Rabu, 22 Maret 2017

Pulang

Dimuat di Koran Haluan-Sumatera. 5 Maret 2017. Alhamdulillah


Pulang
Oleh Nina Rahayu Nadea
            Saat pulang adalah yang ditunggu. Kampung halaman senantiasa terbayang dalam ingatan. Perkebunan yang luas, pepohonan nan tinggi memukau, hamparan sawah menguning dan suara cericit burung  terkenang dalam ingatan. Bercanda dalam imajinasiku, mengapit mesra langkah agar gegas pulang menuju kampung.
            Tujuh  tahun di perantauan takan pernah membuatku lupa akan tanah kelahiran. Semua tetap membangkitkan gairah untuk  pulang dan pulang.  Rutinitas pekerjaan belum berkompromi denganku. Praktis pulang senantiasa terkekang dalam bayang. Bukankan telah kupancangkan janji sebelumnya di hadapan orang tua. Bahwa aku akan pulang ketika telah berhasil, ketika telah menjadi orang. Linangan air mata dulu pertama kali ketika kuinjakan kaki di sini. Di tanah rantau karena merasakan kali pertama getirnya hidup di kota metropolitan, terbayar sudah dengan penghasilan yang gemilang.
            Sekeping dua keping uang kusimpan. Yang terbayang selalu ketika mendapat uang adalah keriput di wajah Ema. Lelah Ema ketika memijit. Bau balsem khas aroma badan Ema adalah motivasi. Motivasi agar aku terus berkelana demi uang. Usah dipikir tentang harga diri. Geliat ibu kota harus mampu membuat tubuh bertahan. Apa pun itu tetap kulalukan. Demi hidup.
Segaja kutinggalkan tanah kelahiran. Meninggalkan mereka orang tecinta, untuk menaikan  derajat ekonomi. Sudah bosan dicaci dan dimaki, karena terlilit utang, karena tagihan kontarakan yang tak kunjung dibayar. Hanya kesabaran yang berbalut di badan.  Aku kecil telah terbiasa merasakan hidup serba kekurangan. Salut dengan kesabaran Ema dan Bapak, di tengah ringkihnya ekonomi. Tak pernah sekali pun terlihat duka di matanya. Entah dimana kalian sembunyikan luka  yang menganga.  Keterbatasan telah membuat kuat. Berbaju derita berpayung lara, itulah yang membuatku terus bangkit. Bergerak.
            Maka ketika aku dewasa, aku pamit untuk pergi. Aku ingin Ema dan Bapak juga Danang adikku menjadi bangga bahwa aku bisa menjadi penopang hidup mereka. Terbayar. Ketika seseorang mengajakku merantau pergi berkelana mengembara. Menyesapi keramaian ibukota. Dan dari keringatku aku bisa mengirim uang secara rutin pada mereka.
Dari kabar Ema dan Bapak. Uang yang kukirim telah berganti menjadi rumah. Rumah sederhana. Gubuk yang dulu reyot kini bisa bertahan di atas tanah milik sendiri. Tanpa perlu ketakukan atau tidur terganggu karena sewotan penagih utang. Ema pun sudah tak memijat lagi. Bapak hanya sesekali saja bekerja di sawah. Tak perlu tiap hari seperti dulu demi upah. Karena kini sudah terbeli sawah. Ah, membayangkannya saja telah membuatku bangga. Bahagia tiada terkira.
            “Ema kangen sama kamu, Nak, cepatlah pulang.”
            “Ya, Ma. Nanti aku ngumpulin dulu uang. Jangan pikirkan aku. Yang penting Ema dan Bapak  juga Danang sehat.” Itu senantiasa yang kubilang ketika Ema merajuk agar aku pulang.
            Aku belum siap bertemu mereka. Aku ingin Ema tak kecewa. Aku ingin membawa uang yang banyak.
            “Melamun saja kamu. Mau pulang, ya harusnya seneng.”
            “Mikiran ortu di desa. Kira-kira  gimana yah keadaanya?”
            “Nanti juga kan ketemu. Inget nanti balik lagi ke sini. Pasti mereka kaget melihatmu.”
            “Kaget kenapa?” aku berpura bego.
            “Dulu kumal. Bau. Haha. Sekarang cantik menarik. Pokoknya lain dari yang lain. Beda banget.”
            Kupandangi cermin. Terlihat di sana wanita yang begitu cantik terawat. Hidungnya mancung. Lipstik tipis alami terlihat menyegarkan penampilan. Riasan sederhana. Tidak terlalu menyolok dan menor. Namun menambah daya tarik. Cantik elegant.
            “Apakah mereka takan marah?”  Kudongakan kepalaku. memandang langit. “Ah, tapi mereka menikmati semua jerih payahku. Memang saat itu aku memaksa untuk pergi. Semua demi mereka,.” Aku mendesis sendiri.
            “Move on... yang lalu biar berlalu. Aku tak mau lihat kau cengeng.”’
            “Ya... ya..ya.” aku tersenyum halus. Menatap laki-laki di hadapanku. “Makasih telah membuat keluargaku bangga. Semua karenamu. Tanpa pekerjaan, aku tak mungkin bisa membebaskan mereka dari kemiskinan”
            Di terminal, aku menyempatkan diri masuk toilet, sekedar menyegarkan diri.  Kuhapus riasan di wajahku. Membasuhnya berkali-kali. Hingga segar terasa benar mendarat di pipi tirusku. Tak lupa berlenggok di depan cermin. Memastikan bajuku tetap rapi.
            “Baturaja?” Tanyaku pada sopir angkot yang kebetulan lewat.
            Sopir mengangguk. Memberhentikan mobil. Masih seperti dulu. Angkot yang sama menuju tempat tinggalku. Cuma memang harus ditanya. Karena angkot ini tidak semuanya sampai ke Baturaja. Sepanjang jalan tak hentinya mataku melihat pemandangan. Pembangunan yang cenderung lamban dibanding Jakarta. Tujuh tahun kutinggalkan tak ada perubahan yang mencolok. Nyaris seperti dulu. Hanya deretan taman sepanjang jalan yang membuat kota ini menjadi lain. Sementara bangunannnya. Sama. Tua.
            “Udah sampai?” isi SMS baru saja kubaca.
            “Sebentar lagi.” Balasku pendek.
            “Jangan lama di kampung.”
            “Hem..” Hanya itu yang kujawab. Ah, mengganggu saja. Saat ini aku ingin kesendirian. Merasakan aroma lain dari kota kelahiranku. Udara Baturaja. Kumasukan segera HP. Kubiarkan deringnya berbunyi berulang-ulang.
            Puskesmas Baturaja telah terlihat. Puskesmas yang mengingatkanku ketika kecil. Sekali ke sana. Ketika aku muntaber. Ema dimarahi petugas karena kondisiku sudah sangat kritis. Kami memang jarang ke puskesmas. Bukan karena tak pernah sakit tapi karena biaya yang melilit plus prosedur yang berbelit. Jarak yang jauh menjadi pemikiran utama, karena harus mengeluarkan ongkos bayar ojek yang selangit. Itulah mengapa Ema lebih memilih meminum obat tradisional saja. Obat kampung yang dianggap manjur.
            “Baturaja?” tanya supir padaku yang sedang melamun,
            “Oh, iya. Pak.” Kulihat sekelilling.”Ah, udah sampai.” Bisikku. Kukeluarkan uang dua puluh ribu. “Ambil saja kembaliannya.”
            “Makasih... makasih.” Rona bahagia terpancar dari wajah supir.
            “Baturaja... Baturaja...” Sekonyong-konyong ojek menyerbu ke arahku.
            “Ya.” Aku segera naik ojek di dekatku. Tak mau berlama dengan mereka. Takut. Mereka menelisik dan berkata yang bukan-bukan.  
            “Mau kemana?”
            “Ma Usih.” Ucapku pendek.
            “Oh, Ma Usih  yang dulu tukang pijat itu?”
            “Iya.”
            “Enak, Ma Usih itu sekarang. Anaknya di kota. Jadi sudah tidak mijit lagi. Rumahnya juga tak reyot  seperti dulu...” Cerita tukang ojek kudengarkan seksama. Namun tak ada niat sekali pun untuk bertanya atau menyela. Cukup menjadi pendengar. “Nih, rumahnya.” Tukang ojek berhenti di sebuah rumah mungil. Halamannya  asri karena ditumbuhi aneka tanaman. Memesonakan mata nan memandang.
            Sesaat aku terpaku depan rumah. Kupandangi sekeliling rumah. Udara menerpa wajahku. Menyejukan. Tanpa ragu aku duduk di bangku kosong di bawah pohon belimbing.
            “Ah, sejuknya.” Gumanku perlahan.
            “Maaf, mau ketemu siapa?” seorang perempuan tua tetiba sudah berada di depanku.
            Aku terkejut. Lama kupandangi perempuan di depanku. Perempuan yang kurindukan.
            “Ma?”
            “Kau... Ba... “
            “Iya, Ma. Aku anak Ema. Aku telah pulang.”
            “Waduh.... anakku. Pangling bener. Kulitmu halus. Wajahmu cerah, bersih. Seperti artis” Ema memelukku erat. Memegang tangan, dan mengusap wajahku berulang.
            “Dang... ada kakakmu datang dari kota,” teriak  Ema.
            Seorang anak 12 tahun datang. Terlongo ia memandangku.
            Sekeluarga segera masuk rumah. Bercengkrama. Bercerita segalanya. Tak lupa oleh-oleh yang kubawa segera dibongkar, termasuk ranselku.”
            “Kamu memakai ini, Bayu?” Ema memperlihatkan bedak dan lipstik bekas pakai.
            Aku tergagap. “Itu punya temanku. Ketinggalan di tas.” Segera kualihkan prasangkanya.***
           
           




Nina Rahayu Nadéa. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Bayuwangi, dll

Jumat, 03 Maret 2017

Surya Kencana

Dimuat di Majalah Mangle No 2618, 2 Maret-9 Maret 2017. Terinspirasi waktu ada kegiatan di Pangandaran. tepatnya kita menginap di Hotel Surya Kencana. #TangkapIdeSegera








Carmis
Surya Kencana
Nina Rahayu Nadéa
                “Surya.” Ngasongkeun leungeun ka kuring nu hareugeueun. Keur anteng ngahuleng neuteup lambak nu ting arudag pikabitaeun. Jol pucunghul ieu lalaki.
                “Eu... Ambar.”Dua leungeun pataréma. Karasa tiisna nyelecep kana tulang.
                “Tos lami ngantos?” Sorana halon neuteup kuring.
                “Ngantos?” Teu ngarti kana pananyana. Teu rumasa nungguan manéhna.
                “Ah, sok kitu.” Cenah imut. “Tos wé nu atos  mah tong diémutan atuh. Kedahna ngemut ka payunna. Ulah dugi ka nyiksa diri.”
                Gebeg. Omonganna asa naranjangan. Palangsiang ieu lalaki bisa nebak kereteg  haté. Rumasa. Enya rumasa ieu haté  kebek ku ngaran anjeun. Aryana. Lalaki nu salila ieu dipicinta, ngamuara dina haté. Ngan ngiles teuing kamana. Pamustungan panggih cenah rék ka dieu. Basisir Pasir Waringin. Nepi ka ayeuna teu aya deui kelemengna. Komunikasi kandeg.
Padahal ieu haté keur meujeuhna dieuntreupan tresna. Sono nu moho. Geus jangji rék hirup sapapait samamanis,  jangji ngawelah rasa dina sagara cinta.  
Ka ieu basisir  rék ngumaha ka lanceukna. Maheutkeun hubungan kuring. Atoh wé nu aya waktu anjeun ngabéjaan rék nepungan lanceuk. Rék nyaritakeun perkara kuring sangkan gera ka balé nyungcung.
                “Doakeun ku Ambar. Akang rék nepungan lanceuk. Rék ngumaha. Sangkan hubungan urang gera diresmikeun.” Ceuk anjeun bari neuteup purnama nu pikabitaeun. Bulan bunder imut kareueut, anteng marengan kuring duaan. Sakapeung ngintip dina sela sela méga, inggis ngagareuwahkeun kanu keur uplek ngobrol. Sakapeung silirérét. Malédogkeun sono. Neuteup bulan duaan dipinuhan ku pangharepan. Tepung pamustungan jeung anjeun. Ti dinya pleng... leungit lir diteureuy bumi.
                Ka kangen anu moho anu nyababkeun kuring aya di dieu. Basaisir Pasir Wringin. Tempat anjeun remen ka dieu. Kitu anu sok dicaritakeun. Salila hubungan  can kungsi diajak ka dieu. Can waktuna. kitu wé lamun sakalieun kuring ngajak hayang ulin ka dieu. Hayang panggih jeung lanceukna anu mindeng dicaritakeun.
                “Ké gé bakal tepung. Lamun geus waktuna. Nu penting Ambar tong cangcaya kana kacinta jeung kasatiaan Akang.” Kitu jeung kitu unggal waktu.
                Purnama  ka genep  ti waktu pamustungan kuring tepung jeung anjeun. Saluyu jeung jangjina. Yén dina bulan éta kuring baris dipanggihkeun jeung lanceukna.
                Sanajan teu apal  alamat lengkep imah. Ngan saukur apal ngaran basisir. Kuring ngahajakeun datang ka ieu tempat. Sugan jeung sugan panggih jeung  nu dipicinta.
                Keur anteng neuteup lambak di hiji balkon hotél harita téh. Balkon nu nyanghareup ka laut.  Atuh samemena bisi neuteup laut anu kacida legana. Ieu haté teh geuning agger reuteum ku ngaran anjeun. Aryana. Ningali basisir, malidkeun katineung ka anjeun. Pan anjeun sakitu dalitna jeung basisir. Tiap waktu cenah. Komo mun keur cangra bulan, anjeun remen neuteup bulan. Kasugemaan aya di dinya. Mindeng ditanya kunaon meni resep neuteup bulan lebah  basisir.
                “Bakal karaos ku Ambar. Kumahan endahna ningali ciptaning Gusti. Komo dina wanci anu mustari. Taya jalma anu ngagunasika jiwa jeung raga. Bakal karasa pisan urang deukeutna jeung nu dipicinta. Sanajan  teu amprok, tapi aya rasa anu hamo bisa karasa ku saha waé.”
                “Ah, Akang mah ngadon puitis kitu.” Kuring nyarandé kana dada anjeun nu sembada. Teu pati tenget kana naon anu diucapkeun.
                Waktu diri  keur  kaeuntreupan suka. Remen kaduhung nalingkung diri. Bonganna teu apal dimana anjeun dumukna. Mun apal mah meureun moal kadungsang dungsang siga ayeuna, maluruh anjeun teu puguh. Can karuhan kahayang laksana. Tapina kétang pan ceuk anjeun gé kitu. Teu kudu nyaho. Cukup anjeun  nu datang ka imah. Ngéwa, cenah awéwé nyampeur  lalaki. Matak teu hayang nyaho deuih harita mah di mana anjeun cicingna. Nu penting anjeun tara elat datang ka imah. Sanajan teu parok jeung batur. Malem Jumaah.
                “Batur mah apél téh malem Minggu. Ari akang  mah malem Jumaah.”
                “Pan méh bénten tinu sanés. Barina gé Akang mah lain rék ngapélan Ambar sorangan. Tapi ngapélan kabéh nu aya di sakurilingeun urang. Panggih lain ngan saukur jeung lahirna wungkul tapi jeung batinna ogé. Émut, cenah malam Jumaah téh malam keramat. Tah, Akang hoyong hubungan urang téh kitu. Keramat. Suci, Am.”
                Ah, sakapeung mah tara ngarti kana omongan  anjeun. Jeun teuing kétang, moal dipikiran.  
                Genep purnama teu tepung jeung anjeun. Karasa hanjelu jeung nalangsa. Matakna sakaparan paran kuring datang ka ieu basisir rék nysusud di mana anjeun. Susuganan jeung susuganan bisa patepung.
                “Aryana téh  adi Akang. Sering pisan ngobrolkeun Ambar.”’
                “Leuh. Baruk ieu téh rakana Kang Aryana.”  Nyarita bari rada ngahuleng. “Leres ieu rakana Kang Aryana?”
Unggek. Leleb.
                “Dupi Kang Aryana ka mana? Naha meni  ngampleng. Enyaan abdi téh deudeupan matak ngahaja ka dieu.”’
                “Tangtos. Ayeuna can waktosna Ambar terang.  Dua purnama  urang tepang deui di dieu. Ngan tong ka mamana saban malam Jumaah Kang Surya bakal nepangan Ambar. Tong ngémutkeun deui Aryana.  Hareugeueun panon neuteup manéhna nu sakilat ngiles.  Karék ieu haté mangkak ku pangharepan. Ayeuna geus nguncup deui nyésakeun kapanasaran.
                “Ambar kedah tos siap kana warta ieu. Saleresna, Aryana tos teu aya di bumi ieu.”
                “Teu aya kumaha ari Kang Surya?”
                “Aryana tos ngantunkeun  waktos ocon sareng ombak. Mayitna ngambang di sagara, tujuh minggu satutas  leungit.”
                “Iraha Kang?”
                “Teu kedah terang. Moal kaétang ku likuran purnama anu sok némbongan. Nu pasti anjeunna sering nepangan. Sanaos ukur harewos.”
                “Mustahil, tos ngantunkeun. Tepung panungtung sareng Kang Aryana genep bulan kalangkung Kang. Akang tong ngalieurkeun.”
                “Pasti Ambar moal percanten. Matakna meureun Aryana  nuyun Ambar ka dieu. Sangkan lalangsé téh nyingray. Kitu nu saleresna.”
                Teuing kudu sedih atawa bagja. Sedih tangtu, pan Aryana kungsi deukeut jeung kuring. Bungahna? Pan ayeuna kuring deukeut jeung Surya.  Teu nyangka geuning salila ieu kuring bobogohan jeung lelembutan. Jilim anu sabenerna teu aya di kieuna.  Pantesan di tanya imah atawa padumukanna tara kungsi dijawab. Da geuning  pinuh ku rusiah.
                Saeutik saeutik ieu gudawang téh leungit. Baganti ku ngaran lalaki anyar nu mikahéman. Surya. Surya Kencana. Lalaki anu ayeuna satia marengan kuring.
                Nepi ka hiji waktu. Waktu panonpoé mimiti surup. Kang Surya mapag kuring. Siga biasa di balkon hotél.  
                “Ambar enyaan cinta ka Akang?”
                Ukur unggeuk. Lalaunan leungeunna ranggah ka kuring. Awak nyampeurkeun. Sadrah dina rangkulanna.
                “Akang gé sarua. Seja miheman Ambar salawasana. Rék nyingkahkeun kasedih Ambar baganti ku kabagja. Hayu ayeuna urang ngadeuheus ka Ibu Rama. Ngan wayahna tempatna jauh, Ambar siap marengan Akang?”
                “Mangga, Kang, abdi seja tungut ka Akang. Abdi rék mopohokeun lalakon baheula, rék nété hambalan anyar ngan jeung Akang ku anjeun.” Kuring imut.
                Aya sumirat nu hibar beulah kulon, mingkin ngadeukeutan. Sérab. Bréh  karéta kencana  alus ngempur aya hareupeun.
                “Tong anéh Ambar. Ngahaja ieu kareta ku Akang dipesen. Kareta pangalusna keur ngajemput Ambar. Dapon Ambar senang.”
                Ngan wasa neuteup manéhna. Teu lila. Luk tungkul waktu paneuteup amprok. Teuteupanna matak ngendagkeun jajantung. Aya rasa anu béda. Tresna anu kacida gedéna ngalimpud diri. Nyaliara dina dada. Manéhna nyangkéh cangkéng sayaga mapag jalan anyar. Ngaléngkah lalaunan nété hambalan, nguntun pangharepan nu ngembat panjang.
                Léngkah pamustung. Ngarandeg. Asa aya nu kaingetan.
                “Kang. Antos sakedap. Abdi aya nu kakantun.”
                “Teu tiasa Ambar, waktos urang samporét. Tos diantos ku sepuh urang.”
                “Mung sakedap, Kang.”  Kuring udar tina tangkeupan. Ngaléngkah rusuh muru kamar hotél. Beungeut Ema ngolébat. Tada teuing kolot melangna mun kuring teu méré iber. Muka panto kamar rusuh.
                “Tétéh . Ti mana waé?’”
                “Ema?” hareugeueun neuteup Ema  hareupeun.
                “Ning terang Tétéh di dieu. Tadina Tétéh badé nelepon. Masihan wartos.” Ngarangkul Ema pageuh. “Ema nyungken widi Tétéh rék angkat ayeuna kénéh.”
                “Atos Tétéh. Tong kamamana deui. Tos di dieu jeung Ema. Barina gé kabagja hidep aya di dieu dina hirup nu nyata.”
                “Naha Ema teu bagja ningali Ambar bagja?”
                “Ambar téh badé ka mana?” hiji lalaki nu tatadi menekung, nangtung.
                “Badé angkat sareng Surya, Pak?”
                “Surya?”
                “Surya. Surya Kencana, Pak.” Kuring neuteup éta sepuh. “Tah, sareng jalmi ieu, Pak.” Kuring nuduhkeun hiji lukisan anu ngadaplok di kamar.
                “Untung hidep balik deui. Teu aya nu ngaran Surya, anaking.”
                “Teu aya kumaha ari Bapak. Tuh nuju ngantos di luar.” Kuring keukeuh.
                Éta lalaki nuyun kuring ka luar kamar. Di balkon taya sasaha. Ukur hiliwir angin nu ngaharewos kingkin. Sagara gé teuing ku tingtrim. Padahal waktu tadi paduduaan séahna béak karep.
                “Ambar, enya éta téh  ngaranna Surya Kencana, nu gaduh hotél ieu kapungkur. Nanging anjeunna tos tiwas 50 taun ka tukang. Kabawa ku ombak jeung adina nu ngaran, Aryana.”***
                               
               


Nina Rahayu Nadéa. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Tulisannya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Bayuwangi, dll