Selasa, 30 September 2014

Cerpen, dimuat di Koran Merapi Yogyakarta. 21 September 2014


Karma
Oleh: Nina Rahayu Nadea
             
             
            ”Sudah, istirahat yah.” Ibu menyelimutiku dan meninggalkanku seorang diri.
            Kini aku sendirian di kamar ini. Kutatap langit-langit kamar, sepoi angin terasa menyentuh tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Segera kutarik selimutku hingga menutupi seluruh badanku. Semenjak aku sakit, aku tak suka melihat jendela kamarku terbuka, karena  merasa badanku semakin ringkih dengan terpaan angin yang menyentuh tubuhku. Tapi sudah seminggu ini jendela kamarku selalu terbuka di pagi hari, seperti sekarang ini. Atas saran seorang dokter,  supaya udara dalam kamar berganti dengan yang segar.
            Kuperhatikan burung yang beterbangan di kaca jendela kamar. Perlahan namun pasti ia hinggap dari bunga yang satu ke bunga yang lainnya. Sesekali mereka bersua dengan temannya, bersiul gembira menyambut mentari pagi yang bersinar cerah. Sesekali dikibaskannya badan hingga kelihatan bulunya yang mekar nan indah menawan. Lama sayapnya dikembangkan, sang burung begitu nikmat berdiri di atas sebuah bunga dengan sayap terbuka. Rupanya ia ingin merasakan lebih lama hangatnya mentari atau ia ingin memakerkan bulu indahnya pada burung yang lain.
            Ah, betapa irinya aku melihat  burung yang dengan mudah terbang ke sana ke mari. Tidak seperti diriku yang hidup dalam kamar, terkungkung dalam sepi. Kini aku begitu terpenjara dalam senyap ditemani lampu temaram dan tembok bisu serta guling kasur yang menemani tidurku. Di dsampingku kursi roda berdiri kokoh dan senantiasa setia mengantarku ke luar dari rumah pabila suntuk atau sakitku begitu menjadi. Yah, dengan kursi roda ini biasanya aku menemui sang dokter untuk melihat kondisiku.
            Kupandangi kursi roda yang kini jadi sahabatku. Kubayangkan diriku sendiri berada di atas kursi itu, dengan tenaga yang begitu lemah aku menggerakan kursi itu. Berharap dengan kursi itu aku bisa melangkah pergi. Tapi selalu tak bisa karena tanganku terlalu lemah untuk menggerakannya. Dan untuk bisa mengabulkan keinginanku, aku senantiasa meminta bantuan Ibu. Ibu akan serta merta mengantarkanku tanpa lelah. Tiba-tiba sosok wajahku dalam roda itu memudar,  kini tergambar jelas seraut wajah tua duduk terkulai di atas kursi roda. Bapak, pekikku tertahan.
*
            “Baru pulang, Neng?”
            “Ya.”
            “Ibumu mana?”
            “Ngak tau,” ucapku ketus  dan segera berlalu meninggalkan lelaki tua itu.
            “Neng... Neng,” panggilnya.
            Kucoba diam membisu. Kututup telingaku rapat, agar aku tak tak mendengar teriakannya. Huh, memuakan aku betul betul benci lelaki itu.
            “Ren, bilangin ke Bapak, Ibu sebentar lagi sampai,” ucap Ibu dari seberang sana. ”Jangan lupa tolong kasih makan Bapak, yah! Ibu sudah menyiapkannya dalam lemari.”
            Dengan malas segera kuberanjak dari kamarku. Menuju lelaki tua yang duduk termangu di kursi roda  depan televisi. Itulah kebiasannya, setelah  terkena stroke.
            “Ibu lagi di jalan, bentar lagi nyampai,” ucapku ketus, tanganku menutup hidug, berusaha untuk tidak menghirup udara dalam rumah yang kurasa pengap dan bau. Pasti lelaki brengsek ini buang air besar lagi, batinku. Duh sebeeeel. Setelah menyiapkan makanan di depannya aku segera menghambur ke luar. Rasanya aku sudah  tidak kuat berada di rumahku sendiri. Bau aroma sudah sangat tidak menentu, membuatku mual. Huh, andai laki-laki itu tidak ada di rumah, mungkin rumahku akan sangat segar dan bersih. Dasar tua-tua penyakitan, lebih baik cepat mati saja, umpatku dalam hati.
            “Ya,” katanya lemah. “Neng mau ke mana?” tanyanya ketika aku ke luar rumah.
            “Ke mana saja,” ucapku sekenanya. Segera aku bergegas pergi menuju rumah uwaku, yang berada tak jauh dari rumahku.
            “Wa, aku lapar.”
            “Ya, kebetulan Uwa masak rendang kesukaanmu. Ibumu ngak masak Ren?”
            “Masak... tapi malas, rumahnya bau. Biasa si Bapak beol di mana saja,” hi... ucapku bergidik
            “Ya sudah makanlah, biar Uwa memanggil Mang Jaka. Supaya membersihkan tempatnya.”
            “Jangan Wa, biarin deh... keenakan tuh diurus orang lain terus, biar mikir bahwa penyakitan itu menyusahkan orang.”
            “Hus... ngomong ngelantur saja!” Uwa keluar memanggil Mang Jaka.
***
           
            Berulang kali Ibu menangis dan memintaku untuk merubah prilaku yang menyakitkan hati lelaki itu. Tapi aku tak bergeming, ucapan Ibu kuanggap sebagai angin lalu saja. Dan Ibu hanya mengurut dada saja melihat kelakuanku yang tak pernah mau berubah. Kini Ibu yang mengalah, berulang kali Ibu meminta maaf pada Bapak atas kelakuanku tadi, dan Bapak begitu mengerti tentangku. Ialah yang banyak mengalah walau perkataanku seringkali menyakitkan hatinya.
            Aku  salut dengan Bapak. Walau aku sering menyakitkan hatinya, tapi ia tetap menyayangiku. Terbukti sekolahku serta segala keperluanku, Bapak penuhi tanpa pamrih. Ia telah menganggapku sebagai anak kandung sendiri. Tapi aku tetap saja tidak suka dengannya. Aku benci laki-laki itu.
            Sebenarnya aku tak pernah berharap  pernikahan Ibu dengan Bapak kandas. Jujur aku menginginkan Bapak untuk terus membiayai keinginanku. Dulu aku pernah merasakan menjadi orang susah, kini dengan kehadiran lelaki itu hidupku berubah, aku bisa berpenampilan trendy dan masa kini. Tapi atas pertimbangan yang lain juga mungkin atas desakan keluarga Bapak tiriku karena tahu tentang prilaku yang tidak baik akhirnya Ibu bercerai dengan Bapak.
*
           

            Suatu hari di penghujung senja. Saat itu aku begitu bosan dengan keadaanku duduk di rumah saja. Maka aku diantar ibuku  duduk memandang senja yang begitu memesona. Kulihat bunga segar yang berada di teras rumahku, juga kusaksikan anak-anak kecil yang bermain. Sesekali ia menyapaku dan  mengajaku bermain.
            “Teh Rena udah sembuh?”
            “Ayo Teh kita main, biar cepat sembuh. Jangan duduk saja!”
            Aku hanya tersenyum memandang keceriaan mereka yang begitu jelas terpancar di wajahnya. Ah, anak-anak yang polos dan lincah. Betapa kamu tak tahu bahwa hati ini ingin sepertimu. Bermain bersama bercanda tanpa pernah ada beban menggunung memayungi hatiku.
            Mataku memandang ke sudut jalanan yang sepi. Aku tertegun ketika sebuah mobil avanza hitam berhenti tepat di depan rumahku. Mobil siapakah itu?
            Keheranan serta seribu tanyaku terjawab sudah, ketika seseorang membuka pintu mobil dan keluar dari dalam mobil. Ia tegap berdiri memandangku. Sebuah senyum terlihat di sana. Pada sosok yang sangat kukenal.
            “Bapak?” seakan tak percaya kusebut nama itu. Nama dari laki-laki yang selama ini aku benci karena penyakitnya yang membuat orang repot dibuatnya.
            “Ya, Bapak, Neng. gimana sekarang sudah baikan?” Ia membuka gerbang rumahku dan berdiri mematung menatap tepat ke arahku.  Tatapannya seperti menelanjangiku, memperolokku, karena kini aku hanya mampu duduk pada kursi roda ini.
            Tapi kini lelaki yang aku campakan, aku hina dan berharap agar mautnya segera tiba, justru berdiri kokoh di hadapanku. Melihat keberadaanku yang tak berdaya di atas kursi roda yang dulu ia pakai.
            Air mataku berurai. Kutatap matanya yang juga lekat menatap bola mataku. Ia begitu prihatin melihat keberadaanku. Tak sedikit pun rasa jijik yang ia campakan. Bahkan dengan sayangnya ia membelai rambutku.
            “Sabar ya Ren,” ungkapnya haru.
            Aku tertunduk malu. Hari ini baru kusadari betapa derita orang yang sakit telah aku rasakan. Karma kurasakan. Betapa terlukanya  Bapak atas penolakan serta perlakuan yang telah aku torehkan padanya. Tapi ia bagai malaikat, di saat aku terbujur, di saat hati ini menderita sepertinya, tak sedikit pun caci yang ia lontarkan. Dengan senyum dan kesabaran ia memberikan semangat untukku.
            “Maafkan aku, Bapak!” kataku lirih.***

Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Koran Merapi Yogyakarta, Tribun Jabar, Majalah HAI, dll

Kamis, 25 September 2014

Carpon Mangle, dimuat 18-24 September 2014


Nu Miang ka Tanah Suci
Ku: Nina Rahayu Nadéa

                “Bah, ieu aya uleman.”
                “Uleman ti saha, Gum?” cekéng kanu jadi incu.
                “Duka da ti tukang pos.”
                Kertas ondangan diilikan. Warna bodas diadumaniskeun warna hideung pias lebah sisina. Dina tengah ondangan ngajeblag gambar ka’bah. Di luhurna ditulis Undangan Walimatussafar. Panon maju ka jero ondangan nu geus dibukakeun, néangan jalma nu boga kabagja  bisa miang ka tanah suci. Ngalaksanakeun syukuran pikeun pangjajap maranéhna saacan miang ibadah. Ngumpulkeun do’a ti sakabéh jalma nu ngaluuhan acara. Do’a nu diharep mampuh ngalancarkeun sakabéh kagiatan, ngajurung laku dina enggoning ngalaksanakeun rukun Islam nu ka lima. Munggah haji. Nu teu sakabéh  umat bisa ngalakonan.
Tiap nampa ondangan samodél kieu. Haté teu weléh gumeter. Mindeng cimata nyalangkrung dina kongkolak panon. Hayang mah hayang indit ka ditu. Tapi ning can waé dikersakeun. Ari ngan saukur niat mah geus aya. Geus sayaga ti béh ditu mula. Tapi lebah waragad. Haté  kuméok. Waragad munggah haji nu mingkin nérékél beuki méotkeun haté pikeun bisa miang ka ditu. Enya nepi ka kiwari, kuring can dikersakeun indit, nepi ka boga incu reuay. Indit ka tanah suci ngan saukur aya dina lamunan. Matak sok milu bagja ka jalma nu bisa miang ka tanah suci. Curuk hideng néangan ngaran nu manggih kabagja. Paling handap kakara kapanggih. Undangan ti  Mahmud, haté nyoara. “Alhamdulillah milik gedé, manéhna bisa kabiruyungan ka tanah suci,” kuring nyusut cimata ku tonggong leungeun. Cimata nu sok nyakséni kapeurih kuring tiap maca runtuyan kalimat dina ondangan samodél kitu.
Inget Mahmud jadi rus ras ka jaman baheula. Jaman kuring jeung manéhna babarengan basa keur budak. Baheula waktu keur SD kuring jeung manéhna bareng. Saimah jeung nu jadi nini. Ngan kitu ti baheula manéhna boga pasipatan  nu béda. Pedit béak ku sorangan. Sakitu ku nini sok sagala sarua dibéré dina urusan nanaon. Angger wé manéhna mah sok licik cilimit. Siga dina dahareun. Nu manéhna mah sok diteudeun tara waka dipurak. Lebah kuring jeung adi-adi dahar bareng, manéhna datang. Nyomot ti itu nyomot ti ieu.
“Buka atuh nu Kang Mahmud,” ceuk kuring.
“Ah engké wé dan can hayang,” bari leungeuna nyelemun kana awug nu adi kuring.
Kungsi dina hiji waktu kuring ménta ka Mahmud jambu batu anu kacida meuhpeuy hareupeun imahna. Da kabeneran imah manéhna jeung imah  nini pagigir-gigir.
“Euweuh aratah kénéh.”
“Ah itu ning  geus asak,” curuk nunjuk kana jambu asak anu kabeneran buahna rada handap.
“Ulah éta mah geus dicirian ku babaturan. Ké wé lamun geus aya nu asak  dibéré.”
“Nya atuh,” ceuk kuring bari haté ngageremet.
Ditungguan ti isuk nepi ka buah nu asak béak geuning manéhna teu méré waé. Padahal éta jambu kacida dipikahayangna. Hayang seuri sakapeung mah lamun inget kana kajadian harita. Bakat ku keuheul jeung ngageremet kana kalakuan Mahmud anu teu méré waé jambu.
Kacaturkeun dina hiji waktu magrib-magrib. Kabeneran nu di imah nini kitu deui imah Mahmud suwung, kabéh arindit ka rumah sakit. Emang gering. Kuring sorangan di imah. 
Térékél kuring naék jambu batu. Tiap jambu ku kuring digegelan. Nepi ka anu ningali éta jambu pasti nyangka yén jambu téh ku lalay. Jempling.
“Zen. Ka dieu lain hayang jambu,” Mahmud  ngagorowok ti pipir imah.
“Jambu naon?”
“Enya jambu téa. Lain manéh hayang?”
“Ning bageur ayeuna mah?”
“Na da kuring mah bageur,” sora ti pipir kadéngé tarik.
“Enya ké ka dinya.”
Bérés barang gawé di imah nini, kuring nyampeurkeun manéhna. Niténan jambu anu geus arasak. Ngan  barocok siga anu ku lalay.
“Ning ku lalay?”
“Enya geus lah da moal nanaon. Lalaki ieuh. Moal nepi ka buruk susu.”
“Keur kuring kabéh?”
“Heueuh top wé ala.”
“Ari di dinya?”
“Embung ah teu beuki urut lalay mah.”
***
Pleng,  taunan teu nepungan ka Mahmud. Kahiji pédah nu jadi nini geus teu aya dikieuna. Anu kaduana anu jadi matak tugenah nepi ka tara silaturahmi ka manéhna. Pedah aya sangkéta. Sangkéta anu dijieun ku manéhna sorangan. Patelak anu nyababkeun tali silaturahmi udar tina simpayna. Bonganna, Mahmud ngahak kabéh bagian warisan tinu jadi nini. Majar téh cenah kuring katut dua adi kuring teu boga hak nampa warisan ti nini. Duméh saacan warisan di bagi, guar waris, indung  kuring geus tilar dunya.  
Mimitina mah kuring sadulur-dulur keukeuh mertahankan hak. Lain ku hayang warisanna. Tapi kuring hayang kaaku  kulawarga nini anu kacida dipikanyaahna.  Tapi Mahmud keukeuh kana pamadeganna. Tibatan patelak kuring jeung jadi dulur, mundur.
Ngan dina hiji waktu kungsi Mahmud datang nepungan kuring jeung dulur-dulur. Intina hayang ngabebenar masalah rék ngabagi rata hak warisan. Tapi basa dibalitungkeunan téh. Kénéh kehed beut untung di manéhna rugi di kulawarga kuring.  Lieur puguh gé, komo jeung mamaké dalil agama sagala.
“Tos wé, Kang teu kedah nyabit-nyabit deui éta warisan. Hak abdi, bagéan abdi katut dulur dulur. Mugi kasaksén ku sadayana. Ti wangkid ayeuna dugi ka jaga. Diwakafkeun kanggé kapentingan masjid,” kuring mungkas obrolan.
Ayeuna kuring jeung Mahmud geus cetuk huis. Geus puluhan taun teu tepung. Beunghar ku incu ti ditu ti dieu. Remen kasono entreup na diri. Hayang nganjang ka sarakan nini. Tapi inggis Mahmud teu suka. Inggis aya nanaon. Tinimbang patelak kanceuh deui, mending kuring misahkeun diri.
Ayeuna kabéjakan manéhna rék indit ka tanah suci. Alhamdulillah. Ku umur, pasipatan manusa bisa robah, gerendeng haté.
Dina émprona, dikersakeun teu bisa indit. Entit, adi kuring dirawat di rumah sakit. Tapi isukna Entit nitah kuring sangkan nepungan ka Mahmud nu rék miang ka tanah suci. Mudah-mudahan ku ayana acara kieu. Bisa ngajadikeun silaturahmi manjang deui.
Isukna kuring jeung Jana, adi bungsu kuring indit nepungan.
Diwawaas datang kanu dituju bakal disayagikeun lalawuh anu biasa. Lalawuh keur tamu ti luar kota. Jajauheun pisan. Datang ka ditu éstu disuguhan cai kaséhatan-cai bodas dina gelas bari jeung teu diuyup, da dikobok ku incuna Mahmud nu keur meujeuhna leutik kénéh. Jarijipen.
“Sok lah tah cai na diopi heula, ngahaja ambéh séhat.”
“Enya  nuhun, Kang.”
“Hampura euweuh lalawuhna. Atuh salah sorangan datang lain mangsa. Coba kamari ka dieu meureun nyampak sagala,” walon Mahmud.
“Nyéta Entit gering. Jadi teu bisa ka dieu,” ceuk kuring bari panon ngulincer ka kamar anu kahalangan ku hordéng. Tiap hordéng nyingsat katebak angin katangen ku juru panon; cau, ranginang, nyampak. Ah, angger wé geuning kékéd méngkéné,  haté galécok.
Kuring karék nyaho ti Maman, adi Mahmud. Basa harita nganjang ka imahna. Yén Mahmud bisa ka tanah suci téh ning ngajual tanah warisan téa. Tanah anu geus diwakafkeun ku kuring. Ngageremet meureun haté Maman, da sarua gening manéhna  teu kabagéan pisan hak tinu jadi nini. Atuh sagala diobrolkeun.
“Astagfirullohal’adzim,” ngan kitu nu semet kaluar tina biwir. “Ah, kuring mah geus teu ngaboga-boga, Man. Da ti basa harita gé ku kuring geus diwakafkeun keur masjid.”
“Enya kuring gé apal. Tapi da manéhna mah keukeuh wé ngarasa tanah anu sorangan. Antukna dijual. Keun wé sugan moal jamuga.”
 “Keun wé tong dipikran, geus karolot urang mah. Geus kuduna mikiran bekel ka akhérat, lain ngagugulung nu karitu. Anggursing urang mah syukuran ka Pangéran. Teu meunang warisan gé ning teu burung urang séhat. Barudak calageur, sakola junun teu kakurangan. Atuh kitu ogé imah butut-butut waé mah pan baroga urang téh,”  kuring ngupahan Maman.
“Enya lebah dinya na mah, Kang. Tapi angger wé sok aya rasa keuheul dina haté.”
Teu lila nganjang téh. Loba titingalian. Rus ras ka ditu ka dieu. Tiap amprok jeung dulur hayang waé ngeupeulan. “Hayu ah urang balik,” kuring ngarérét  Jana.
Paroman Mahmud katingali hégar marahmay basa kuring amitan balik bari ngeupeulkeun amplop ka manéhna.
“Hampura Entit mah teu bisa datang geuring,” kuring nandeskeun deui.
“Sing geura cageur kituh. Nuhun pisan geus daék nganjang, keun lah ké urang gupay di tanah suci ngarah di dinya bisa indit,” Mahmud daréhdéh nampanan amplop ti kuring.
“Amin.”
Sajajalan balik euweuh nu  nyoara. Rénghap. Ambekan. Sadami. Silih catur paguneman dina sawangan. Ngalalar silih tepungan panglamunan. Uteuk kuring pagaliwota  ngingetkeun lampah nu rék miang ka tanah suci. Enya nasib jalma béda waé. Sanajan cenah Mahmud bisa indit tina ladang ngajual warisan tapi kitu meureun geus milikna. Baé téh teuing kuma amal-amalanna. Kitu namah teunangan pisan. Los ka tanah suci ninggalkeun masalah anu sakitu lobana. Ah, keun waé sugan di ditu téh ki lanceuk meunang kabagja. Meunang élmu nu bisa ngabukakeun rereged hirup, Jeroning haté cumarita.
***
Keur anteng ngalengeu hareupeun imah. Ti luar aya nu uluk salam. Dibukakeun téh Maman.
“Kumaha cageur, Man?”
“Alhamdulilah pangésto, Kang.”
“Meunang kakarén loba atuh meureun ti Arab?” kuring ngaheureuyan.
“Boro-boro, Kang. Kuring mah teu dibéré saeutik-saeutik acan. Nya apal lah kumaha adatna. Pédah meureun kuring teu ngeupeulen basa rék indit ka Mekah.”
“Naha geuning éléh ku urang dieu?” Entit datang bari nanggeuy baki. Sok kopi ngebul diteundeun di hareupeun méja.
“Euleuh enya wé. Nu teu ka Arab gé meuni ceuyah,” Maman rarat rérét kana opieun di luhur méja nu ngabarak.
“Nya, sok wé atuh geura ngopi.”
“Ieu ah nu sunatna,” manéhna ngarongkong kana korma. Celemun diopi siga nu nikmat. “Kasebeleun tah ka si Deni, anakna Mahmud, piraku ngabagi kakarén ti Mekah wawaréhan.”
“Wawaréhan kumaha?”
“Enya anu teu méré amplop basa acara syukuran rék ka Mekah da teu dibéré. Dasar uyah mah tara téés ka luhur. Tamblég jeung bapak tabéatna. Kopét. Ceuk urang mah béré wé walatra. Jajauheun ka méré ka sakabéh kampung. Kasebeleun.”
“Har...da ka dieu mah...” Entit teu kebat ngomong basa kuring ngiceupan. Méré isarah sangkan jempé. Entit surti.
“Untungna ngamaklum kétang kanu datang kamusibatan.”
“Kamusibatan? Saha?”  Kuring jeung Entit nanya méh bareng.
“Enya Mahmud. Datang ti Mekah téh teu mawa nanaon pisan. Uyuhan bisa balik ogé. Ngan tinggal baju dina awak.  Da kabéh barang jeung duit ledis teu aya nu nyésa. Cenah kacopétan.”
“Baruk, kuring mah karék apal. Ari éta geuning bisa babagi?”
Éta mah barudakna wé nu balanja di dieu. Kudu dipikiran sing asak-asak puguh gé, indit ka ditu téh, Kang. Mahmud gé di ditu na téh kalaparan waé. Mindeng tara kabagéan dahareun. Tapi dikersakeun batur mah ceuyah dahareun kétang.”
“Matak kitu gé...,” Entit teu kebat.
“Enya meureun. Kuma amal-amalan,” Maman ngarahuh. Panon neuteup anteb ka lalangit imah.
“Ari Mahmud ayeuna kumaha, cageur?”
“Nyéta wales. Dirawat di rumah sakit. Kaleleban ku duit nu leungit.”
*

Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI.