Karma
Oleh: Nina Rahayu Nadea
”Sudah,
istirahat yah.” Ibu menyelimutiku dan meninggalkanku seorang diri.
Kini
aku sendirian di kamar ini. Kutatap langit-langit kamar, sepoi angin terasa
menyentuh tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Segera kutarik selimutku hingga
menutupi seluruh badanku. Semenjak aku sakit, aku tak suka melihat jendela
kamarku terbuka, karena merasa badanku
semakin ringkih dengan terpaan angin yang menyentuh tubuhku. Tapi sudah
seminggu ini jendela kamarku selalu terbuka di pagi hari, seperti sekarang ini.
Atas saran seorang dokter, supaya udara
dalam kamar berganti dengan yang segar.
Kuperhatikan
burung yang beterbangan di kaca jendela kamar. Perlahan namun pasti ia hinggap
dari bunga yang satu ke bunga yang lainnya. Sesekali mereka bersua dengan
temannya, bersiul gembira menyambut mentari pagi yang bersinar cerah. Sesekali
dikibaskannya badan hingga kelihatan bulunya yang mekar nan indah menawan. Lama
sayapnya dikembangkan, sang burung begitu nikmat berdiri di atas sebuah bunga
dengan sayap terbuka. Rupanya ia ingin merasakan lebih lama hangatnya mentari
atau ia ingin memakerkan bulu indahnya pada burung yang lain.
Ah,
betapa irinya aku melihat burung yang
dengan mudah terbang ke sana ke mari. Tidak seperti diriku yang hidup dalam
kamar, terkungkung dalam sepi. Kini aku begitu terpenjara dalam senyap ditemani
lampu temaram dan tembok bisu serta guling kasur yang menemani tidurku. Di
dsampingku kursi roda berdiri kokoh dan senantiasa setia mengantarku ke luar
dari rumah pabila suntuk atau sakitku begitu menjadi. Yah, dengan kursi roda
ini biasanya aku menemui sang dokter untuk melihat kondisiku.
Kupandangi
kursi roda yang kini jadi sahabatku. Kubayangkan diriku sendiri berada di atas
kursi itu, dengan tenaga yang begitu lemah aku menggerakan kursi itu. Berharap
dengan kursi itu aku bisa melangkah pergi. Tapi selalu tak bisa karena tanganku
terlalu lemah untuk menggerakannya. Dan untuk bisa mengabulkan keinginanku, aku
senantiasa meminta bantuan Ibu. Ibu akan serta merta mengantarkanku tanpa
lelah. Tiba-tiba sosok wajahku dalam roda itu memudar, kini tergambar jelas seraut wajah tua duduk
terkulai di atas kursi roda. Bapak, pekikku tertahan.
*
“Baru
pulang, Neng?”
“Ya.”
“Ibumu
mana?”
“Ngak
tau,” ucapku ketus dan segera berlalu
meninggalkan lelaki tua itu.
“Neng...
Neng,” panggilnya.
Kucoba
diam membisu. Kututup telingaku rapat, agar aku tak tak mendengar teriakannya.
Huh, memuakan aku betul betul benci lelaki itu.
“Ren,
bilangin ke Bapak, Ibu sebentar lagi sampai,” ucap Ibu dari seberang sana.
”Jangan lupa tolong kasih makan Bapak, yah! Ibu sudah menyiapkannya dalam
lemari.”
Dengan
malas segera kuberanjak dari kamarku. Menuju lelaki tua yang duduk termangu di
kursi roda depan televisi. Itulah
kebiasannya, setelah terkena stroke.
“Ibu
lagi di jalan, bentar lagi nyampai,” ucapku ketus, tanganku menutup hidug,
berusaha untuk tidak menghirup udara dalam rumah yang kurasa pengap dan bau.
Pasti lelaki brengsek ini buang air besar lagi, batinku. Duh sebeeeel. Setelah
menyiapkan makanan di depannya aku segera menghambur ke luar. Rasanya aku sudah
tidak kuat berada di rumahku sendiri.
Bau aroma sudah sangat tidak menentu, membuatku mual. Huh, andai laki-laki itu
tidak ada di rumah, mungkin rumahku akan sangat segar dan bersih. Dasar tua-tua
penyakitan, lebih baik cepat mati saja, umpatku dalam hati.
“Ya,”
katanya lemah. “Neng mau ke mana?” tanyanya ketika aku ke luar rumah.
“Ke
mana saja,” ucapku sekenanya. Segera aku bergegas pergi menuju rumah uwaku,
yang berada tak jauh dari rumahku.
“Wa,
aku lapar.”
“Ya,
kebetulan Uwa masak rendang kesukaanmu. Ibumu ngak masak Ren?”
“Masak...
tapi malas, rumahnya bau. Biasa si Bapak beol di mana saja,” hi... ucapku
bergidik
“Ya
sudah makanlah, biar Uwa memanggil Mang Jaka. Supaya membersihkan tempatnya.”
“Jangan
Wa, biarin deh... keenakan tuh diurus orang lain terus, biar mikir bahwa
penyakitan itu menyusahkan orang.”
“Hus...
ngomong ngelantur saja!” Uwa keluar memanggil Mang Jaka.
***
Berulang
kali Ibu menangis dan memintaku untuk merubah prilaku yang menyakitkan hati
lelaki itu. Tapi aku tak bergeming, ucapan Ibu kuanggap sebagai angin lalu
saja. Dan Ibu hanya mengurut dada saja melihat kelakuanku yang tak pernah mau
berubah. Kini Ibu yang mengalah, berulang kali Ibu meminta maaf pada Bapak atas
kelakuanku tadi, dan Bapak begitu mengerti tentangku. Ialah yang banyak
mengalah walau perkataanku seringkali menyakitkan hatinya.
Aku salut dengan Bapak. Walau aku sering
menyakitkan hatinya, tapi ia tetap menyayangiku. Terbukti sekolahku serta
segala keperluanku, Bapak penuhi tanpa pamrih. Ia telah menganggapku sebagai
anak kandung sendiri. Tapi aku tetap saja tidak suka dengannya. Aku benci
laki-laki itu.
Sebenarnya
aku tak pernah berharap pernikahan Ibu
dengan Bapak kandas. Jujur aku menginginkan Bapak untuk terus membiayai
keinginanku. Dulu aku pernah merasakan menjadi orang susah, kini dengan
kehadiran lelaki itu hidupku berubah, aku bisa berpenampilan trendy dan masa
kini. Tapi atas pertimbangan yang lain juga mungkin atas desakan keluarga Bapak
tiriku karena tahu tentang prilaku yang tidak baik akhirnya Ibu bercerai dengan
Bapak.
*
Suatu
hari di penghujung senja. Saat itu aku begitu bosan dengan keadaanku duduk di
rumah saja. Maka aku diantar ibuku duduk
memandang senja yang begitu memesona. Kulihat bunga segar yang berada di teras
rumahku, juga kusaksikan anak-anak kecil yang bermain. Sesekali ia menyapaku
dan mengajaku bermain.
“Teh
Rena udah sembuh?”
“Ayo
Teh kita main, biar cepat sembuh. Jangan duduk saja!”
Aku
hanya tersenyum memandang keceriaan mereka yang begitu jelas terpancar di
wajahnya. Ah, anak-anak yang polos dan lincah. Betapa kamu tak tahu bahwa hati
ini ingin sepertimu. Bermain bersama bercanda tanpa pernah ada beban menggunung
memayungi hatiku.
Mataku
memandang ke sudut jalanan yang sepi. Aku tertegun ketika sebuah mobil avanza hitam berhenti tepat di depan
rumahku. Mobil siapakah itu?
Keheranan
serta seribu tanyaku terjawab sudah, ketika seseorang membuka pintu mobil dan
keluar dari dalam mobil. Ia tegap berdiri memandangku. Sebuah senyum terlihat
di sana. Pada sosok yang sangat kukenal.
“Bapak?”
seakan tak percaya kusebut nama itu. Nama dari laki-laki yang selama ini aku
benci karena penyakitnya yang membuat orang repot dibuatnya.
“Ya,
Bapak, Neng. gimana sekarang sudah baikan?” Ia membuka gerbang rumahku dan
berdiri mematung menatap tepat ke arahku.
Tatapannya seperti menelanjangiku, memperolokku, karena kini aku hanya
mampu duduk pada kursi roda ini.
Tapi
kini lelaki yang aku campakan, aku hina dan berharap agar mautnya segera tiba,
justru berdiri kokoh di hadapanku. Melihat keberadaanku yang tak berdaya di
atas kursi roda yang dulu ia pakai.
Air
mataku berurai. Kutatap matanya yang juga lekat menatap bola mataku. Ia begitu
prihatin melihat keberadaanku. Tak sedikit pun rasa jijik yang ia campakan.
Bahkan dengan sayangnya ia membelai rambutku.
“Sabar
ya Ren,” ungkapnya haru.
Aku
tertunduk malu. Hari ini baru kusadari betapa derita orang yang sakit telah aku
rasakan. Karma kurasakan. Betapa terlukanya
Bapak atas penolakan serta perlakuan yang telah aku torehkan padanya.
Tapi ia bagai malaikat, di saat aku terbujur, di saat hati ini menderita
sepertinya, tak sedikit pun caci yang ia lontarkan. Dengan senyum dan kesabaran
ia memberikan semangat untukku.
“Maafkan
aku, Bapak!” kataku lirih.***
Nina
Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya
dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia,
Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah
Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah
Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,
Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah HAI, dll