Kepak Sayap Burung
Merpati
Oleh: Nina Rahayu
Nadea
Burung
merpati mengepakan sayap. Sebebasnya, ia terbang menuju sagara kemerdekaan.
Berputar, berkeliling memandang tuannya. Seperti ucap pamit. Pamit untuk pergi
jauh ke antah- berantah.
Rasanya
baru kemarin mengurus dan merawat anakku, Intang. Adzan Shubuh berkumandang,
menyambut sang bayi yang baru lahir, memberikan suasana menjadi begitu bahagia. Mas Bram dengan segera
mengangkat bayi mungil yang baru lahir. Dengan haru dan khidmat, suara adzan
mampir di telinga bayi mungil. Tak hentinya aku mengucap syukur pada sang Kholik,
betapa ia memberikan kejutan dari sebuah kesabaran dan penantian. Mengabulkan
doa-doaku. Doa kami sekeluarga. Doa yang tak pernah terhenti dari orangtuaku,
juga orang tua Mas Bram.
Lima
tahun telah berlalu selepas pernikahanku, aku bersujud syukur padaNya ketika
aku dinyatakan hamil oleh dokter. Padahal aku tak mengira. Sudah tak pernah
memikirkan lagi tentang momongan. Ya, di usia pernikahan yang telah lama,
tanda-tanda kehamilan tak kunjung datang padaku. Aku begitu pesimis dan jujur
menjadi kurang percaya diri. Berulang kali aku meminta Mas Bram untuk menikah
kembali, dengan harapan ia segera mempunyai keturunan. Aku telah
mengiklaskannya jika akhirnya aku harus dimadu.
Pertimbangan
itu aku lakukan karena aku tau bagaimana
perasaan orang tua Mas Bram, sesungguhnya. Mereka sangat mengharapkan hadirnya
cucu dengan segera. Tiap berjumpa tak pernah lupa ia menanyakan apakan aku
sudah berisi atau belum. Jujur pertanyaan itu menohok hatiku. Sebagai seorang
wanita begitu perih di dada ketika pertanyaan serupa, tertuju untukku.
Ah,
setiap mereka bertanya seperti itu, guratan silet di hati kembali hadir, tikaman godam bersarang di dada. Tapi Mas Bram
menguatkanku, memberikan aku harapan dan kekuatan, serta senantiasa melindungiku dengan cinta yang
begitu besar.
“Jangan
kau pernah pikirkan ucapan mereka. Ingat aku menikahimu bukan hanya
pertimbangan anak. Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Karena cinta, aku
akan menerima keadaanmu. Juga jangan pernah kau berfikir aku akan menikah lagi.
Istriku sekarang juga sampai akhir hayatku hanyalah kau,” Mas Bram merengkuh
tubuhku, membenamkan kepalaku ke dada bidangnya. Memberi kesejukan yang
teramat.
Dengan sabar
ia membantuku bangkit dari perasaan rendah diri. Mas Bram menguatkan hatiku
hingga akhirnya aku dapat berdiri di atas omongan orang yang menyakitkan. Kini,
omongan mereka kuanggap biasa dan sangat biasa. Semua kuserahkan pada sang Kuasa.
Apapun yang terbaik untuk kami kan kujalani dengan iklas.
Ketika
suatu hari aku mual terus menerus serta napsu makan berkurang. Kelihatan kecemasan
Mas Bram begitu kentara. Dengan segera ia membawaku ke rumah sakit. Maag.
Itulah prediksiku. Tapi begitu kagetnya aku, ketika dokter memberitahu bahwa
aku hamil, seakan tak percaya mas Bram
meminta dokter untuk melakukan USG yang kedua kali. Sujud syukur serta
air mata bahagia menjadi saksi saat itu,
ketika dokter berulang kali mengucap selamat atas kehamilan ini.
Pun
orang tua Mas Bram, dengan segera menyampaikan berita gembira kepada keluarga
besar dan seluruh tetangga atas kebahagiaan yang kami miliki. Kebahagian yang
meruah. Hingga begitu aku keluar dari rumah sakit, aku sedikit kaget ketika
banyak orang. Tapi akhirnya mengerti ketika orang tua mas Bram berkata akan
melakukan syukuran. Syukuran atas jabang bayi yang kukandung.
Kehadiran
Intang membuat keluarga ini berubah.
Lihat, betapa keluarga besar begitu bahagia. Menyambut Intang dengan penuh harap
dan kebanggaan yang terkira. Penerus keluarga akhirnya ada dengan lahirnya
Intang.
Namun
di tengah kebahagian keluarga besar yang meletup. Tak percaya ketika kebahagiaan
lenyap seketika. Akarnya terampas seketika tiada bersisa. Tubuhku lunglai tak
bertenaga. Ya, kebahagiaan yang baru saja kami nikmati musnah. Tuhan, apa yang
sebenarnya terjadi? Mengapa kau hadirkan derita ketika bahagia baru bersemai di
hati, menyiapkan taman bunga hati yang semerbak. Harumnya bersemilir
meneduhkanku dan meneduhkan orang di sekelilingku.
Telepon
datang dengan tiba-tiba mengabarkan duka pada keluargaku. Tiada percaya,
berulang kali aku bertanya kebenaran tentang kabar lewat telepon. Dan aku
mengabaikannya. Baru aku percaya ketika suara ambulan datang ke rumah.
“Siapa,
Bu?” aku bertanya pada ibuku.
Tak
ada jawaban hanya air mata yang langsung membasahi pipi. Dan segera menyambut
para tetamu yang datang pada saat itu.
“Bersabarlah,”
ucap ibu merangkul pundakku.
“Jadi...!”
“Benar.
Suamimu telah tiada.”
Gubrag.
Langit runtuh seketika. Ternyata benar adanya. Orang yang memberitahu dan
meneleponku berulang, bukan orang iseng yang biasa aku dengar selama ini. Bukan
pula sandiwara yang kerap aku lihat di televisi. Berulang kali kugigit bibir ini, berharap ini
adalah mimpi. Aku sangsi. Dengan segera berlari ke luar. Menyongsong usungan mayat
yang telah terkafani.
“Tidak.
Dia bukan Mas Bram,” suaraku menguar membelah langit. Merasakan dada yang
begitu sesak seperti dihimpit bumi. Tersakiti
tiada terkira. Dan aku merasa
bahwa diri ini takan mampu menyudahi derita.
“Sabarlah
Lastri,” ibu mertua memapahku.
“Tidak,
Bu. Aku ingin bersama Mas Bram
selamanya. Ia tidak meninggal. Mas Bram tadi pagi bersamaku, berkata bahwa aku
harus menjaga Intang.”
Aku
tak pernah menyadari bahwa itu adalah ucapan Mas Bram untuk yang terkahir kali.
Kini aku bertemu lagi dengannya. Dalam keadaan yang begitu berbeda. Tubuhnya
terbungkus kafan.
Hari-hari
membelengguku. Aku menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Betapa Tuhan
begitu tega, membuat diri menderita lara. Menyuguhkan kesunyian yang melesapkan
angan hingga menggugurkan dedaunan ceria menjadi duka. Duka tiada terkira.
Berhari-hari,
berminggu bahkan berbulan-bulan aku hanya mengurung diri di kamar. Tanpa pernah
mau melakukan apapun. Aku hidup dalam khayalku ditemani Mas Bram yang kurindu. Terkadang
berkata tentang cinta. Terkadang memberi cerita yang kesemuanya sangatlah
kusuka. Hingga akhirnya aku bertemu dengan sebuah kesadaran, ketika suatu waktu
Intang anakku menangis keras. Menangis tiada henti.
“Ada
apa dengan Intang, Bu,” aku masuk ke kamar, menemui ibu.
“Lastri?”
ibu tertegun menatapku.
“Kenapa
Intang Bu. Sini aku gendong.”
“Biar
ibu saja,” Ia dengan segera mengangkat Intang yang tengah menangis, membiarkanku
mematung di kamar sendiri.
“Bu.
Sini aku susui, aku menyusul langkah ibu.
“Ya.
Tapi rapikanlah dahulu pakaianmu. Mandilah,”’ Ibu menatap tajam bola mataku.
Memberikan Intang pada pembantu. Berbisik sesuatu. Kemudian memapahku. ”Kau
sudah sadar, Nak? Syukurlah.” Ibu memelukku. Air matanya tumpah ruah membasahi
pipi.
“Sadar?”
aku terkejut. “Sadar apa, Bu. Aku tidak apa-apa koq.” Aku melangkah ke kamar
mandi. “Handuknya mana, Bu? Biasanya tergantung di sini?”
“Dalam
lemari,” ibu berkata dan terus menguntitku.
Aku
kembali ke kamar. Tanpa banyak tanya menuju lemari, membuka pintunya. Aku terkejut
melihat isinya. Semua berubah. Padahal biasanya sebelah kanan adalah bajuku dan
sebelah kiri adalah baju Mas Bram. Kini berubah. Sebelah kanan adalah bajuku
dan sebelah kiri? Tak satupun kulihat baju Mas Bram. Hanya gundukan sepre dan
handuk yang terlihat.
“Bu,
siapa yang merubah ini semua? mana baju
Mas Bram?”
Ibu
menangis tersedu. “Berkacalah, Nak,” Ibu menarik badanku. Mendekatkanku dalam
cermin di depan. ”Lihat dirimu.”
“Ibu...!”
aku terkejut. Melihat perempuan yang berdiri di depanku. Seorang perempuan
berbadan kurus. Rambut terurai panjang acak-acakan. Muka kehitaman, tak
terawat. Benarkah itu aku? Padahal aku selama ini begitu menjaga penampilanku.
Senantiasa segar dan bercahaya. Ulasan bedak dan lipstik tak pernah lupa aku
poleskan walau hanya tipis.”Itukah aku, Bu?”
“Ya.
Itulah engkau yang sekarang Lastri.”
“Tapi
mengapa? Man...mana baju Mas Bram?” aku balik bertanya. Ingatan mulai hadir
berloncatan di hatiku. Mulai dari seorang mayat. Mas bram yang membelaiku. Juga
Intang anakku.
“Sudah
ibu kasihkan. Ingat, Nak. Suamimu sudah meninggal 5 bulan lalu.”
“Meninggal?
Tapi kemarin ia bersamaku. Malah ia
megajariku menyetir mobil. Aku di belakang setir dan Mas Bram di sampingku
sambil memangku Intang. Dan aku mulai bisa menyetir mobil, Bu. Tapi mayat
itu...mayat siapa?”
“Ya,
Nak. Kamu sudah hampir 5 bulan berbaring di ranjang ini. Tepat di saat suamimu
dipanggil yang Kuasa, kau menjadi lupa siapa dirimu. Juga Intang, anakmu.”
“Intang
tidak apa-apa? Mengapa tadi ia menangis keras?”
“Tadi
ia terjatuh. Sudahlah. Tadi Bi Murni sudah membawanya ke rumah mertuamu. “Ayo
ibu bersihkan badanmu.”
Baru
aku tahu. Bahwa 5 bulan aku menghabiskan waktuku sendiri. Menutup diri. Itu karena
kepedihan ditinggal Mas Bram. Kini, atas bantuan keluarga besarku
sedikit-sedikit aku mampu berdiri. Apalagi melihat Intang yang membutuhkanku.
Senyum polosnya begitu membahagiakanku. Ia mampu menghilangkan kemelut dan duka
yang bersarang di hati. Ya, hanya Intang yang mampu mengobatiku lukaku.
Dan
sebagai seorang ibu. Aku tau keberadaanku sangat diperlukan untuk Intang. Anak
semata wayangku. Aku tau ia membutuhkan teramat sangat. Maka mulailah aku
menjadi seorang single parents
yang harus begitu mandiri dengan
keadaan. Bekerja dengan giat serta mencurahkan segala perhatian hanya untuk
semata wayangku. Walau aku dianggap terlalu protek. Bukan apa-apa. Semua hanya
ingin yang terbaik. Aku tak mau anakku salah jalan. Ia adalah mutiara yang harus
selalu kujaga agar tiada pernah tergores sedikitpun. Sungguh cinta dan
perhatian ini hanya untuk mutiaraku seorang.
Diri
tersentak ketika Intangku. Anak semata wayangku tiba-tiba membawa seorang
lelaki. Tersadar, ternyata anakku telah
menjadi seorang gadis yang jelita. Rasanya terlalu dini. Baru kemarin ia
berada di pangkuanku, menyuapi nasi. Baru kemarin kuantar ia ke TK menemaninya
bermain dan belajar. Dan baru kemarin aku mendaftarkan ke perguruan tinggi
sesuai dengan keinginannya. Baru kemarin....
“Siapa
dia?” selidikku.
“Teman,”
ucapnya pelan.
“Ingat.
Kamu masih sekolah. Mama tak mau skripsimu terbengkalai karena laki-laki,” aku
menatap lekat. “Jangan kau terlalu percaya pada lelaki. Mereka begitu manis di
mulut. Habis manis sepah dibuang.”
“Iya,
Ma. Cuma teman,” katanya sambil berlalu. Memampirkan bibirnya mendarat di
pipiku.
Aku
benci lelaki itu. Budi. Laki-laki yang merampas kebersamaan. Kesepian kerap bertamu.
Aku kehilangan masa bahagia bersama Intang.
Biasanya tiap Maghrib kami menonton tivi bersama, makan cemilan serta bersenda
gurau. Kini sepi. Cemilan yang aku sediakan hanya teronggok di lemari manakan,
tanpa tersentuh anakku. Makan malam pun ia tak pernah mau lagi. Padahal aku
sudah masak sedari sore hanya untuk Intangku seorang. Ah, intang sedang apa kau
di sana. Mengapa kini kau menjadi lain. Di manakah kau yang dulu.
Banyak
alasan yang Intang buat untuk menghindarkan kebersaman ini. Sudah makan malam di jalan, sudah kenyang
atau nanti saja. Atau kalaupun mau. Intang hanya sekedar menemaniku. Lebih
banyak merenung dan terseyum sendiri dengan ponselnya. Jarang sekali bercakap
denganku. Aku yang ada di sampingnya, teracuhkan.
*
Intang
mungkin marah padaku ketika Budi datang, meminta izin padaku untuk menonton
film.
“Apa
tidak lihat ini jam berapa, Budi? Jam sepuluh malam. Waktunya untuk
beristirahat. Intang sudah capek dengan tugas kuliah. Jangan jejali ia dengan
kecapekan yang lain,” ucapku.
“Intang
tidak capek, Ma. Justru Intang senang. Nonton film bisa menghilangkan stress
akibat kuliah,” Intang tiba-tiba datang.
“Tidak!
Mama tidak memberimu izin.”
“Ah,
Mama. Tidak mengerti,” Intang menangis, berlari ke kamar dan menguncinya.
“Intang...Intang.”
Suara
ketuk tak berbalas. Yang kudengar hanya tangis sesunggukan. Ah, Intang, bukan
mama tak menyetujui. Udara malam sangatlah tidak nyaman. Apalagi untuk
perempuan. Mama tak mau terjadi apa-apa denganmu, aku membatin.
Aku
terpekur di dalam kamar. Kupandangi poto almarhum suamiku. 22 tahun yang lalu. Kerinduan
menyusupi labirin hati. 22 tahun waktu yang begitu cepat dan begitu sebentar
kurasa. Kulihat poto pengatinku dulu dengan mas Bram. Terlihat aku begitu muda.
Maklumlah aku menikah ketika 1 bulan usai lulus SMA. Sangat muda. Terhenyak
mengingatnya. Mengingat Intang. Baru kusadari di usianya, aku begitu kaku,
terlalu mengekang Intang terhadap seorang lelaki.
“Ajaklah
Budi kemari nanti siang. Mama mau bicara,” ucapku besok paginya. Kulihat sembab
di matanya begitu kentara. Duka membayang di wajahnya. “Maafkan mama, Intang.
Mama melakukan semua ini hanya untukmu. Mama takut terjadi apa-apa denganmu,”
aku memeluknya erat. Sangat erat.
“Benarkah
Mama meminta mas Budi ke mari? Tapi jam 2 sekarang tidak bisa. Mas Budi pulang kerjanya
jam 5.”
“Oh
sudah bekerja. Di mana?” kali pertama aku bertanya tentang teman dekat Intang.
“Di
PT. Sunrise, Ma. Ia adalah Manager personalianya.”
‘”Ya
terserahmulah mau jam berapa. Tapi telepon dulu mama perihal kedatangannya. Biar
mama siapkan makanan untuknya.”
“Makanan?”
“Mama
ingin makan bersama kalian.”
*
Aku mulai
mengenal Budi, memperhatikan gerak-geriknya. Budi anak yang baik, bertanggung
jawab dan satu yang membuatku bangga, ia rajin beribadah. Terbukti ketika ada
di rumah tak pernah terlupa untuk melakukan sholat sunat dan wajib. Aku begitu
menyukainya.
Tapi tak urung
tersentak. Ketika ia menyatakan akan melamar Intang dan menjadikan istrinya.
Sungguh aku belum siap.
“Apa tak
secepat itu, Budi?”
“Tidak, Ma.
Aku ingin Intang menemaniku. Karena 6 bulan lagi aku dipindahkan kerja ke
Yogyakarta. Aku ingin Intang ada di sampingku. Menjadi istri dan ibu untuk
anakku kelak.”
Ada yang
berderit nyeri, menikam ulu hati. Mendengarnya. Sanggupkah? Sanggupkah aku
melepas Intang secepat itu.
“Baiklah mama
hanya mampu berdo’a untuk kalian,” kulipat sepi dan tangisku ke dalam dada. Aku
tak mau mereka tau bahwa hati ini begitu lara.
Tepuk tangan
hadirin meriuh. Ketika sang pengantin melepas sepasang burung merpati. Burung
yang ada dalam sangkar seketika lepas, terlepas dari kerangkengnya selama ini.
Kepak sayap merpati pun melebar, berputar semakin lama menjauh dan berpendar dalam pandanganku. Kutatap putriku
dan Budi yang baru saja menikah. Pergilah,
Nak. Kuiklaskan kau terbang melayang mengepakan sayap, menjelajah
samudera bersama terkasihmu. Ingat, saling berpegangan erat. Perih ini kan
terganti bahagia bila hidupmu bahagia, terjauh dari duka dan lara. Dan aku
ingin kalian bahagia, bebas merdeka seperti sang merpati yang baru terbebas.***