur di dalam kamar. Kupandangi poto almarhum suamiku. 22 tahun yang lalu. Kerinduan menyusupi labirin hati. 22 tahun waktu yang begitu cepat dan begitu sebentar kurasa. Kulihat poto pengatinku dulu dengan mas Bram. Terlihat aku begitu muda. Maklumlah aku menikah ketika 1 bulan usai lulus SMA. Sangat muda. Terhenyak mengingatnya. Mengingat Intang. Baru kusadari di usianya, aku begitu kaku, terlalu mengekang Intang terhadap seorang lelaki.
                “Ajaklah Budi kemari nanti siang. Mama mau bicara,” ucapku besok paginya. Kulihat sembab di matanya begitu kentara. Duka membayang di wajahnya. “Maafkan mama, Intang. Mama melakukan semua ini hanya untukmu. Mama takut terjadi apa-apa denganmu,” aku memeluknya erat. Sangat erat.
                “Benarkah Mama meminta mas Budi ke mari? Tapi jam 2 sekarang tidak bisa. Mas Budi pulang kerjanya jam 5.”
                “Oh sudah bekerja. Di mana?” kali pertama aku bertanya tentang teman dekat Intang.
                “Di PT. Sunrise, Ma. Ia adalah Manager personalianya.”
                ‘”Ya terserahmulah mau jam berapa. Tapi telepon dulu mama perihal kedatangannya. Biar mama siapkan makanan untuknya.”
                “Makanan?”
                “Mama ingin makan bersama kalian.”
*
Aku mulai mengenal Budi, memperhatikan gerak-geriknya. Budi anak yang baik, bertanggung jawab dan satu yang membuatku bangga, ia rajin beribadah. Terbukti ketika ada di rumah tak pernah terlupa untuk melakukan sholat sunat dan wajib. Aku begitu menyukainya.
Tapi tak urung tersentak. Ketika ia menyatakan akan melamar Intang dan menjadikan istrinya. Sungguh aku belum siap.
“Apa tak secepat itu, Budi?”
“Tidak, Ma. Aku ingin Intang menemaniku. Karena 6 bulan lagi aku dipindahkan kerja ke Yogyakarta. Aku ingin Intang ada di sampingku. Menjadi istri dan ibu untuk anakku kelak.”
Ada yang berderit nyeri, menikam ulu hati. Mendengarnya. Sanggupkah? Sanggupkah aku melepas Intang secepat itu.
“Baiklah mama hanya mampu berdo’a untuk kalian,” kulipat sepi dan tangisku ke dalam dada. Aku tak mau mereka tau bahwa hati ini begitu lara.
Tepuk tangan hadirin meriuh. Ketika sang pengantin melepas sepasang burung merpati. Burung yang ada dalam sangkar seketika lepas, terlepas dari kerangkengnya selama ini. Kepak sayap merpati pun melebar, berputar semakin lama menjauh dan  berpendar dalam pandanganku. Kutatap putriku dan Budi yang baru saja menikah. Pergilah,  Nak. Kuiklaskan kau terbang melayang mengepakan sayap, menjelajah samudera bersama terkasihmu. Ingat, saling berpegangan erat. Perih ini kan terganti bahagia bila hidupmu bahagia, terjauh dari duka dan lara. Dan aku ingin kalian bahagia, bebas merdeka seperti sang merpati yang baru terbebas.***
 

Senin, 15 Juli 2013

Cerpen Merapi, dimuat 14 Juli 2013


Do’a untuk Sebuah Nama
Oleh: Nina Rahayu Nadea

                Kulewati setapak dengan tergesa. Kerinduan begitu menggunung membaju di hati. Ilalang yang kulewati melambai menyambutku. Sesekali mencumbu  dengan gerakannya, daunnya mendekat perlahan hingga sentuhannya mengena di pipi. Mereka begitu merindu. Pun aku, rindu menggebu. Entah berapa tahun aku tak menginjakan kaki di sini. Di langit-langit ini. Langit tempatku dulu bermain bercengkrama dengan tanah alam di kesuburan desa.
                Langit menyambutku. Memberikan rasa suka tiada terkira. Cuaca begitu syahdu merayu, tiada panas tiada hujan. Bersahabat denganku. Mereka bahagia bahwa aku  sang kelana kini kembali. Kembali untuk satu tujuan. Tujuan yang begitu mulia apalagi menjelang Ramadhan yang ditunggu. Sesaat langkahku terhenti melihat jalanan di depanku. Ya, begitu lama aku tak kembali, kini kulihat perbedaan yang begitu besar. Dulu hanya ada satu jalan memanjang, lurus, untuk mencapai tempat yang kuinginkan. Kini? Terbagi dua. Jalanan terbagi dua sama halnya dengan hatiku yang ikut terbagi dua. Harus memilih jalan yang mana. Pandangan kuhabiskan ke depan mata memandang. Keduanya kulihat seksama agar tak sesat dalam melangkah. Kini kuyakinkan diriku bahwa jalanan lurus tepat di depanku yang harus kuikuti, bukannya jalanan yang berkelok yang agak menyamping dari tempatku berdiri. Mengapa? Jalan tempat yang aku pilih menyimpan ciri lain yang senantiasa kuingat.
Tepat di pinggiran jalan ini masih banyak dihuni rumput putri malu (mimosa pudica) berjejer merumpun, daun-daun yang secara cepat dapat menguncup karena terkejut oleh sentuhan. Satu lagi sebenarnya yang menuntunku untuk memilih jalan ini. Tepat di depanku, pohon besar berdiri kokoh. Pohon Jambu batu. Tempatku semasa kecil bermain. Sesaat aku berdiri, menyentuh mimosa pudica berulang. Begitu nikmatnya menyaksikan tanaman ini yang langsung terkejut menguncup. Saat itu kusaksikan aku yang kecil bermain berkejaran dengan teman sebayaku. Tempat inilah yang aku suka karena dapat menikmati bunga dari si kejut  yang berwarna ungu. Warna kesukaanku.
Tanaman ini begitu aku suka dan dekat di hati. Tiap hari aku  menyentuh dan memetik bunganya yang indah. Selain itu usai bermain aku akan dengan suka hati mengambil tanaman ini ke rumah. Semenjak tahu, ibu menderita chronic bronchitis, aku begitu dekat dengan tanaman ini.
                Sepulang dari permainan, ibu  akan merebus tanaman ini, kemudian secara rutin menyeduh dan meminumya sehari 3 kali, sebanyak ½ gelas. Obat tradisional yang murah meriah. Karena kemampuan kami dalam hal ekonomi.  
Hampir tak percaya ketika bibiku bercerita perihal penyakit yang diderita. Karena ibu selalu tegar dan  tak pernah sedikit pun  berleha memperlihatkan penderitaannya pada anak-anaknya. Di mata kami, ia begitu tangguh dan percaya diri. Terus membimbing kami untuk terus meraih mimpi dan cita. Hingga semua anak-anaknya dapat bersekolah dan menjadi orang yang tegar menjalani hidup.
“Bu, buat apa minum rebusan daun ini terus?” tanyaku suatu hari.
“Supaya ibu tetap sehat dan kuat,” ibu tersenyum menciumku.
                Kembali kupendarkan pandanganku. Pohon jambu batu ini mengingatku pada masa SD dulu, ketika aku jatuh dari atas pohon. Dan aku harus berurusan dengan Ma Uwa,  ahli pijat.  Ya, di tangan Ma Uwa inilah aku diobati. Dipijit. Direfleksi karena urat-urat yang kaku akibat jatuh, “untunglah tidak sampai patah,” ucap Ma Uwa saat itu.
                Aku memang tegar menghadapi semuanya. Kebersamaan keluarga menguatkan kami. Satu yang membuatku tercerai dari keluarga dan memilih meninggalkan semua kenangan. Rasa kecewa yang begitu membelenggu hatiku. Kecewa pada ayahku.
                Lama aku berjalan menyusuri jalan yang berliku dan berdebu. Semakin dekat, gundukan batu nisan semakin terlihat. Begitu jelas. Akhirnya aku menemukan yang aku cari batu nisan tua namun bersih. Tak terlihat sedikit pun rumput tumbuh di sana. Kiranya adikku, Dirman begitu telaten membersihkan makam ini. Ada yang terserak di hati ini memandangnya. Air mata  tak terasa membanjiri pipiku.
                Hari-hari kulalui dengan penuh kerja keras. Bekerja dan terus bekerja. Semua kulakukan agar sukses dalam karir dan melupakan lebam di hati. Tak terasa aku berada di kota besar hampir sepuluh tahun. Dan selama itu pula belum sekalipun aku pulang ke kampung halaman. Malah aku akan dengan senang hati menerima pekerjaan lembur di kantor karena akan mendapat uang tambahan.  Apalagi ketika aku sudah berumah tangga, nyaris semua terlupa dengan kesibukan yang menemaniku.
                Kerinduan akan kehangatan keluarga besar. Kiranya terpenuhi sudah dengan mengirimkan uang pada mereka di kampung. Apalagi menjelang lebaran, uang yang kukirim lebih dari cukup. Dan itu akan ayahku bagikan untuk adik juga uwa dan bibiku. Cukup. Ya, bagiku memberi mereka dengan materi lebih dari cukup. Aku ingin melupakan masa lalu....
                Tapi kini ketika Ramadhan datang. Ada sesuatu yang mengusik hati. Inilah yang menyebabkan aku dengan segera datang untuk bersua dengan saudara-saudaraku di kampung dan merasakan kehangatan cinta mereka yang seutuhnya.
                Bermula dari suatu kejadian. Ketika beberapa hari menjelang Ramadhan, dan  semua teman serta tetanggaku telah bermudik. Melepas rindu, meminta maaf atau bahkan ziarah ke makam keluarga. Senyap kurasa. Entahlah apa artinya ketika malam itu aku bermimpi tentang ibuku. Dia memanggilku melambaikan tangan dari suatu tempat bersekat kaca yang tipis. Ia berada di baliknya, memandangku dengan tatapan kosong, air mata ada di sana. Di sudut matanya. Segera,  kuraih tangan yang terulur ke arahku, tapi ia menjauh, tak sedikitpun terjamah olehku.
                “Ibu...Ibu!”
                “Kenapa, Las? Mimpi apa?” suami membangunkanku.
                “Aku bermimpi ibu.”
                “Sudahlah itu cuma mimpi, ayo kembali tidur,” Mas Rey, menarik badanku.
                Kupejamkan mataku dan berpura untuk tidur. Semakin kupejamkan. Wajah ibu menari di mataku. Begitu jalas wajahnya yang lusuh dengan air mata membayang di bola matanya. Tatapannya menghunus hatiku. Ya, malam ini aku begitu merindu. Rindu keluarga besarku. Aku ingin suatu ketenangan. Pun ibu.
                Segera kupanjatkan do’a untuk mereka. Do’a yang seharusnya kuhantarkan untuk ayah dan ibuku. Do’a yang terlupa atau sengaja dilupa karena suatu kebencian. Kebencian yang memendan rindu, teramat.
                Ya Tuhan, aku begitu berdosa melupakan semua kehidupan indah yang pernah kurasa. Bukankah ibu telah meridhoi, mengiklaskan tindakan ayah sedari dulu. Apalagi kini? Di saat batu nisan menghias rumahmu, ibu akan lebih iklas.
Maafkan aku ibu. Kini di hadapanmu, aku menghantarkan selarik do’a uantukmu. Do’a yang mungkin sangat diharap olehmu. Ketenangan yang tercerai karena ulahku. Di makam ini aku bersimpuh, terpekur sendiri  menyemai do’a.
                “Ternyata kau di sini. Dimas mencarimu,” terdengar suara suamiku.
                “Maafkan aku tidak memberitahu bahwa aku ke sini,” ucapku menhapus air mata. Aku berbalik ke arah Mas Rey yang memangku Dimas. Tak berselang lama muncul ayah dan seorang wanita.
                “Berkumpul di sini rupanya,” ayah berkata.
                “Mama! aku ingin digendong Mama.”
                “Sini sama kakek saja.”
                “Tidak! Tidak mau.”
                “Ya. Sini sama nenek saja,” ucap perempuan itu.
                “Aku tak punya nenek. Nenek Dimas sudah meninggal.” Dimas meronta.
                Aku menggendong Dimas. Dan berkata “Dimas, ini adalah nenek Dimas juga,”aku mencium pipinya lembut. “Ibu, maafkan anakku,” ucapku tulus memandang wanita itu. Sebuah pengakuan yang sebelumnya tak pernah terucap.
                Dipimpin ayah, kami berdo’a hidmat. Do’a untuk sebuah nama di batu nisan. Sebuah senyum kulihat dari wajah ayahku. Anaknya yang hilang kini kembali.***
               
               
                 Nina Rahayu Nadea, lahir di Garut - Jawa Barat,  28 Agustus. Menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Karyanya dimuat di beberapa media. Telah menghasilkan kurang lebih 60 buah buku antologi. Tahun 2011 memenangkan lomba Soulmate Writing Battle Leutika Prio-Yogyakarta. Tahun 2012 Juara naskah terbaik cerpen anak Hasfa Publisher, dengan judul cerpen ‘Si Jalu Kesayanganku’. Tulisannya bisa dilihat di www.ninarahayunadea.blogspot.com

Jumat, 12 Juli 2013

Carpon Galura 11 Juli 2013


Ucing Hideung
Ku: Nina Rahayu Nadea

Asa teu percaya puguh gé, waktu dina hiji poé salaki datang mawa gepokan duit dina leungeun.
                “Duit nu saha éta, Kang?” kuring nanya. Panon manco kana tumpukan duit anu diteundeun pisan luhureun méja. Atra. Teuing sabaraha jumlahna. Nu puguh mah beut matak reuwas wéh nu aya. Saumur nyunyuhun hulu karék ningali juntrungna duit anu sakitu lobana.
                “Tenang. Tong hariwang. Pokona ti danget ayeuna nepi ka engké urang moal kaeuntreupan deui panyakit sangsara. Bakal senang,” manéhna nyenghél.
                “Enya tapi ieu...,” kuring teu laju.
                “Ssst. Tong geruh.”
                “Kuring mah sieun akang....”
                “Ngarampok?  Moal atuh. Aya nu méré modal,” biwirna ngaharéwos kana ceuli.
                “Keur naon duit sakitu lobana?”
                “Keur modal nyieun béngkél. Tanah urang nu di pasir urang kokolakeun jadi béngkél. Béngkél bubut siga bogana Pak Haji Sugimin,” omongna yakin.
                Ti harita kahirupan kuring sakulawarga menyat. Salaki boga pacabakan matuh. Nyekel usaha dina widang béngkél. Nyieunan sabangsining mur, baud jeung rupa-rupa deui anu aya patalina jeung urusan beusi. Dina urusan duit kuring jeung barudak manggih kasugemaan. Tara kakurangan. Atuh kuring, teu kudu ripuh siga baheula buburuh nyeuseuh ka tatangga. Bari jeung ka dieunakeun mah tanaga angger teu payu. Kaéléhkeun ku mesin cuci. Téhnologi geus ngaleungitkeun pangharepan anu kacida dipibutuhna.
                Sanajan aya nu lain nu kaleungitan. Leungiteun salaki. Enya pan tisaprak nanjung, nyekel gawé ngokolakeun béngkél téh manéhna arang mulang. Dina samingguna kuring sok waé kaleungitan peuting pikeun reureujeungan jeung manéhna. Pasti. Enya pasti dina saminggu téh aya wé alesan manéhna nepi ka teu bisa balik ka imah. Ngarti kuring gé. Bubuhan orderan béngkél mingkin loba waé.
                “Ati-ati wé, Kang. Kadé capé teuing,” kitu ceuk kuring ka manéhna waktu  bébéja moal balik ka imah.
                Kungsi sakali mangsa mah kuring rék marengan manéhna. Tadina mah karunya wé hayang mantuan manéhna barang gawé. Jeung hayang apal kaayaan béngkél dina wanci peuting.
                “Ah, di imah wéh cicing, rék nanaonan ka béngkél. Jeung na deui karunya ka barudak bisi aya nanaon.”
                Kuring ngagugu kana omongan salaki, aya benerna ogé. Inget ka barudak. Komo si bungsu teu kaur kuring ngaringkang. Pasti geugeuroan néangan.
                Ti dinya mah tara teuing pirajeunan tunyu tanya perkara ku naon manéhna teu mulang.
*
                Jarum Jam beuki ngagéser, wanci beuki nyérélék maju ka peuting. Rét kana jam nu ngadaplok. Jam sabelas peuting. Rét ka si bungsu nu aya di gigireun. Ngageubra. Ti kajauhan kadéngé anjing babaung matak keueung kukurayeun. Katambah-tambah hujan meuni ngagebrét, lir dicicikeun ti langit. Inget hujan kieu, beut inget waktu harita, peuting panganténan. Enya hujan datang lain mangsa. Wanci kuring ayeuna karasa hanaang. Hanaang ku pangogo salaki. Kakara sadar yén  nu jadi salaki téh geus lila tara ngabayuan kuring. Ngabayuan dina urusan batiniah.
                Kasono nu ngamomotan ngamuara dina diri. Ningker salira nu lawas teu kasungsi tresna. Teu disimbutan rungruman kanyaah ti manéhna. Anjing babaung. Keueung. Ehm, mun aya salaki mah meureun moal teuing karasa keueung siga ayeuna. Meureun manéhna  ngarungrum kuring ku kanyaah jeung kahéman. Siga anyar panganténan. Enya hujan nu ngagebrét téh ngingetkeun kuring waktu anyar panganténan. Cai hujan nu kumeclak ngilu nyaksian kumaha kanyaah jeung rungruman manéhna ka kuring. Béda jeung ayeuna. Wanci hujan, beut angger nyorangan. Guling gasahan teu puguh.
                Mun raat mah meureun hayang teuing  nyusul manéhna. Lian ti kasono anu moho. Kahariwang  euntreup na diri. Ngadéngé warta ti mamana. Enya pan anyar kénéh aya warta dina tivi. Loba imah runtuh, korban jiwa patulayah lantaran hujan anu badag. Hujan dibaturan angin puting beliung. Leuh deudeuh.
                Inget ka dinya. Singkil. Teu nolih kana kaayaan. Rap  baju haneut. Rap jas hujan. Ceg kana payung. Koloyong ninggalkeun imah. Nu dimaksud ngan hayang nepungan nu jadi salaki. Inggis aya nanaon.
                Leumpang rusuh dibaturan hujan jeung kamelang. Ngagugu kakeueung mah pasti. Keueung nataku. Tapi kanyaah kuring ka salaki ngéléhkeun sagalana. Ngan ka Gusti kuring mumuntang, muga salaki salilana aya dina panangtayungan.
                Suhunan béngkél geus katingali. Lamat-lamat. Poék meredong. Anéh, naha listrik beut pareum, padahal di imah mah caang. Sakitu sagardu. Haté kuring ngagerendeng bari suku angger ngaléngkah beuki gancang. Hayang geura panggih jeung nu jadi salaki.
                Kuring anjog ka béngkél dibarengan sora anjing babaung nu kadéngé teuing beulah mana, asa jauh asa deukeut.
                “Kang, Kang...,” kuring ngetrokan panto.
                Simpé. Euweuh kelemengna pisan bakal datang. Nu puguh sora anjing beuki atra. Rét deui rét deui ka tukang, inggis sakadang anjing di tukang. Tapi taya  nanaon. Salaki nu ditungguan angger teu embol-embol.  Palangsiang aya nanaon anu tumiba. Koréléng ka pipir. Tunga-tengo. Lakadalah manggihan tarajé. Atoh. Asa ditumbu umur. Ceg kana tarajé, diteundeun lebah pisan gudang. Enya pan di gudang éta tempat salaki biasana saré. Apal sotéh pédah manéhna kungsi ngadongéng dina hiji waktu. Basa ku kuring di tanya, di mana saré, lamun keur aya di béngkél.
                Kalacat kuring kana tarajé. Nété beuki luhur. Kabeneran jandéla gudang teu dikonci. Méléngé saeutik. Sigana poho teu ditulakan. Katingali  caang. Caang ku cahaya lilin. Kakalicesan. Waktu aya dina hambalan anu panungtung, kuring ngarénjag. Aya sora manéhna, enya sora salaki. Tapi ké...ké...ké... naha beut sorana siga anu keur.... Atra. Jelas. Napas nu beurat, humaregung nu haroshos. Sakapeung napasna ngahanju siga manggih tanjakan nu netek. Rumahuh   namplokeun ka sono, malidkeun birahi. Tapi ka saha?  Halah pasti manéhna geus boga nu anyar.  Paingan atuh tara mulang. Paingan kuring teu meunang ka béngkél wanci peuting. Kuring kaeuntreupan timburu anu rohaka.
                Jandéla dibukakeun. Disakalikeun. Barang bréh.... Katingali salaki  sabeuleugeunjeur. Keur namplokeun ka sono. Panganténan jeung batur, dina jeritna kapeurih kuring.
                “Kang,” kuring ngajerit.
                Salaki ngalieuk siga nu reuwas.  Kuring rikat asup, ningali jalma anu geus téga marengan salaki balayar dina birahi. Bréh ucing hideung! ***