Senin, 26 Mei 2014

Artikel, dimuat di majalah Baca, Banda Aceh Edisi 6 Mei-Juni 2014


Menumbuhkan Minat Baca Pada Anak
Oleh: Nina Rahayu Nadea

                Utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi (Tuntutlah  ilmu dari buaian sampai ke liang lahat). Tolabul ilmi fariidotun ‘ala kulli muslimin wa muslimat ( Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan). Jelaslah, bahwa  belajar dan menuntut ilmu adalah suatu kewajiban umat Islam sepanjang hayat.  Maka di mana pun dan  kapan pun,  tak ada istilah untuk berhenti belajar dan belajar.
Salah satu cara sederhana yang dilakukan dari belajar adalah dengan membaca. Suatu kegiatan yang pasti berhubungan buku. Kebiasaan membaca itu sendiri perlu dilatih dari usia sedini mungkin. Agar tidak terjadi rasa malas dalam membaca.
Disadari atau tidak budaya membaca di kalangan anak pelajar menurun drastis. Lihatlah di perpustakaan sekolah. Kondisi anak yang memprihatinkan banyak pihak. Jangan salah jika semakin kemudian prestasi anak di sekolah mengalami penurunan karena kurangnya membaca.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa mereka malas membaca. Tekhnologi yang semakin canggih semakin menggerus minat anak dalam membaca. Permainan game  semakin melenakan dan menjauhkan mereka dari buku. Pun arena bermain dan hiburan lebih menggiurkan anak dibanding dengan membaca. Dan salah satu terpenting yang menyebabkan kurangnya minat anak dalam membaca  adalah tidak ada dukungan dari keluarga.
Adalah perpustakaan yang dapat dijadikan sarana pendukung atau upaya agar proses membaca dapat berlangsung. Disadari atau tidak keberadaan perpustakaan ini dapat menyebabkan proses kemudahan agar anak tertarik dalam membaca bisa terjadi.
Cara yang dilakukan orang tua untuk menumbuhkan minat baca anak, bisa dilakukan dengan membuat perpustakaan pribadi di rumah.  Perpustakaan yang diharap dapat menjadi gudang ilmu untuk keluarga, khususnya anak-anak. Yang kemudian akan  semakin menyadarkan betapa pentingnya keberadaan  perpustakaan dalam memberi informasi yang berharga.
                Perpustakaan itu sendiri menurut Sulistyo Basuki: adalah sebuah ruangan atau gedung yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan berdasarkan tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual.
                Ada pun perpustakaan pribadi adalah perpustakaan yang dikelola oleh orang tertentu secara pribadi dengan tujuan melayani kebutuhan keluarga itu sendiri. Atau dengan kata lain dibiayai dan dikelola oleh perorangan untuk tujuan tertentu.
                Alasan beberapa orang membuat perpustakaan pribadi di rumah adalah berawal dari membeli banyak koran atau majalah, pun bacaan lain. Alhasil buku-buku yang ada di rumah berserakan. Inilah yang kemudian menyebabkan mereka berusaha untuk mengatur, memanajemen buku-buku itu sendiri agar tidak berserakan. Sehingga dengan demikian buku menjadi tertata dan mudah untuk ditemukan apabila diperlukan kembali.
                Penataan yang rapi dan menarik, dengan tidak menyimpan buku di sembarang diharapkan dapat membuat nyaman dan betah ketika anak berada dalam ruang perpustakaan ini. Dan diharapkan inilah yang kemudian menjadi dasar agar anak-anak pun orang tua menjadi  tertarik dan kemudian menyukai kegiatan  membaca.
                Tanpa disadari semakin sering melihat deretan buku yang berjejer dalam rumah akan menimbulkan rangsangan dan gairah baru bagi seseorang untuk semakin mencintai buku dan kemudian akan mendisiplinkan diri dalam hal membaca. Itulah kemudian yang  harus disadari bahwa keberadaan perpustakaan di rumah sangat penting keberadaannya.
                Untuk mengoptimalkan fungsi perpustakaan pribadi itu sendiri  perlu adanya penataan yang baik agar tempatnya dinikmati anak-anak. Bila perlu aturlah sedemikan rupa atau perlengkap dengan gambar-gambar sesuai dengan usia anak. Ada baiknya juga setiap anggota yang berada dalam keluarga  sendiri mempunyai andil yang besar dalam keberlangsungan tujuan yang diharapkan.
Ajaklah anak untuk membaca bersama, kemudian mintalah pendapat tentang buku yang baru saja dibaca. Berilah penjelasan dengan bahasa anak jika mereka tidak mengerti dengan buku yang dibaca. Latihlah anak yang belum bisa membaca dengan cara mendongengkan rutin padanya, agar menarik sertakan gambar-gambar yang berwarna dan menarik bagi anak. Tiada lain yang menjadi sasaran dalam hal ini adalah mengembangkan minat baca anak. Yang pasti bapak atau ibu pun orang tua dewasa yang berada dalam lingkungan keluarga harus memberikan contoh yang baik sehigga prilakunya dapat dengan mudah ditiru oleh anak-anak, dalam perihal membaca.
                Butuh waktu memang untuk melihat hasilnya. Melihat anak-anak tumbuh dan berkembang dengan minat baca yang baik. Tapi setidaknya kita mempunyai niat untuk menanamkan minat membaca pada anak-anak. Sebagai orang tua yang bijak adalah perlu sekali melakukan kegiatan seperti ini. Pilahlah buku-buku yang tersedia dalam perpustakaan rumah sesuai dengan umur anak. Jangan sampai anak mengonsumsi bacaan  yang belum waktunya
                Temani serta bimbinglah anak-anak pada saat membaca. Beri ajaran dan selipkan norma sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Ceritakan apa baik dan buruknya.
                Masalah gemar membaca atau tidak. Tidak bisa disalahkan hanya kepada pihak sekolah saja yang notabene sebagai pelaku bidang pedidikan. Namun yang utama adalah peran orang tua dalam menumbuhkan mibat baca. Jadikan keberadaan perpustakaan pribadi ini sebagai langkah awal untuk mendapatkan langkah yang lebih baik selanjutnya.
                Salah satu cara yang dilakukan orang tua adalah dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia dalam perpustakaan sebaik mungkin. Jangan sampai perpustakaan yang ada di rumah hanya menjadi hiasan belaka. 
Ajaklah anak-anak untuk belajar membaca dari buku-buku yang tersedia. Pilihlah buku sesuai dengan keinginanan. Tentulah buku yang sesuai dengan umur mereka. Pun orang tua jangan hanya menyuruh anak membaca, sementara orang tua tidak pernah menyentuh buku.
                Melihat deretan buku yang berada di dalam rumah tentunya akan membuat bangga sendiri. Memiliki perustakaan pribadi adalah menjadi kebangaan tersendiri bagi si empunya. Selain karena pemilik perpustakaan pribadi masih sangat jarang ditemukan. Pun menandakan bahwa adanya penilaian masyarakat atau orang sekitar tentang pemiliknya. Mempunyai perpustakaan di rumah adalah menjadi idaman banyak orang. Khususnya yang sangat peduli terhadap anak,  buku dan juga peduli terhadap tujuan yang mereka idamkan-melihat anak gemar membaca.
                Tapi ingatlah keberadaan perpustakaan itu sendiri, agar perpustakaan itu bertahan lama perlu dilakukan upaya-upaya agar perpustakaan tetap terjaga:
1.       Simpanlah buku di tempat yang layak.  
2.       Pilahlah buku tersebut sesuai genre masing-masing. Hal ini penting agar memudahkan pencarian sehingga dapat mencari tidak terlalu susah dan tidak perlu mengobrak-abrik buku yang lain. Dan tentunya akan membuat buku menjadi awet .
3.       Berikan ruang cahaya yang masuk. Hal ini perlu untuk mencegah kelembaban.
4.       Sediakanlah penerangan yang baik. Hal ini untuk membantu kenyamanan dalam membaca.
5.       Rajinlah memberikan kapur barus di atas buku dan sekelilingnya. Hal ini untuk mencegah adanya rayap yang dapat merusak buku-buku.
6.       Rajinlah membersihkan buku dari debu.
7.       Membiasakan diri menyimpan buku pada tempatnya
Mari budayakan membaca mulai diri kita sendiri sebagai orang tua. Dengan keseriusan, agar  budaya baca dapat disenangi anak. Kalau bukan kita siapa lagi?***

Jumat, 16 Mei 2014

Carpon Mangle 15-21 Mei 2014


Dana Hibah
Ku: Nina Rahayu Nadéa
IMG_0250

                Di dieu. Di pangbérokan. Aya cimata nu teu weléh kumeclak, maseuhan haté. Maseuhan lalakon. Rasa kaduhung teu weléh ngamomotan. Kaduhung anu kapahung, heunteu bisa kaubaran. Tiap ringkang, tiap léngkah, lambaran lalakon narémbongan. Ngoyagkeun muara cimata, anu geus dibendung, bedah deui. Kasedih jeung karémpan ngulampreng saban usik. Awak aya di dieu. Tapi panglamunan ngalayang kakalayangan teuing kamendi. Asa napak asa heunteu.
Rénjag. Aya nu kumeleter dina haté. Kélébétna bendéra partai jeung orasi nu ku kuring dilakukeun nyingkabkeun lelembutan. Silhuétna pating kalayang, ngaringkangan minuhan lulurung kalbu.  Kieu antukna, unggah balé watangan kasarung hukum,  kalimpud bingung.
Rumasa nyieun jalan peunggas.  Rumasa néang kasenangan ku cara anu teu matut. Sanajan ngan saukur kababawa. Tapi nya kieu buktina. Lara nalangsa nibanan raga.  Nya kieu ubar keur kuring sorangan, nu geus codéka. Tamaha ku lampah sorangan.
*
                Bosen jadi guru honor. Sakitu geus ngabakti ka nagara lila. Belasan taun, tapi can dikersakeun aya milik. Can bisa jadi PNS. Sok asa ngeunah ningali maranéhna para PNS, tanggung jawab sarua tapi ningali dina karaharjaan jauh tanah ka langit. Malah lamun kudu disebutkeun mah, asa panggetolna ngajar téh. Datang tangginas waé, administrasi kumplit. Maranéhna mah tinggal copy paste waé. Atuh dina widang ngajar, rarasaan mah teu nogéncang, kitu deui  barudak resep cenah mun diajar ku kuring. Babari ngarti.
                Sumanget jeung resep mah nataku. Angot teu bisa disumputkeun. Da ngan éta kabisa téh, ngajar. Teu boga deui kaahlian widang séjén. Ngan édas lamun geus mikir karaharjaan, sumanget téh sok asa leungit baganti keuheul. Pangpangna ningali maranéhna.
Padahal mah ceuk sasaha gé cenah kuring téh ngeunah. Ngeunah pédah nyekel jabatan jadi staff kurikulum tur deui kuring aktif dina sababaraha komunitas. Aub dina sababaraha organisasi. Nu dipiharep sangkan ambahan ngalegaan, tur nambah kawawuh. Tapi beuki loba kawawuh, kanyeri téh beuki nambahan. Enya mun noong lebah ékonomi batur. Mungguhing jelema. Tara puas ku kaayan sorangan, angger hayang ngarampa milik batur.
Matakna basa aya nu ngajakan nyieun hiji Komunitas. Kacida atohna. Komo deui basa kuring kapeto jadi ketuana. Teu wudu ieu irung rada rebéh. Susuganan jeung susuganan aya sasén dua sén nu asup kana saku kuring.
                Komunitas anu disokong ku sababaraha sakola, khususna  guru honorér anu ngarasa sanasib nyéta sangkan aya perhatian ti pamaréntah kana nasib kuring jeung saparakanca. Anu dipiharep  sangkan karaharjaan ningkat.
                Tapi ning taunan nyangking jabatan ketua téh, angger geuning euweuh bédana. Sarua wé siga nu enggeus-eunggeus. Anggursing nambahan karuwet. Sabab loba anu curhat ka kuring. Pédah dianggap sagala nyaho dina urusan maranéhna. Leuh, padahal kuring gé sarua jeung maranéhna. Ngan teu wé pok ka maranéhna. Géngsi atuh maenya ketua curhat ka manéhna. Mimiti mah atoh. Tapi lila lila mah ngadon nambah karungsing. Capé gawé teu kapaké. Kitu meureun pibasaeunna. Sagala diteumbleuhkeun ka kuring. Sagala jadi tempat bangbaluh lamun aya masalah.       
Dunya rada ngabaranyay. Kitu rarasaan mah. Sanggeus kuring boga kawawuhan. Salah sahiji  anggota DPR-Pak Baskara. Ku alpukah manéhna karaharjaan kuring saeutik-saeutik ningkat.  Pangharepan miminti tingparentul karembangan.
                Atuh ku alpukahna manéhna ogé proyék mimiti daratang ka kuring. Sanajan kuring ngan saukur anak bawang. Nu penting mimilu manéhna sarta daék ngalakukeun panitahna. Tungut kana kahayangna. Tara loba ceta jeung tara ieuh hayang noong perkara naon-naonna. Nu penting gawé suhud sarta pérélék bisa asup kana saku kuring sorangan.
                Tinggal ngumpulkeun jalma. Akon-akon merjuangkeun kapentingan balaréa ngeunaan kasajehteraan. Ti dinya mah ngalér ngidul nu dicaritakeun. Ti mimiti tujuan, rencana kerja kahareupna. Intina mah ngabibita sangkan kabéh nu hadir bisa milih calon dina prungna pemilihan calég.             Malah mindeng pisan ngamanfaatkeun budak-anak didik kuring nu geus boga hak pilih sangkan milih nomor anu geus ditangtukeun ku kuring.
                Teu ngabibisani ku wawuhna kuring jeung Pak Baskara. Ngajar téh mindeng cul. Da loba pangajakna anu murudul. Mindeng pagedrug antara ngajar jeung kagiatan ka manéhna. Tapi babari, tinggal ménta idin wé ka sakola. Alesan mah pan bisa diréka. Ka dinas téa, ngadata jumlah guru téa.  Gampang. Nu penting ka ditu ka dieu kacumponan. Ka sakola méré tugas atuh proyék jeung manéhna bisa jalan.
*
                Neut neutan. Kitu babasan nu ku kuring bisa karasa. Neut neutan dina widang ékonomi. Reureujeungan jeung manéhna ning karasa pisan. Karaharjaan saeutik saeutik naék. Atuh kabutuhan sapopoé teu ngandelkeun teuing tina honor sakola anu ngan ukur sabaraha. Pan biasana gé honor ti sakola mah dina saminggu gé geus béak dipaké résiko dapur.
                Ayeuna mah kabantuan. Komo perkara mie instan jeung kuéh kaleng mah ceuyah. Imah nu asalna molongpong ayeuna mah badis gudang. Di ditu di dieu pinuh ku karung. Ti mimiti tiung, sajadah, emih jeung nu liana ngahunyud. Keur bagikeuneun ka tatangga jeung lainna. Atuh ku ayana kitu lumayan bisa nyokot hiji dua mah keur kaperluan dapur.
                Pon kitu deui pamajikan kacida pisan  ngarojong kuring. Mun aya Pak Baskara téh teu sirikna dagdag dégdég sagala disadiakeun. Kitu pantes atuh da kaala hasilna. Enya pamajikan gé ayeuna mah béar marahmay waé, pamuluna. Béda jeung kamari-kamari anu salilana  alum jeung teu bérag, pangaruh euweuh duit.
*
Dina hiji waktu Pak Baskara datang ka imah. Ngabadamikeun cenah rék aya garapan anyar. Haget kacida. Geus kaerong piduiteun nampeu hareupeun.
                “Kumaha sanggup?”
                “Siap, Pak!”
                “Sok atuh ayeuna mah tatahar. Sagala rupana. Tinangtu sakeudeung deui gé bakal cair geura.”
                Teu dititah dua kali. Kuring langsung barang gawé. Komo ieu, langsung haget lantaran pagawéanna luyu pisan jeung garapan kuring. Ngadata jumlah guru honor anu aya. Teu lila da datana mah geus aya. Atuh isukna gé sakabéh  kaperluan data jeung proposal dibikeun ka manéhna.
                “Weis. Enyaan. Tokcér. Tah. Sakali dititah pagawéan langsung anggeus.”
                “Terus ayeuna kumaha?”
                “Ké ku kuring di koling deui. Tinggal nunggu kabungah waé. Siapkeun wé rekening anyar nya.”
                “Siap... siap....”
                Teu lila ti dinya  manéhna nelepon. Duit geus cair. Sarta ngajakan ngariung sagancangna. Pikeun babadamian léngkah nu kudu dipigawé satutas nampa duit.
*
                Dina prungna gempungan. Teu wudu nu hadir ka acara téh loba pisan. Da kitu kanyataanna jumlah guru honor téh kacida lobana. Atuh saruka bungah da kabagéan duit anu teu disangka-sangka. Lumayan gedéna keur itungan guru honor mah.
                “Ieu pangnandatangankeun.” Ceuk Pak Baskara ka kuring.
                “Ieu sadayana?” Kuring tumanya.
                “Enya gutrut wé. Kuma dinya wé carana. Nu penting kudu ditanda tangan kabéh. Tenang ké uang lelahna mah nuturkeun. Gedé malah.” Pak Baskara nyéréngéh.
                Kuring teu hayang nyaho. Nu sidik mah hayang geura kapécrétan duit. Da kabéh anu aya dina rekening geus diringkid ku manéhna. Kuring mah ngan saukur nyieunan data sakumaha anu dipikahayangna. Tara ieuh protés.
                “Jadi sigana tah ngoméan imah téh.” Cenah sorana ngoncrang ti béh ditu.
                “Ngoméan imah?” Kuring ngahuleng. Kakara sadar yén kuring kungsi ngadongéng ka manéhna, perkara hayang menerkeun imah. Pédah geus balocor.
                “Ah, timana teuing duitna.” Kuring seuri konéng.
                “Bieu geus ditransfer ku kuring. Sok jatah di dinya.”
                “Ya. Nuhun.” Ceuk kuring bari jeung angger ngahuleng. Mikiran pilampaheun. Kabawakeun ku caritaan manéhna, ngoméan imah.  Kuriak jaman kiwari, pasti merlukeun waragad anu kacida gedéna. Tapi teu burung nguniang muru ATM. Ngajenghok waktu ningali saldo anu kacida gedé.
                “Pak, ieu téh enya keur kuring?”
                “Enya. Sok wé paké.”
                “Nuhun, Pak.”
                Atoh kacida. Harita kénéh langsung dibawa ka imah. Dibikeun ka pamajikan. Sarta langsung dadahut keur kuriak téa.
                Sabulan dua bulan anteng. Genah tumaninah di imah anyar. Weweg, meunang ngoméan téa. Teu kacakclakan cihujan cara sasari. Teu ieuh jadi pikiran waktu Pak Baskara ngaleungit lir diteureuy bumi.  Nu penting kuring tenang, tumaninah. Tapi katenang téh baganti musibah. Waktu dina hiji poé kuring kadatangan  pulisi anu mariksa kuring.
                “Leres Bapak Wikarta?”
                “Eu... leres, Pak.”
                “Ketua Yayasan Amanah?”
                Kuring unggek. Pabaur jeung karémpan anu mimiti narémbongan.
*
                Saudara Wikarta anda terbukti bersalah. Memalsukan data dari dana hibah dan telah melakukan pencucian uang. Serta telah menyalahgunakan bantuan untuk kepentingan partai politik. Untuk itu anda menerima hukuman 5 tahun penjara!” Hakim Urip Sumiharja, ngetrok palu.
                “Bapak!” Sora anak kuring jumerit, pabaur jeung rébuan guru honorér anu kaleprok. Surak.
                “Tah rasakeun jalma sarakah. Tukang korupsi!”
                “Penjara we salilana. Dasar tukang gasab. Ngahakan duit lain hakna.”***

Kamis, 01 Mei 2014

Cernak, dimuat di Harian Analisa Medan. 13 April 2014


Hadiah dari Jujur
Oleh: Nina Rahayu Nadea

                “Risma, Minggu depan kamu akan mewakili sekolah untuk lomba.”
                “Lomba apa?”
                “Lomba membuat hasta karya. Dan Ibu sengaja memilihmu, karena kamu pasti bisa?”
                “Ehm, tapi buat apa yah?”
                “Buat bros saja seperti yang kau bawa. Ingat lakukan yang terbaik yah, Ibu percaya padamu.” Bu Nani meninggalkan Risma.
*
                “Ris bolehkah aku ke rumahmu sekarang?” ujar suara dari sebrang sana.
                “Maaf, Mey. Aku lagi di luar. Lagi jalan-jalan sama Mama.”
                Teman-teman sekelas Risma merasa aneh dengan kelakuan Risma akhir-akhir ini. Risma tak mau main bareng, tak pernah ngerumpi lagi. Setiap pulang selalu terburu-buru. Ada apa yah? Apa kita berbuat salah?  Semua mengira-ngira gerangan yang terjadi. Biasanya setiap pulang sekolah mereka pulang bersama atau jajan dulu ke kantin. Tapi kini, setip bel berbunyi Risma langsung kabur tanpa alasan. Setiap di telepon ada saja alasannya. Jalan-jalanlah, ada saudara lah. Ah, pokoknya menyebalkan.
                “Hus, sudah dari tadi ngegosip saja?” Suara Bu Nani dari belakang membuyarkan perkataan mereka.
                “Ini, Bu. Kita aneh dengan sikap Risma akhir-akhir ini. Ia selalu menghindar dan tak pernah lagi jalan bareng. Ia selalu pulang duluan. Padahal kita ngak punya salah.” Meymey berkata.
                “Ah mungkin dia lagi sibuk.” Bu Nani tersenyum memandang anak didiknya.
                “Aku juga ngerti, Bu. Dia itu sibuk memersiapkan lomba. Kita itu hanya ingin ngobrol dan memberi dukungan saja.”
                “Sudah jangan dipikirkan. Yang penting kita doakan, supaya Risma dapat memenangkan perlombaan itu. Mungkin dia stres memikirkan lombanya. Justru kalian harus memberinya kesempatan, mendukung yang dia lakukan. Jangan sampai berburuk sangka.”
*
Dengan sabar dan teliti Risma memasukan benang itu ke manik-manik. Mengikuti gerakan mamanya. Tak bosan, hingga berhari-hari.
                “Tuh hasilnya kan bagus?” Mama memuji bros buatan Risma. “Makanya harus rajin yah, supaya bisa membuat yang lebih bagus. Kuncinya adalah mau belajar dan tidak bosan,” Mama memegang tangan Risma.
                “Iya, Ma. Pokoknya mulai sekarang Risma akan rajin membantu.”
*
                “Mau ke mana, Ris?”
                “Mau pulang duluan, Bu.”
                “Kenapa sakit?”
                “Iya sedikit ngak enak badan.”
                “Ya sudah. Nanti Ibu kabarin hasilnya.”
                Risma mengangguk tak berani menatap Bu Nani. Sepanjang perjalanan ia cemberut saja. Riris, kakaknya pun tak berani berkomentar. Lebih memilih untuk diam.
                “Wah kenapa pulang lebih awal?” Mama menyapa, ketika Risma berada di ambang pintu.
                Risma tak menjawab. Malah  menangis.
                “Kenapa menangis?”
                “Risma malu. Padahal selama ini selalu membanggakan diri. Bahwa bros yang Risma bawa ke sekolah adalah buatan sendiri. Padahal itu buatan Mama.” Risma membenamkan wajahnya ke pelukan Mama.
                Mama hanya tersenyum membelai kepala Risma. “Tapi yang penting kau telah bekerja keras dan berusaha, iya kan?”
                “Maafkan Risma ya, Ma. Sudah mengaku buatan Mama adalah hasil karyaku.” Risma semakin menangis.
                “Sudahlah yang penting kau mau berlaku jujur dalam lomba. Kau membuatnya sendiri. Oh iya, tadi ada telepon dari Bu Nani, tapi tidak keburu diangkat. Teleponlah, Ris.”
                “Malu.”
                “Jangan malu. Berkatalah jujur.”
                Tanpa menunggu ucapan Risma. Mama memijit nomor HP Bu Nani dan memberikannya pada Risma.
                “Bu, maafkan Risma, yah?”
                “Maaf kenapa?”
                “Risma telah membohongi Ibu. Bros yang selama ini dibawa ke sekolah itu bukan buatanku tapi buatan Mama.” Suara Risma basah karena air mata.
                “Ngak apa-apa. Kau sudah menebus kesalahan dengan bekerja keras, berlatih setiap hari.”
                Koq ibu tau?”
                “Karena mamamu pernah datang ke rumah. Dan bercerita banyak tentangmu. Dan tau hadiahnya?”
                “Hadiah apa, Bu?”
                “Hadiah untuk anak jujur sepertimu.”
                “Maksud Ibu?”
                “Karyamu terpilih juri sebagai pemenang tiga dalam perlombaan tadi. Selamat ya, Ris.”
***
                http://m.analisadaily.com/news?r=21704#.U2JQ9XvZ_mc.facebook