Bubu Gajah yang Baik
Hati
Oleh: Nina Rahayu
Nadea
Di
pagi hari yang sangat cerah Bubu Gajah
ke luar dari rumahnya. Ia berniat berjalan-jalan sambil menghirup udara pagi yang segar. Dengan lincah ia
berlari kecil sambil sesekali bersiul
riang. Tiba-tiba jalannya terhenti, ketika dilihatnya teman-teman sebayanya
sedang bermain. Ada Beaver si berang-berang, Bear Beruang, juga Monkey Monyet yang saat itu sedang
bermain petak umpet.
“Hai
ikutan dong....!” Bubu tersenyum ramah.
“He...he...
ada mahluk asing, si hidung panjang,” Beaver menjauh dari Bubu yang mendekatinya.
“Iya
ayo kita bubar,” Monkey berteriak keras.
Menyadari
kehadirannya tak diinginkan oleh mereka, Bubu segera meninggalkan tempat mereka
bermain. Hatinya begitu pedih. Entahlah, mengapa semua begitu membencinya.
Padahal selama ini Bubu senantiasa berbuat baik bahkan senantiasa tersenyum
ramah pada mereka. Tapi mereka senantiasa mengacuhkan dirinya. Kehadirannya
senantiasa dianggap angin lalu saja.
Bubu
menyadari hidung panjangnya lah yang senantiasa menjadi masalah. Kini Bubu
memilih duduk menyendiri di dekat sebuah kolam yang airnya jernih. Di atas
kolam ia memerhatikan wajahnya yang memang lain dari yang lain. Telinga yang
sangat lebar dan hidung yang sangat panjang senantiasa membuat teman-teman
mengolok dirinya.
Di
tengah kesedihannya, sesekali terdengar teriak kegirangan dari Beaver, Bear
serta binatang lain yang saat itu bermain di dekat rumah Beaver. Dilihatnya ibu
Beaver yang sibuk menyuguhi mereka dengan makanan.
Ah,
andai aku punya ibu, batin Bubu. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca mengenang ayah
ibunya yang sudah tiada.
“Api...api...!”
“Tolong
anak bayiku!” ibu Beaver berteriak.
Bubu
melihat ke arah keributan. Dilihatnya api menyala membakar rumah Beaver. Dengan
segera Bubu menjulurkan belalai panjangnya. Kemudian tanpa ragu ia mengguyurkan
air ke arah rumah Beaver yang jaraknya tidak terlalu jauh dengannya. Api yang
menjalar rumah Beaver sudah membesar dan untuk memudahkan memadamkan api yang
berkobar, Bubu harus bolak-balik dari kolam ke tempat Beaver berkali-kali
supaya apinya cepat padam.
Beruntung
api akhirnya mati. Walaupun Bubu merasakan kelelahan yang teramat sangat dari
badannya, tapi hatinya begitu bahagia karena ternyata belalainya mampu menjadi
penolong untuk teman-temannya. Ia bersandar di tepi pohon sambil matanya
memandang langit yang cerah. Dilihatnya
ibu Beaver dan teman-temannya yang juga kelihatannya bahagia. Sebenarnya Bubu ingin melepaskan lelah lebih
lama di bawah pohon rindang tersebut. Tetapi teringat akan kelakuan Beaver
sewaktu tadi, ia menyurutkan niatnya. Ia berdiri, dan berjalan menjauhi rumah Beaver.
“Bubu...Bubu,”
tiba-tiba dari belakang terdengar memanggilnya.
Bubu
berhenti, dipasangnya telinga lebar-lebar, takut salah dengan pendengarannya.
“Bubu...Bubu,
kemarilah,” benarkah Beaver memanggilnya? Hati kecilnya dipenuhi tanya.
Bubu
membalikan badannya. Dilihatnya Beaver, Bear, Monkey telah berdiri.
“Bubu
makasih kau telah menolong kami,” Beaver berkata.
“Sama-sama,”
Bubu segera melangkah menjauh dari mereka. Ia tak mau, kata-kata yang biasa
mengoloknya akan menyakitinya kembali.
“Bubu
maukah kau bermain bersama kami?” Bear mendekati Bubu.
“Benar
Bubu, ayolah main bersama,” Beaver berkata kembali.
Bubu
tertegun, hatinya seakan tidak percaya.
“Maukan
Bubu?” Beaver bertanya.
“Benarkah?
Benarkah kalian mengajakku bermain?” Bubu tak yakin dengan ajakan
teman-temannya.
“Benar
Bubu. Ternyata selama ini kami telah salah menilaimu. Ternyata kau sangat baik.
Selama ini kami takut dengan belalai panjangmu. Tapi ternyata semua salah,
ternyata belalaimu mampu menolong kami. Ayo main bersama kami.”
“Horee...”
Bubu berteriak girang.