Tangisan Hujan
Oleh: Nina Rahayu Nadea
“Dorokdokna Pak, dorokna, Bu. Sapuluh rebu
tilu,” dengan cekatan laki-laki tua itu membawa karung berisi dorokdok.
Menjajakan kepada seluruh mobil yang lewat. Yang lalu lalang di depannya.
“Mangga, Neng. Mirah!” laki-laki itu mendekati
sebuah mobil Avanza ketika dilihatnya
seorang anak kecil memanggilnya.
Tapi
langkahnya langsung terhenti ketika dengan serta merta ibu muda di sampingnya.
Menarik lengan anaknya, menutup kaca mobil dengan tergesa.
“Aku
pengen dorokdok, Mah,” suara lengkingan tangis terdengar.
“Jangan!
kamu tidak lihat apa di TV?”
Byuuur.
Cipratan air mengena di bajunya. Cipratan karena mobil yang dilajukan kencang
oleh sang pengemudi. Laki-laki itu terdiam kaku, menghapus wajahnya yang basah.
Genangan air bekas
hujan tadi masih membayang di wajah
langit, di tanah bahkan di jalanan aspal yang berlubang. Membuat jalanan macet.
Mobil
yang panjang antri. Macet. Itulah yang senantiasa membuat para pedagang asongan
bersemangat. Bersemangat untuk kembali menjajakan dagangannya. Dagangan yang
beraneka rupa. Dari kehidupan inilah mereka hidup. Menafkahi anak istrinya yang
menunggu di rumah. Pun dengan Pak Mamat. Lelaki tua itu dengan semangat
menjajakan dorokdoknya kepada setiap penumpang yang berada dalam mobil. Tapi
akhir-akhir ini dagangannya tak pernah terjual. Ratusan dorokdok dalam karungnya
senantiasa utuh. Kalau pun laku, hanya terjual beberapa. Tak pernah cukup untuk
menafkahi keluarganya di rumah.
Pak
Mamat hanya mampu menghela nafas. Mengusap cipratan air dengan tangan tuanya.
Air mata mengenang di pelupuk matanya.
Membayang jelas di pipi keriputnya.
Gontai
laki-laki penjual dorokdok itu menjauh. Ia tak ingin hanya karena dagangannya
menyebabkan pertengkaran antara ibu dan anak. Walau hanya dari dorokdok
hidupnya berharap, tapi ia tak mau cerca kembali menimpanya. Makian yang
membuat hatinya begitu terluka. Cerca ketika ia membujuk anak kecil untuk
membeli dorokdoknya.
“Hey,
Mang! awas jangan rayu anak saya lah. Teu
nyadar kitu maneh jualan naon. Paling oge kulit urut mulungan ti jalan.
Dorokdok urut jeket kulit nya?” ujar si ibu gemas.
“Nga, Bu dorokdok saya mah asli.”
“Ah asli...asli tujuh mulud. Hayang neangan
untung tapi ngaruksak batur. Eureun geura Mang ngajual dorokdok teh. Tibatan
jadi panyakit ka balarea,” caci ibu itu. Tangannya dengan paksa menarik
lengan anaknya.
Yah,
semenjak kejadian itu. Ketika sebuah stasiun televisi menyiarkan tentang penjual
dorokdok palsu. Mengambil sisa-sisa jaket kulit dan diolah kembali menjadi makanan.
Begitu menyedihkan. Pemberitaan yang kemudian membalikan hidupnya. Yang semula
senantiasa gembira. Gembira karena dorokdok-makanan khas Garut itu senantiasa
amrin. Laris manis.
Tapi
kini semua musnah. Penderitaannya menumpuk sudah. Siaran di salah satu di
televisi, telah menyebabkan hidupnya terpuruk. Begitu didera dengan masalah.
Terbayang istrinya yang terbaring lemas di rumah tuanya. Entah sakit apa yang
dideritanya. Seminggu ini badannya panas. Jangankan untuk membawanya ke rumah
sakit. Untuk makanan sehari-hari saja sangat sulit dicukupi. Jamsostek yang
dipunyainya ternyata tak mampu menuntaskan masalah. Ternyata ia tetap saja
harus mengeluarkan uang untuk memeriksa keadaan istrinya lebih jauh.
Puskesmas
tempatnya pertama kali berobat memberi rujukan agar istrinya dibawa ke rumah
sakit. Tapi apa daya hidupnya begitu tak mampu.
***
Dulu
Pak Mamat tak pernah menjajakan dorokdoknya di jalan. Cukup menunggu di kiosnya.
Kios yang dipenuhi makanan khas Garut. Coba tengok saja kiosnya yang dulu. Aneka
kudapan tersedia: dodol, ranginang, dorokdok, chocodot. Semua tumplek di sana,
ramai dan laku. Tempat yang strategis. Banyak para pengendara yang sengaja
mampir untuk sekedar membeli oleh-oleh khas Garut. Dan para pemilik kios tak
pernah berebut. Meski kiosnya berjejer puluhan, tapi mereka tak pernah
kehabisan rejeki, mereka percaya rejeki ada di tangan Tuhan. Tak pernah sekali
pun keributan atau pertengkaran terjadi karena masalah pembeli. Semua begitu
menikmat hidup sebagai pedagang. Rejeki datang kapan saja. Tak heran banyak
kios yang buka sampai 24 jam. Mereka tak mau melewatkan pembeli yang mampir ke
kiosnya.
Tapi
kini, semenjak kios tak ada. Pertengkaran kerap terjadi. Pertengkaran karena
lahan. Karena berebutan penumpang yang mau membeli. Mereka begitu takut
anak-istrinya di rumah kelaparan. Hingga seringkali pertengkaran terjadi. Tak
peduli siapa mereka. Sikut sana sikut sini, yang penting mereka dapat menikmati
untung. Begitu juga keuntungan yang sesaat yang diperoleh dengan seketika,
banyak dilakukan oleh penjual nakal. Penjual yang ingin mengeruk keuntungan
sesaat dari cara yang tidak jujur. Himpitan ekonomi telah membutakan mata.
Menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan yang meruah.
Janji
yang diucapkan pemerintah hanyalah janji. Mereka berjanji untuk memindahkan dan
memberi lahan yang baik untuk mereka berjualan. Tapi mana buktinya? Semua omong
kosong. Semua hanyalah angin belaka.
Tanpa pernah ada penyelesaiannya
Sementara
tubuh tuanya sudah tak bisa bersaing lagi. Berebutan lahan serta berlari ke
sana sini mengejar penumpang terlalu lemah untuknya. Di usia yang begitu tua,
harusnya ia istirahat menikmati masa tuanya. Tapi apa dikata. Semua berkehendak
lain.
Dihimpit
ekonomi, biaya sehari-hari yang semakin merangkak naik membuat beberapa oknum
penjual nakal melakukan aksinya. Begitu pun sang penjual dorokdok yang kini
tengah gencar. Menjual dorokdok dari sisa-sisa jaket kulit. Betapa, tingkat kebutuhan manusia memang tak sebanding dengan ekonomi yang didapat. Semua begitu menyesakan
dada. Kemana pun kaki melangkah selalu dihantui oleh masalah ekonomi yang
semakin menguntit diri.
Matanya
memandang nanar ke jalan besar. Jalan dimana kios-kois dulu berjejer rapi.
Jalan yang dulu ramai karena banyak pengunjung mampir. Kini, senyap. Kiosnya
tak lagi berpenghuni semenjak jalan baru seputar Nagreg dibuat. Nasib mereka menjadi
terlunta-lunta. Nasib tak lagi banyak berpihak pada mereka. Pupus sudah harapan
yang dulu menggebu. Dan beginilah akhirnya sebuah kehidupan. Mengais rejeki
degan cara menjadi penjual asongan.
Tubuh
tuanya tak lagi bisa bersaing dengan mereka yang muda. Senantiasa kalah.
Hujan basah menemaninya. Rintikan air
mengena di wajah dan kulit yang keriput. Tetesannya menyadarkannya, bahwasannya
ia harus terus berjuang. Terbayang wajah istri yang terbaring lemah di kasur tua.
“Dorokdokna
Pak, dorokdokna, Bu,” suara tuanya kembali terdengar, diiringi gemuruh hujan
yang ikut menangis.***
Keterangan:
1.
Dorokdokna Pak, dorokna, Bu. Sapuluh rebu tilu= Kerupuk kulitnya, Pak.
Kerupuk kulitnya, Bu. Sepuluh ribu tiga.
2.
Mangga, Neng. Mirah= Iya, Neng. Murah.
3.
Teu nyadar kitu maneh jualan naon. Paling oge kulit urut mulungan ti
jalan. Dorokdok urut jeket kulit nya= Kamu tidak sadar jualan apa. Paling
memungut dari kulit bekas. Kerupuk bekas jaket kulit, ya?
4.
Nga, Bu dorokdok saya mah asli=Tidak, Bu. Kerupuk kulit saya asli.
5.
Ah asli...asli tujuh mulud. Hayang neangan untung tapi ngaruksak batur.
Eureun geura Mang ngajual dorokdok teh. Tibatan jadi panyakit ka balarea= Ah, asili. Bohong. Kalau mau mencari keuntungan jangan merusak orang
lain. Berhenti saja jualan kerupuknya. Daripada menjadi penyakit mayarakat.