Ilalang depan Rumah
Oleh: Nina Rahayu Nadea
Aku
menyesali keputusan Ayah, memindahkanku ke rumah eyang yang berada jauh dari rumah
ini. Keputusan Ayah berarti penyiksaan untukku, menghapuskan kenangan yang
telah lama bersemayam dalam hatiku. Tapi ternyata Ayah tak bergeming dengan
keputusannya. Ia kokoh dengan pendiriannya, walau air mata ini berurai dan menghiba
di hadapannya. Jawaban ayah tetap, ‘aku harus dipindahkan’.
Ini
adalah malam terakhir aku berada di rumah, di kamarku yang selama ini memberi
ketenangan, memberi kedamaian untukku dan menyembuhkan rasa rindu pada suamiku.
Harapan terindah dan ketenangan bersama suamiku terusik dengan tindakan Ayah
yang memisahkan kedekatan kami.
Kulihat
jam dinding di kamarku. Jam dua malam. Tapi
mataku tak juga mau terpejam, semakin aku memikirkan perpisahan ini,
semakin terbayang jelas wajah suamiku yang sangat kurindu. Hingga rasa kantukku
semakin jauh kurasa. Kuturuni ranjang tempat tidurku, kuambil sandal dan
bergegas menuju kamar mandi. Air dingin menusuk kulitku. Ah, terasa air wudhu menyejukkan
wajahku yang sembab karena air mataku. Malam ini aku akan mencurahkan segala
kemelut dan gundah gulana yang bersarang di hatiku. Aku ingin Sang Kholik
mendengar semua keluh kesahku. Tak terasa sajadahku menjadi basah karena bulir
air mataku yang terus jatuh. Ya Tuhan, kenapa kau biarkan Ayah memisahkan aku
dengan seorang yang senantiasa aku rindu. Padahal kedekatannya begitu
menyejukan hatiku, hanya dia yang mengerti keberadaanku, hanya dia yang mampu
menghapus duka laraku. Tapi ternyata rasa rindu yang kucurahkan pada seorang
kekasihku membuat marah ayahku. Ayah tak mau melihatku bahagia.
“Cepatlah
tidur Nak, sudah malam.” Ibuku membuka gorden kamarku.
Aku
hanya mengangguk. Segera kubereskan perlengkapan sholatku dan kusembunyikan
wajahku di balik selimut tebal. Aku tak mau Ibu kasihan melihat keberadaanku
yang begitu larut dalam duka. Aku tau, tangisan Ibu akan keluar setiap
menatapku. Dan aku tak mau itu terjadi. Aku sayang Ibu. Aku tak mau Ibu bersedih. Maka aku berpura-pura tidur.
Lama
sekali waktu berlalu, setiap dentang jam yang kudengar semakin membuatku terbang
dalam lamunan. Suara jam yang berdentang membawaku dalam suasana kebahagiaan
karena kedatangan mas Bambang yang kurindu.
“Ini
adalah jam istimewa untukmu.”
“Makasih
ya Mas, kau selalu saja ingat hari istimewaku,” aku terharu.
“Ya
ingat dong, masa ulang tahun istrinya sendiri ngak ingat.” Ia merengkuh aku.
Rengkuhannya
begitu membuaiku, melepas rasa rindu yang selama ini tertahan dan menggunung
dalam gelora jiwaku.
“Rin,
cepatlah bangun sudah shubuh.”
“Ya,
Bu.” Kukedipkan mataku pada suamiku terkasih. “Pokoknya kita harus tetap
menyatu,” aku mendekatkan bibirku ke telinganya. Kulihat senyum tersungging
dari bibirnya. Segera aku ke air dan berkemas dengan cepat. Aku tak mau Ayah
marah. Aku sudah tau sifat ayahku yang
begitu otoriter, hingga tak seorang pun dapat membantah keinginannya, begitu
pun Ibu.
Kulihat
ayah sudah duduk di meja makan. Diambilnya telor dan nasi goreng di piringnya.
Dipinggir Ayah kulihat mas Bambang menyuapkan nasi ke mulutnya ia tetap
tersenyum ke arahku. Senyum yang penuh arti. Aku balas tersenyum.
“Cepatlah
makan jangan senyum saja,” ayah menghardikku.
Kepalaku
langsung menunduk karena bentakan Ayah. Tapi tetap saja dari sudut mataku,
kulihat mas Bambang yang senantiasa kurindu.
*
Perjalanan
menuju rumah eyang begitu melelahkan. Kulihat ayahku yang sedang menyetir
dengan serius, di pinggirnya Ibu yang raut mukanya mendung, kulirik adikku yang
tertidur pulas.
“Coba
kalau mas Bambang ikut ya, Bu.”
Ibu
tak menjawab. Hanya guratan duka yang kian terpampang jelas dari wajahnya. Ibu
begitu bersedih.
“Diamlah
Rini,” bentak Ayah. Aku diam, sepertinya semua orang tak mau diganggu. Kulihat
pepohonan di kiri kanan yang begitu lebat, melambai-lambai terkena angin.
Kulihat gundukan pasir tempatku berjumpa dengan mas Bambang dulu, segera aku
lewati. Masih ingat waktu itu ketika mas Bambang baru mendapatkan gaji bulanan.
Dengan bangganya ia mengajakku ke tempat ini. Tempatnya begitu sejuk melenakan
hatiku. Riuh angin dan suara cericit burung menjadi temanku saat itu. Mas
Bambang tak henti-hentinya memuji kecantikanku.
“Kau
begitu cantik Rini.”
“Ya,
iyalah kan aku istrimu.”
“Tak
salah aku memilihmu menjadi istri. Kau cantik, pintar dan menarik.” Ia diam
memandang ke arah kejauhan yang hanya gundukan tanah terjal, sesekali kulihat
burung lewat dan menertawakan mas Bambang. “Maaf aku belum bisa
membahagiakanmu.” Suaranya parau.
Kusandarkan
kepalaku di dadanya. “Aku justru bahagia
bersamamu, Mas.”
“Walau
hidup menderita?”
“Menderita
bagaimana? aku sangat bahagia bisa mempunyai seorang suami yang sangat
menyayangiku.”
“Semoga
kau selamanya untukku dan tak kan berpaling.” Ia memelukku.
Ah,
bahagia sekali berada di dekat seseorang yang selamanya aku rindu. Rasa rinduku
begitu membuncah dan tak pernah tergantikan oleh apa pun, walau Ayah senantiasa
marah, bila memergokiku tengah berduaan dengan mas Bambang. Tapi tetap
kulakukan, karena hanya mas Bambang yang dapat mengerti keadaanku.
“Bu,
lihat mas Bambang menyusul dari belakang.” Badanku berbalik 180 derajat.
Kulihat mas Bambang dengan motor vespanya mengikuti mobil yang kami tumpangi.
“Yah,
pelan-pelan dong jalannya, Kasihan mas Bambang.” Ujarku pada Ayah.
“Sudahlah
Rin, lebih baik kau istirahat saja.” Kulihat Ibu mengusap air mata dengan
punggung tangannya.
Ibu,
kenapa kau tak membela anakmu? ternyata Ibu begitu takut dengan Ayah. Sehingga
setiap kali aku membicarakan mas Bambang tak pernah sekali pun Ibu membelaku.
Ibu lebih mencintai Ayah dari padaku. Ibu begitu takut dengan Ayah. Segala
pertanyaan memenuhi kepalaku.
“Baiklah,
Bu. Tapi Ibu jangan menangis saja. Rini
tak tahan melihat air mata Ibu.”
Ibu
tersenyum ke arahku. Senyum yang mendamaikan hatiku. Tapi kulihat isak
tertahan berada di sana. Di lubuk hati
yang terdalam. Demi sayangku pada Ibu. Demi cintaku pada Ibu. Akhirnya aku terdiam.
Kini mataku lurus ke depan. Kubiarkan mas Bambang menyusul mobil yang kami tumpangi,
tanpa perlu aku membalikan badanku. Aku tahu, pasti mas Bambang akan
menyusulku. Karena aku tahu ia begitu mencintaiku. Bukankah semalam kami telah
berjanji untuk senantiasa mempertautkan rindu, menyatukan cinta yang tak kan
pernah pupus di makan waktu. Yang takan pernah reda dimakan usia. Aku milikmu,
ia milikku. Cinta kami begitu utuh. Tak pernah bercerai berai. Tetap kan
kulakukan apa pun, walau ayah begitu membenci.
*
Pertama
kali berada di rumah eyang, kesunyian menderaku. Betapa tidak, seolah aku
dibuang oleh ayah- ibuku, jauh dengan adikku. Rasa rinduku dipisahkan oleh
keadaan, oleh waktu, oleh tabiat Ayah yang begitu mencerca. Ayah- ibuku hanya
sebentar berada di rumah eyang, karena besok mereka harus masuk kerja, kembali
beraktifitas. Kudengar Ayah menitipkanku
pada eyang. Aku hanya tersenyum kecil, Aku mau dititipkan sama eyang? Hehe apa
tidak terbalik, eyang yang sudah sepuh malah bisa dibilang agak pikun harus
merawatku? Ah, Ayah tega-teganya kau, membebani ibumu sendiri dengan anakmu.
Sepeninggal
Ibu, aku berdiri di pekarangan rumah. Kutunggu mas Bambang datang ke rumah
eyang. Tapi yang kutunggu tak jua datang. Mungkinkah ia tersesat, gumanku. Tapi
aku tak bisa lama berada di pekarangan. Karena tiba-tiba eyang datang. Dengan
jalan tertatih-tatih dan badan yang bungkuk ia memegang tanganku.
“Ayo,
Rin masuk ke rumah, tak baik di luar saja.”
“Baik
eyang.” Aku menuntun tangan eyang masuk ke rumah. Tapi sesekali mataku mengerling
ke arah jalan berharap mas Bambang segera datang.
Kuperhatikan
setiap sudut di rumah eyang. Begitu asri dan bersih. Aku kagum pada eyang di
usianya yang sangat sepuh, eyang begitu mandiri dan mampu mengerjakan semuanya
degan rapi. Kuikuiti kegiatan eyang. Sedari Shubuh telah bangun menyalakan
tungku di dapur, membawa suluh yang berada di luar kemudian menyimpannya dekat
dengan perapian, memasak alakadarnya, menyiram bunga di halaman, memberesken
rumah, memberi makan ternak di belakang rumah. Sesekali eyang melihatku yang
tiduran di kamar. Tak segan ia masuk ke kamar tempatku tidur, memberi air putih
atau makanan kecil lainnya.
“Ayo
makan, biar kamu sehat. Atau mau eyang suapin?” Rasa sayang terpancar dari
wajah eyang yang begitu keriput.
“Ngak
ah, aku ambil sendiri.”
Aku
beranjak ke luar kamarku dan mengikuti perintah eyang.
Kini
aku mulai terbiasa di rumah eyang, dan aku menikmatinya. Kugantikan tugas eyang
menyiram bunga. Dan inilah yang membawa pertemuan dengan mas Bambang. Di setiap
pagi dan sore ketika tugasku menyiram dan merawat bunga kini menjadi sesuatu
yang sangat membahagiakanku. Karena dengan begitu aku dapat bertemu dengan mas
Bambang hingga dapat mencurahkan rindu yang bersemayan di lubuk hatiku.
Bermula
ketika aku menyaksikan hamparan ilalang yang berada persis di depan rumah
eyang. Hamparannya begitu luas, ilalang melambai-lambai begitu indahnya dan
sangat menyenangkan hatiku. Lambaiannya mengingatkanku akan kepergian mas
Bambang waktu itu.
“Rin,
besok mas Bambang ada tugas ke luar kota. Tepatnya Yogyakarta.”
“Berapa
lama?”
“Sebentar
hanya satu minggu.”
Aku
terdiam. Belum puas rasanya bersama dengan mas Bambang. Sebulan lalu baru saja
kami menikah, dan kini rasanya tak rela aku melepasnya pergi. Walau hanya satu
minggu.
“Koq
diam Rin...?” Ia menghela nafas “Itu semua kan demi pekerjaan, semua kulakukan
untukmu juga.” Ia berkata lirih seperti tau apa yang ada dalam hatikku.
“Aku
takut.”
“Takut
apa sayang?”
“Kecantol
cewek Jogja.”
“Haha.
Rin...Rin, boro-boro bisa menggaet cewek. Nih lihat jadwalnya saja sangat
padat.” Mas Bambang mengeluarkan secarik
kertas dari tasnya dan menyodorkannya padaku.
“Iya...aku
percaya koq!” aku memberi senyum terindah untuk mas Bambang.
Seiring itu tiba-tiba munculah
bayangan yang sangat ku rindu, sosok mas Bambang muncul dari rindangnya
ilalang, muncul dari jalan setapak yang berada di pinggir ilalang. Dengan
gagahnya ia berjalan menuju ke arahku, dengan senyum tersungging tak lepas dari
bibirnya ia berjalan ke arahku. Dari kejauhan tak lupa tangannya
melambai-lambai ke arahku sama seperti lambaian ilalang yang bergemuruh,
bersemangat dan mengucapkan selamat padaku atas pertemuanku dengan seseorang
yang kurindu.
Kulirik
mataku ke kiri dan ke kanan takut eyang mengetahui kegiatanku, bertemu dengan
mas Bambang dan melaporkannya pada Ayah. Tapi tadi eyang sedang asyik memberi makan
ayam jadi ia tak mungkin mengetahui pertemuanku, batinku. Kulayangkan
pandanganku menuju ilalang. Seperti biasa ia akan melambai-lambai sama dengan
lambaian tangan mas Bambang setiap kali bertemu denganku. Aku membalas lambaiannya. “Mas Bambang cepatlah,” suaraku
tertahan memanggilnya, takut kedengaran oleh eyang.
Tak
berapa lama yang kurindu telah berada di dekatku. Gagah sekali, dengan jaket
kulit kegemarannya dan satu yang tak pernah ia lupa, memberikanku seikat mawar
kesukaanku. “Spesial untukmu,” ia berkata sambil menyerahkan seikat mawar merah
padaku.
“Makasih
sayang,” aku mencium mawar pemberiannya.
Entah
berapa lama kami asyik bercerita, melepas rindu, mencurahkan beban yang berkecamuk
dalam hatiku juga perihal Ayah yang semakin lama membenci kedatangan mas Bambang.
“Rin,
cepat ke rumah sudah Magrib.” Eyang memegang tanganku. Aku terkejut tak
menyangka eyang telah berada di dekatku. Seketika wajahku pucat pasi, takut
eyang mengetahui segala kegiatan yang telah aku lakukan. Aku menurut pada
eyang, aku masuk ke rumah. Kulirik mas Bambang yang berada di dekatku dan memberi
senyum serta memberiku semangat yang tinggi, itu ku ketahui dari tangannya yang
mengepal. “Jangan takut, ayo bersemangatlah.” Mungkin itu kalau aku tafsirkan.
Yang
aku takutkan ternyata menjadi kenyataan. Besoknya Ayah dan Ibu datang ke rumah.
Tanpa basa-basi ia langsung memarahiku.
“Rini,
apa maumu sebenarnya? Ayah malu kamu senantiasa membuat malu. Tadinya ayah
sengaja menitipkanmu di rumah eyang supaya kamu tenang dan menjadi berubah tapi
ternyata sama saja.” Ayah memakiku.
“Ayah
cukup. Jangan kau marahi Rini seperti itu.” Ibu memelukku dan berurai air mata.”Seharusnya
tak perlu kau jauhkan Rini dari kita, justru kita harus mendampingi dan
memberinya semangat.”
“Beginilah kalau kau selalu memanjakan Rini, ia menjadi
pribadi yang lemah.”
“Sudahlah
Ibu jangan menangis, aku sudah kuat, aku sudah terbiasa dengan marah Ayah. Aku
akan menerimanya karena ada seseorang yang senantiasa menyemangatiku.” Aku
tersenyum.
“Siapa
dia Rini?”
“Tuh
di luar sedang menungguku.” Aku menunjuk ke arah luar. Tepat di mana mas Bambang
berdiri tersenyum ke arahku.
“Siapa?”
Ibu ke luar rumah celingukan ke sana ke mari mencari seseorang yang aku
tunjukan.
“Mana
Rin? Koq ngak ada siapa-siapa?”
“Ada
Bu, tuh mas Bambang!” aku berteriak kesal.
“Rini,
sadarlah, Nak! Mas Bambangmu telah tiada. Iklaskan dia.” Ibuku seketika
pingsan. Tergeletak di hadapanku.***